“Eh, nggak apa-apa. Rambutmu basah,” jawab Yudis spontan.
Dewanti tersenyum. “Ya iyalah, namanya juga kehujanan,” katanya, “Kamu baik-baik saja kan, Yang?” tanya Dewanti. Rupanya dia melihat raut wajah Yudis yang saat itu terlihat muram.
Yudis geleng-geleng.
“Nggak sakit kan?” tanya Dewanti kembali sungguh-sungguh.
Yudis mencoba tersenyum meski hatinya sangat hancur. “Aku baik-baik saja, De.”
Dewanti terkejut, “Apa? ‘De’! Sejak kapan kamu panggil aku ‘De’?” tanya Dewanti.
Yudis kaget dengan kata-katanya sendiri dan membuatnya salah tingkah. Sebab, biasanya dia memanggil kekasih hatinya itu dengan kata sayang. Dewanti terus menatapnya. Ditatap seperti itu, Yudis semakin salah tingkah. Tatapan Dewanti seolah membelah dadanya. Mengorek isi hatinya. Yudis seperti kehilangan semua kata. Sebisa mungkin dia menghindar dari tatapan itu. Namun, Dewanti memegang dagunya. Memaksa Yudis untuk beradu tatap dengannya. Yudis malah memejamkan matanya. Entah mengapa, kali ini Yudis tak kuasa menatap mata kekasihnya
“Ada apa sebenarnya, Sayang?” tanya Dewanti dengan suara lembut .
Perlahan mata Yudis terbuka. Didapatinya sepasang mata indah sedang menatapnya. Bukan tatapan biasa. Tatapan mata sungguh-sungguh Dewanti untuk mengetahui apa sesungguhnya yang sedang dirasakan lelaki di hadapannya.
Tentu saja Yudis semakin tersiksa dengan perhatian Dewanti seperti itu. Dia tak tahu harus dengan kata apa untuk mengatakan bahwa bisa saja senja ini adalah hari terakhir mereka bertemu. Yudis sungguh tak akan pernah sanggup melihat air mata wanita yang sangat dia cintai itu. Yudis benar-benar rapuh. Tak terasa air mata mengembun di sudut mata kirinya.
Melihat Yudis seperti itu, Dewanti semakin heran. Yang dia tahu, jika seseorang mengeluarkan air mata hanya disebelah mata kirinya, itu pertanda orang itu tengah menyimpan sebuah beban berat yang sangat sulit untuk diutarakan. Dewanti menggeser kursi mendekati Yudis. Kemudian memegang jemari tangan pria yang sangat dicintai itu.
“Ibu baik-baik saja kan, Yang?” Katanya penuh perhatian. Suaranya semakin pelan. Bahkan terdengar hanya sebuah bisikan. Pada setiap huruf yang membentuk kata, ada nada kasih dan sayang.
Yudis menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. “Saat ini Ibu baik-baik saja. Tapi, sewaktu-waktu penyakit jantungnya bisa kambuh. Aku takut ....” Ada nada kesedihan dan ketakutan dalam suaranya.
Dewanti menghela napas dalam. “Sabar ya, semua penyakit pasti ada obatnya,” ucap Dewanti. “Atau ada sesuatu hal yang aku lakukan hingga membuatmu sedih?” Tatapan Dewanti menyapu wajah laki-laki di depannya penuh cinta.
Yudis menunduk. “Tidak, Sayang. Kau tak pernah membuatku kecewa apalagi sedih.”
“Lalu, apa yang membuatmu seperti ini? Biasanya kamu kuat, kamu adalah pria paling tegar yang pernah aku kenal.”
Yudis tak lantas menjawab. Tatapannya sangat dalam ketika bertatapan dengan sepasang mata coklat yang selalu membuatnya tenang. Namun kini, Yudis seperti melihat masa depannya hancur pada kedua mata itu. Digenggamnya jemari Dewanti sangat erat. Seerat ketika dia menggenggam jemari sang ibu untuk berjanji akan menuruti semua permintaannya.
”Maafkan aku, Sayang. Aku ....” kata-katanya tercekat di tenggorokan.
“Kenapa Sayang? Bicaralah! Jangan buat hatiku resah.” Dewanti berkata penuh rasa sayang.
“Ibu meminta aku untuk segera menikah. Menikahlah denganku, Sayang.” Mata Yudis senantiasa berdoa menatap wajah Dewanti lekat.
Dewanti mengusap pipi Yudis. Lalu tersenyum. “Aku selalu senang dan bahagia setiap kamu mengungkapkan keinginan itu, Sayang. Tapi, bukankah sudah sering aku jawab juga, bahwa aku tak bisa menikah sebelum lulus kuliah. Lagi pula, tinggal sebentar lagi kok. Tinggal satu semester lagi aja. Masa kamu nggak bisa menunggu. Enam bulan itu waktu yang sangat singkat. Dan ketika sudah lulus, aku siap menikah denganmu kapan saja. Aku janji.”
“Aku tahu dan sangat mengerti, Sayang. Jangankan cuma enam bulan, seratus tahun pun aku akan selalu setia menunggumu. Tapi, tolong! Lihat ibuku. Dia ingin melihatku menikah sebelum mengembuskan napas terakhirnya,” jawab Yudis.
“Apa kamu yakin bahwa usia ibumu akan sependek itu? Bukankah kamu yang selalu bilang bahwa hidup mati seseorang itu hanya Allah yang menentukan? Kenapa kali ini kamu mendustakan ucapanmu sendiri, Sayang!”
“Kondisinya lain, sayang. Ibuku sakit! dan sebagai mahasiswa kedokteran tentu kamu sangat tahu, bahwa tidak ada lagi yang diharapkan dari seseorang yang mempunyai jantung lemah seperti ibuku.”
Dewanti terdiam. Dadanya mulai sesak. Entah kenapa dia merasa bahwa ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Yudis. Dia sangat mencintai Yudis. Namun, dia pun ingin menyelesaikan kuliah terlebih dahulu sesuai keinginan orang tuanya.
Begitupun dengan Yudis. Terjadi kekacauan dalam pikirannya. Dia tak mau berpisah dari Dewanti. Namun, dia pun takut ibunya meninggal sebelum melihatnya menikah. Tentu itu akan membuatnya sangat bersedih dan merasa jadi anak durhaka andai semua bayangannya terjadi.
“Kini aku tahu, kenapa akhir-akhir ini kau selalu menghindar saat aku ajak ketemu, Yudis. Kau memang ingin berpisah denganku.” Dewanti berkata dengan air mata yang mulai mengalir dari sepasang mata coklatnya. “Apakah sungguh tak berarti semua yang telah kita lewati selama empat tahun ini?”
Yudis menarik napas berat demi melihat butiran bening yang meleleh dari sepasang mata indah itu. “Karena itulah aku mengajakmu untuk menikah, aku tak ingin kita berpisah, Sayang! Bukankah kamu masih terap bisa kuliah setelah menikah?”
“Sepertimu, aku juga punya orang tua, Sayang. Dan bukankah kau sendiri pernah mendengar apa yang orang tuaku katakan bahwa aku hanya boleh menikah denganmu setelah aku lulus kuliah.”
Yudis terdiam sesaat. ”Lantas apa yang mesti kita lakukan sekarang, Sayang? Aku sangat mencintaimu dan aku pun sangat mencintai ibuku. Aku sangat takut jika ....”
“Memangnya Ibumu ingin kamu menikah kapan? Tidak bisakah menunggu hingga aku selesai kuliah?”
“Justru itulah kenapa aku memaksamu untuk segera menikah. Ibu tak mau menuggu lagi. Bahkan, ibu telah menjodohkan aku dengan putri dari sahabat almarhum ayah. Aku hanya diberi waktu satu minggu untuk berpikir, apa aku akan menerima perjodohan itu, atau menikah dengan pilihanku sendiri. Jika dalam satu minggu aku tak dapat memberi kepastian kepada ibu, maka mau tak mau aku harus menerima perjodohan itu,” jelas Yudis.
***