Sementara itu, Dewanti masih terbaring di rumah sakit. Selama itu juga ia menanti kabar dari Yudis. Biasanya setiap pagi Yudis selalu mengiriminya kata-kata cinta melalui pesan singkat. Biasanya setiap pagi Yudis selalu mengingatkannya untuk sarapan. Biasanya setiap pagi Yudis selalu menemuinya sebelum ia masuk kampus. Namun pagi ini semua hilang, semua tak ada, Dewanti semakin putus asa. Semua yang ada, semua perhatian dari orang-orang di sekitarnya, tak mampu mencukupi kerinduannya kepada Yudis.
Dewanti masih saja terpejam tak berdaya dengan perban di kepala dan kakinya meski tak separah ketika awal ia masuk rumah sakit. Kini Dewanti telah bisa bangkit untuk sekadar duduk memandang pintu ruangan berharap Yudis muncul dengan senyuman termanisnya. Namun, Yudis tak juga muncul. Bahkan hanya untuk memberinya senyum. Bu Nining duduk di sampingnya. Wajahnya membersitkan kepiluan yang mendalam.
“O Tuhan, kuatkan putriku dalam menerima semua kehendak-Mu,” Bu Nining mengelus kepala putrinya.
Dewanti membuka matanya. Memandang wajah sang ibu dengan mata coklatnya yang sembab. Pandangan sayunya bertemu tatap dengan sepasang mata ibunya yang senantiasa berdoa. Tak ada kata, karena kedua tatapan itu sudah mengatakan segalanya ketika dari kedua pasang itu menetes air mata.
“Sarapan dulu, De,” ucap Bu Nining lirih.
Dewanti menjawab dengan anggukan.
Bu Nining membantu Dewanti untuk duduk. Bersamaan dengan itu, Arya masuk ke dalam ruangan. Di tangannya ada dua kantong plastik yang tak lain adalah bubur kacang ijo kesukaan Dewanti. Ia langsung mendekati Dewanti yang sedang menatapnya. Terbersit harapan dalam tatapan itu Arya membawa kabar tentang Yudis.
“Mau sarapan bubur ayam, apa bubur kacang, De?” tanya Bu Nining.
“Bubur kacang ijo dong ... iyakan!” Arya yang menjawab sembari tersenyum.
“Makasih, Ar.” Dewanti senyum meski sangat dipaksakan.
Bu Nining segera memindahkan bubur kacang ijo dalam plastik itu ke sebuah mangkok. Namun, baru saja ia hendak menyuapi Dewanti, Pak Jovan meneleponnya dari rumah.
“Biar Arya yang menyuapi Dewanti, Bu,” pinta Arya.
Bu Nining memberikan mangkuk itu kepada Arya. Dengan tulus Arya menyuapi Dewanti. Ada kebahagiaan dalam hatinya karena di saat Dewanti membutuhkan seseorang, dia selalu ada di dekatnya. Sedang Bu Nining segera keluar dari ruangan.
“Sudah ada kabar tentang Yudis?” Dewanti menatap Arya.
Arya geleng-geleng kepala.
Dewanti kembali terdiam. Bahkan ketika Arya hendak menyuapinya kembali, Dewanti geleng-geleng kepala sambil menutup mulut.
“Ayo dong, De. Habiskan sarapannya, biar kamu cepet pulih,” rayu Arya.
“Aku nggak ada napsu makan, Ar,” pelan Dewanti.
Arya tak ingin memaksa Dewanti. Ia letakan mangkuk pada meja kecil di samping tempat tidur. Kemudian melangkah menuju jendela dan membuka gordennya. Cahaya matahari menyeruak masuk ke dalam kamar. Lalu Arya kembali duduk di tepian tempat tidur.
“Aku tak tahu harus berkata apa untuk menghiburmu, De. Tapi percayalah, sebagai sahabat aku akan selalu berusaha ada buatmu.”
Dewanti menatap Arya. Sebenarnya ia tahu kalau sejak dulu Arya mencintainya. Tapi karena telah terlanjur jatuh cinta dengan Yudis, maka ia menutup rapat-rapat pintu hatinya untuk pria lain.
“Terima kasih, Ar. Aku tak kan pernah melupakan semua kebaikanmu selama ini. Hanya kamu dan orangtuaku yang selalu ada buatku. Bahkan, Yudis tak peduli lagi padaku,” lirih Dewanti. Air matanya pun berlinang.
“Aku melakukan semuanya tulus, De. Dan soal Yudis, aku akan selalu berusaha mencari kabar tentangnya,” jawab Arya.
Dewanti tersenyum getir.
Bersamaan dengan itu Bu Nining masuk ruangan. Wajahnya semakin terlihat layu. Ia membawa sebuah koran yang digulung di tangan kanannya. Dewanti dan Arya menatapnya. Nampak jelas ada air mata mengaliri pipinya.
“De …,” lirih Bu Nining.
“Ya Ma, maafkan Dewanti karena sudah membuat Papa dan Mama repot,” jawab Dewanti.
Bu Nining geleng-geleng kepala dan segera memeluk putrinya.
“Kamu tak pernah merepotkan Papa dan Mama, De. Justru Mama sama Papa lah yang seharusnya minta maaf sama kamu,” jawab Bu Nining.
Air matanya semakin deras membasahi bahu Dewanti. Arya hanya terdiam melihat adegan mengharukan itu. Perlahan Bu Nining melepaskan pelukannya. Lalu mencium kening putrinya.
“Mama harap kamu bisa menerima semua ini. Mama yakin, suatu saat nanti kamu akan menemukan pria yang tepat dan benar-benar mencintaimu,” ucap Bu Nining.
“Apa maksud Mama?”
“Ini bacalah!” seru Bu Nining sambil menyerahkan koran kepada Dewanti.
Dewanti menerimanya dengan tangan kiri. Dan, Deg! Seolah ada benda keras yang menumbuk dadanya. Napasnya menyesak ketika melihat di koran itu terpampang Foto Yudis tengah bersanding dengan seorang wanita. disertai kalimat:
“Keluarga Besar Pondok Pesantren Al-Ilma mengucapkan Selamat atas pernikahan Yudisthira dan Syiwaratri, semoga menjadi keluarga Sakinah Mawaddah dan Warahmah.”
Dewanti terkulai lemah. Tanggul tangguh yang selama ini menahan air matanya jebol seketika.
“Yu ... dis ....”
Hanya kata itu yang keluar dari bibirnya yang bergetar menahan isak.
“Kenapa Yudis ...,” lirihnya kembali.
Bu Nining tak kuasa menahan pilu mendapati kenyataan pedih yang kini dialami oleh putrinya. Ia merasa sangat bersalah. Andai sedari dulu ia mengizinkan Dewanti untuk segera menikah mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi. Namun nasi telah menjadi bubur. Cinta Dewanti harus mati sebelum bermuara.
Dipeluknya Dewanti sangat erat. Air matanya membasahi bahu Dewanti yang saat itu bergerak-gerak menahan gejolak rasa yang menyesak dalam dada. Bu Nining seolah ingin menghisap semua perih dalam jiwa putrinya.
“O Tuhan, kenapa Kau buat putriku menderita?” jeritnya dalam hati.
Sementara Arya hanya mampu terdiam tanpa kata. Meski airmatanya tak sederas airmata Bu Nining dan Dewanti, tapi tetap saja ada embun yang mengalir pelan menyusuri pipinya.
Tangisan Dewanti kian terdengar lirih. Perlahan hilang. Dewanti terkulai dalam pelukan sang bunda, pingsan. Arya segera bertindak cepat. Setengah berlari ia memanggil perawat jaga. Tak lama, perawat jaga datang dan segera melakukan pertolongan kepada Dewanti. Arya dan Bu Nining mundur beberapa langkah. Wajah mereka menampakan kecemasan yang sangat.
Bersamaan dengan itu, Dokter Bagas yang memang bertugas menangani Dewanti masuk. Tanpa banyak kata dia langsung memeriksa Dewanti. Setelah dokter itu memijit-mijit kaki Dewanti, barulah terdengar Dewanti merintih lirih. Tangisnya kembali lasat.
“Kenapa dia, Bu?” tanya Dokter Bagas kepada Bu Nining.
Namun Bu Nining tidak mengatakan yang sesungguhnya. Ia hanya mengatakan tiba-tiba Dewanti pingsan tanpa sebab yang jelas. Ia tak ingin semua orang tahu tentang apa yang dialami Dewanti.
Dokter Bagas mengangguk. Matanya yang tajam berkarisma itu menatap wajah putih sembab Dewanti. Melalui tatapan, ia seolah dapat merasakan apa yang sedang dirasakan oleh pasiennya itu. Sejenak tak ada yang bersuara. Hanya Rintih lirih dan isak duka Dewanti yang terdengar. Begitu menyayat hati. Ibarat requiem pengantar keranda cinta menuju pusara pujangga yang mati terbunuh diksinya sendiri.
“Ibu tak usah terlalu cemas. Saya yakin, Dewanti akan baik-baik saja,” ucap dokter Bagas.
“Terima kasih, Dok!” sahut Bu Nining.
“Saya juga akan memaksimalkan perawatan saya kepada Dewanti. Bahkan saya akan berusaha mengobati luka hatinya.” Dokter Bagas berkata seraya tersenyum kepada Dewanti dan itu membuat hati Arya terbakar.
Bu Nining menyeka airmatanya dengan tisu yang telah kusut.
“Saya ucapkan terima kasih banyak kepada Dokter. Apa yang bisa membuat Dewanti cepat pulih , lakukan saja, Dok . Biaya tak jadi masalah,” ucap Bu Nining.
“Baiklah, kalau begitu saya akan menambah jadwal periksa saya.”
Tentu saja Bu Nining semakin lega mendengar penuturan Dokter Bagas. Entah kenapa Bu Nining menyimpan harapan lebih kepada dokter muda yang cukup tampan dan ramah itu. Bu Nining tersenyum seraya mengelus kepala putrinya. Sementara Arya semakin merasa tersisih. Ia berusaha menahan rasa cemburu karena yang terpenting baginya kini adalah Dewanti dapat kembali pulih. Harapan terbesar Arya adalah melihat Dewanti tersenyum. Itu saja.
Dokter Bagas pamit. Namun ia berjanji akan datang lagi siang nanti saat Dewanti minum obat. Sebelum keluar dari ruangan, Dokter Bagas sempat memegang tangan Dewanti terlebih dahulu membuat hati Arya semakin terbakar. Dewanti yang ketika itu sedang terpejam, tiba-tiba membuka matanya lalu menatap sang dokter.
“Kamu wanita yang kuat dan tangguh. Aku yakin kau bisa hadapi semua ini,” kata Dokter Bagas lembut. Namun Dewanti tak merespon. Lalu kembali memejamkan mata. Arya dan Bu Nining hanya mampu menarik napas dalam seoalah baru berhenti setelah berjalan panjang yang melelahkan.
***