“Bagaimana tentang permasalahan si Rio, Neng?” tanya Yudis sambil terus menyetir. Jalanan lumayan lengang malam itu.
Ratri tersenyum menatap suaminya. “Menurut Abi yang berdasarkan pada beberapa pendapat Ulama dan Dalil Al-Qur’an, boleh saja perempuan yang sedang hamil dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya.”
“Dalilnya?” tanya Yudis ingin tahu lebih dalam.
Ratri terdiam sejenak seperti sedang mengingat sesuatu. Tak berapa lama ia membacakan terjemahan ayat Alquran surat An Nur ayat yang ketiga. “Laki-laki yang berzina tidak mengawini (wanita) kecuali perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”
Yudis manggut-manggut dan tersenyum bangga akan kecerdasan istrinya. Dia sendiri memang masih harus belajar banyak mengenai hukum-hukum Islam. “Sekalian pendapat para ulamanya dong?” seru Yudis.
Bu Farida yang duduk di belakang dari tadi hanya mendengarkan saja. Sebenarnya dalam hal ini, Bu Farida berbeda pendapat dengan Ustad Suhada. Menurutnya yang berpedoman pada pendapat beberapa ulama, meyakini bahwa perempuan yang sedang hamil itu haram untuk dinikahi oleh siapa pun.
Ratri kembali tersenyum. “Ada beberapa ulama yang mengharamkan, Aa. Namun ada pula yang memakruhkan. Salah satu yang memakruhkan itu adalah Imam Nawawi. Dalam kitabnya Majmu’ Syarah Al-Muhazad, beliau berkata: Apabila seorang perempuan berzina, maka tidak ada iddah baginya, baik ia dalam keadaan tidak hamil mau pun hamil. Karena itu, jika ia dalam keadaan tidak hamil, maka boleh bagi pezina dan lainnya yang bukan menzinainya menikahinya dan jika ia hamil karena zina, maka makruh menikahinya sebelum melahirkan anaknya,” jawab Ratri sangat jelas penuh keyakinan.
“Apa cuma Imam Nawawi saja?” Yudis terus bertanya.
“Tentu tidak, Sayyed Abdullah bin Umar dan Syaikh Muhammad al-Asykhar al-Yamany mengatakan: “Boleh nikah wanita hamil karena zina, baik oleh pezina itu sendiri atau dengan lainnya dan boleh disetubuhi ketika itu, tetapi makruh,” sahut Ratri, “kesimpulannya adalah boleh, tapi makruh. Juga kita harus melihat dari sisi sosial kemasyarakatan. Jika wanita yang hamil itu tidak segera dinikahkan, maka akan mengakibatkan krisis mental. Mereka bisa saja berpikir bahwa dirinya sangat kotor dan hina. Jadi menikahkan wanita yang sudah hamil dengan pria yang menghamilinya menurut Neng itu baik, juga sesuai dengan tuntunan syariat. Tentu saja sebagai sarana taubat untuk pelakunya.” Ratri akhirnya menjelaskan secara terinci.
Yudis tersenyum. Tangan kirinya membelai pipi sang istri lembut. Sedang tangan kanannya masih terus memegang setir. Sementara di belakang, Bu Farida ikut manggut-manggut mendengar penjelasan dari menantunya yang begitu gamblang.
Tak terasa, dua jam sudah mereka melakukan perjalanan. Hampir tak terasa karena sepanjang jalan di sertai obrolan yang penuh hikmah juga sedikit candaan. Bu Farida terus mencandai anak dan menantunya soal keinginannya untuk segera mempunyai cucu. Jam setengah sepuluh, mereka tiba di rumah dan langsung beristirahat. Bahkan, hanya untuk memasukan mobil ke garasi pun, Yudis meminta tolong pada Mang Dadang.
***