Alangkah dasyatnya energi cinta. Jerit hati Yudis, ternyata mampu membuat Dewanti yang saat itu tengah koma membuka mata seketika. Tentu saja itu membuat Bu Nining dan Pak jovan senang. Mereka segera mendekati Dewanti.
“Alhamdulillah kamu sudah sadar, De ...,” lirih Bu Nining. Sementara Pak Jovan memegang tangan putrinya penuh kasih.
Dewanti menatap wajah kedua orangtuanya secara bergantian. Matanya sayu. Rasa sakit di kaki dan kepalanya membuat dia tak segera menjawab. Belum lagi pikirannya yang langsung teringat pada Yudis. Pandangannya mengitari setiap sudut ruangan seperti mencari seseorang.
“Yu ... Yudis ...,” lirihnya.
Bu Nining mengusap wajah putrinya. “Mungkin Yudis sedang sangat sibuk hingga dia belum bisa datang,” Bu Nining menduga-duga.
“Sudahlah, De. jangan banyak berpikir dulu supaya kesehatan cepat pulih.” Pak Jovan menimpal.
Dewanti tak menjawab. Ia kembali memejamkan mata seraya menikmati sakit pada kaki dan kepalanya. Namun rasa sakit itu seketika tertutup dengan sakit lain yang langsung bersumber dari hatinya. Sakit karena Yudis seolah tak peduli akan dirinya. “Atau mungkin Yudis belum tahu kalau aku kecelakaan?” tanya hatinya.
Bersamaan dengan itu, seorang dokter muda dan seorang seorang perawat masuk ke dalam ruangan. Dia adalah Dokter Bagas. Bu Nining dan Pak Jovan menyambut ramah. Tanpa banyak kata, Dokter Bagas segera memeriksa kondisi Dewanti. Bu Nining dan Pak Jovan hanya diam. Mereka memberikan keleluasaan kepada sang Dokter.
Dokter Bagas menarik napas dalam. “Untung saja benturan di kepalanya tidak terlalu keras. Tidak mengakibatkan luka dalam. Sedang untuk kakinya, butuh waktu cukup lama untuk kembali ke kondisi normal,” jawab Dokter Bagas.
“Terima kasih, Dokter,” ucap Pak Jovan.
Dokter Bagas tersenyum.“Sudah tugas saya, Pak.” Katanya. Kemudian menatap wajah Dewanti yang meski dalam kondisi seperti itu, aura kecantikannya tetap terpancar. Ada yang lain dalam tatapan Dokter Bagas kepada Dewanti. “Kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk bicara sama saya, ya,” katanya dan tersenyum kepada Dewanti.
Dewanti tak menjawab. Tak ada keinginan saat ini dalam hatinya selain berjumpa dengan Yudis. Hatinya menjerit memanggil-manggil Yudis.
Seorang pria masuk ke dalam ruangan. Ternyata Arya. Dewanti menatap Arya dengan pandangan penuh tanda tanya dan harapan. Arya seolah bisa membaca tatapan sahabatnya itu. Namun, langkahnya tertahan ketika melihat dokter. Ia takut mengganggu dokter yang sedang bicara dengan Dewanti. Baru setelah Dokter Bagas keluar, Arya mendekati Dewanti.
“Yu ... Yudis?” lirih Dewanti.
Arya menatap wajah Dewanti haru.
“Yudis sudah kamu beri tahu, Arya?” tanya Bu Nining.
“Sudah sejak kemarin. Memangnya belum kemari?” Arya menjawab dengan tanya.
Bu Nining geleng-geleng. Sementara Dewanti kembali memejam matanya. Hatinya makin perih. Di saat seperti ini dia benar-benar berharap Yudis ada di dekatnya. Namun kenyataannya lain. Yudis seolah tak peduli lagi padanya kini. Air mata seketika mengaliri pipi.
***
Matahari sedikit tergelincir dari atas kepala ketika Bu Farida pulang dari rumah sakit. Yudis dengan setia dan penuh kasih selalu berada di dekatnya. Yudis meminta Rio untuk menyetir. Hanya butuh waktu 30 menit ditambah macet untuk sampai di rumahnya di jalan Cihanjuang. Kedatangannya langsung disambut oleh Mang Dadang dan Mbak Nengsih. Rio menghentikan mobil di depan teras sebelum memasukan mobil kedalam garasi. Yudis segera menggandeng ibunya keluar dari mobil menuju kursi rotan di teras rumah.
Bu Farida menghela napas ketika ia duduk di kursi rotan itu. Memandangi bunga-bunga dan air mancur yang tak pernah kering. Wajahnya semakin terlihat segar. Hatinya terasa lega karena ternyata akhirnya Yudis mau dijodohkan dengan Ratri putri dari sahabatnya. Tergambar dalam benaknya masa depan penuh bahagia. Dia sangat yakin bahwa Ratri bisa menjadi istri yang baik untuk putranya. Bagaimana tidak, Ratri adalah seorang muslimah yang taat beragama. Belum lagi ayahnya yang seorang ustad dan mempunyai sebuah pondok pesantren.
“Istirahatnya di dalam saja, Bu,” ucap Yudis.
Bu Farida menatap dan tersenyum kepada putranya. “Di sini aja dulu. Di dalam sumpek,” jawabnya.
“Ya udah. Mau minum?” tanya Yudis.
Bu Farida mengangguk. “Ambilkan air putih saja.”
Yudis masuk ke dalam rumah. Tak lama sudah kembali membawa segelas air putih. Bu Farida menerimanya sambil tersenyum bangga. ”Duduk sini, Nak. Ibu ingin bicara.” Katanya setelah mereguk air tersebut.
Yudis yang memang tak mau berjauhan dengan ibunya segera duduk. Sementara Om dan Tantenya mohon izin untuk pulang dulu. Rumah mereka tidak terlalu jauh. Masih dalam satu lingkungan komplek. Begitu pun dengan Rio. Ia segera pulang. Sedang Mang Dadang dan Mbak Nengsih segera melanjutkan tugasnya masing-masing.
“Nanti malam, Umi Siti dan Ustad Suhada akan datang, sekaligus membawa Ratri. Dan kamu pasti tahu untuk apa mereka datang.” Kata Bu Farida.
“Iya Bu. Pokoknya semua keputusan ibu, Yudis ikut saja.Yang penting ibu tetap sehat dan bahagia.” Jawab Yudis.
Bu Farida tersenyum. “Kalau misalnya pernikahanmu dipercepat bagaimana?”
“Yudis sih setuju saja, Bu. Tapi kan kita butuh persiapan. Yudis juga ingin menjual galeri Yudis terlebih dahulu. Rencananya ingin dipindah ke Bandung.”
“Tak butuh persiapan yang berlebihan kok, karena sebelumnya Ibu sudah bicara sama Umi Siti dan Ustad Suhada bahwa pernikahan akan dilaksanakan sesuai syariat Islam. Jadi hanya ada akad saja. Itu pun di pesantren milik mereka. Tak ada resepsi seperti kebanyakan orang.”
Yudis terdiam.
“Kenapa? Kamu ingin pernikahanmu meriah?” tanya Bu Farida.
“Bukan begitu, Bu. Tapi apa Yudis pantas mendapatkan wanita secantik dan sebaik Ratri? sedang ibu tau sendiri Yudis seperti apa. Yudis masih harus banyak belajar dalam pemahaman agama. Apa nantinya keluarga kita tidak akan malu?” Yudis sedikit pesimis.
“Kata siapa kamu tak pantas, buktinya Ratri sendiri bilang sama ibu kalau dia sudah mencintaimu sejak SMA. Cuma kamunya saja yang tak menyadari perhatian Ratri.” Bu Farida tersenyum.
“Benarkah, Bu?” Yudis ragu. Bagaimana tidak, sejak dulu Ratri tahu bahwa dia play boy. Yudis selalu menceritakan tentang apa pun kepada Ratri. Jika benar Ratri sudah mencintainya sejak dulu, Yudis tak bisa membayangkan betapa sakitnya hati Ratri karena pria yang di cintainya mencintai wanita lain.
“Ah, betapa kuat cintanya kepadaku,” desah Yudis.
Mbak Nengsih datang ke hadapan mereka. Dia memberitahu bahwa makanan sudah siap. Yudis dan Bu Farida pun segera masuk menuju ruang makan. Hari itu Mbak Nengsih masak sayur bayam, tahu dan tempe goreng. Dia sangat memperhatikan kesehatan Bu Farida. Sedang untuk Yudis, Mbak Nengsih masak makanan kesukaan Yudis, daging kambing yang di goreng kering dan disiram sambal kecap.
Mereka makan sangat lahap. Bu Farida yang biasanya tidak ada nafsu makan, kini terlihat lahap karena di sampingnya ada Yudis putra semata wayangnya. Begitu pun dengan Yudis. Di luar sebuah mobil avanza memasuki halaman rumah. Ternyat Tante Diana dan Om Syam. Mereka datang sambil membawa beraneka macam buah-buahan. Mereka pun segera masuk. Begitu melihat Yudis dan Bu Farida sedang makan, Tante Diana dan Om Syam pun segera bergabung
***