Blok 20-Benita
Semesta Benita
Malam. Mungkin pukul dua belas atau lebih. Jika lebih, hari telah berganti. Seperti ular yang mengganti kulitnya agar bergerak lebih gesit. Segesit tanganku yang menyayat leher.
Hatiku hancur sejak Aini mengabarkan keputusan Tante Yvonne dan Dokter Kamal. Aku tak bisa membayangkan jika Zakaria pergi untuk selamanya. Saat dia menikahi Sabila saja sudah meluluhlantakkan kalbuku, bagaimana bila dia telah meninggalkan dunia ini?
Sengaja kupilih ruang terbuka di depan kolam renang untuk melukai diri. Sebenarnya, aku bisa saja melakukannya di penjuru rumah. Toh aksiku takkan ketahuan karena Mama dan Papa sedang ke luar kota. Namun, aku merasa tempat ini paling aman. Semoga tidak ada dia.
“Benita! Stop!”
Aku terjerembap, nyaris tercebur ke kolam. Sosok pucat berpakaian putih itu mendekatiku. Direbutnya silet yang kugunakan dan dilemparnya ke kolam renang. Raut wajah tampannya berhias kemarahan.
“Jangan pedulikan aku! Biarkan aku melukai diriku sendiri!” teriakku.
Zakaria mengepalkan tangan dengan gusar. “Aku sudah gila kalau membiarkanmu begitu.”
Aku tergugu. Kutatap wajahnya lekat. Sebentar lagi aku tak bisa melihatnya. Dia akan segera pergi. Melihatku menangis, ekspresi wajah Zakaria melembut. Dia menghilang sebentar ke dalam rumah, lalu muncul lagi sambil menenteng obat merah dan plester. Sambil mengobati lukaku, dia mulai bicara.
“Bayangkan kulitmu punya perasaan. Bisa sedih, bahagia, dan marah. Lalu darah yang keluar ini, anggaplah sebagai air matanya. Kamu, ibu perinya Magenta, bisa menjaga perasaan orang lain agar tidak menangis, tapi kamu tidak bisa menjaga kulitmu untuk tidak menangis. Bukankah itu ironis sekali?”
Hal ini telah sering terjadi. Aku melukai diri dan Zakaria mengobatinya. Mungkin saja aku punya riwayat self harm dari Papa. Kata Mama, Papa pernah sakit di usia muda hingga ia melukai diri.
“Kamu kenapa, Benita?” tanya Zakaria lembut selesai mengobatiku.
Haruskah aku jujur padanya? Tidakkah dia akan lebih bersedih dariku? Zakaria menatapku lurus.
“Tolong katakan yang sebenarnya.”
“Tante Yvonne dan Dokter Kamal akan mencabut alat medis dari tubuh Kakak saat Lebaran nanti.”
Aku berdebar menunggu reaksinya. Aku menoleh pelan-pelan ke samping kiri. Betapa heran diriku karena wajah Zakaria sangat tenang. Tak nampak gurat ketakutan atau kesedihan di sana. Dia begitu pasrah menerima keputusan itu. Ataukah dia terlatih menyembunyikan perasaan?
“Kakak masih mau bertahan hidup, ‘kan?” desakku.
Zakaria menatap muram langit berbintang. Kedua tangannya menangkup di depan dada.
“Well, aku tidak tahu. Aku merasa tidak ada alasan untuk bertahan hidup,” lirihnya.
Aku berkaca-kaca mendengarnya. Selama ini aku memang tidak berarti untuknya. Kupikir setelah kebersamaan kami di sini, dia akan bertahan hidup untukku. Tidakkah dia memikirkan Yuke dan kedua orang tuanya?
“Bukan begitu, Benita. Kamu sangat berarti. Hanya kamu, Yuke, dan kedua orang tuaku yang paling berharga di hidupku.”
“Tapi kenapa Kakak nggak mau bertahan hidup demi kami?” protesku nelangsa.
Tunggu, apa tadi dia bilang? Aku sangat berarti untuknya. Bahkan, tadi dia tak menyebut Sabila. Padahal perempuan antagonis itu yang dia nikahi.
“Itulah yang kusesali, Benita,” lanjutnya.
“Aku terlambat menyadari rasa cinta ini. Kuberikan rasa cintaku pada wanita yang salah. Itu sebabnya aku ada di sini, bukannya di tempat Sabila.”
Oke, silakan menyebutku cengeng. Air mataku tumpah. Ternyata Zakaria mencintaiku. Memang tak ada kalimat ‘aku mencintaimu’ terlontar darinya. Namun, dari sekian banyak kebersamaan kami dan pilihannya untuk menjadi penunggu rumahku sudah membuktikan segalanya.
“Kita bisa memperbaikinya,” ujarku.
“Kembalikan jiwa Kakak ke raga yang terbaring koma di rumah sakit. Ceraikan Sabila dan kita bisa bersama.”
Senyum pahit tergurat di bibir pucat Zakaria. “Tidak semudah itu, Benita. Apa bedanya jika aku bangun? Virus ini belum ada obatnya. Dan keadaanku sangat parah saat aku koma.”
Kupeluk tubuhnya. Kurasakan kulitnya yang sedingin es bersentuhan dengan kulitku. Seraya memeluknya, kubisikkan nyanyian.
Andai 'ku jadi bintang, bintang hatimu
Andai aku jadi awan kau pelangiku
Meramaikan dunia
Cinta sahabat mewarnai hidupku
Sahabat yang sejati itulah kita
Biarkan 'ku menari di derasnya hujan
Tak kurela kau terluka
Biarlah aku menggantikan sulitmu (Melly Goeslaw-Bintang di Hati).
Kupikir itu cukup. Aku ingin dia tahu bahwa aku bersedia berbagi rasa sakit dengannya. Bahkan aku berharap sakitnya pindah padaku. Bila kondisinya tak pernah pulih lagi, aku mau merawatnya. Aku mau menjadi sahabatnya, sahabat hidupnya. Bukan hanya sekedar teman hidup, tetapi juga sahabat hidup.
Sungguh, perasaan Zakaria begitu lembut. Kulihat embun bening menepi di pelupuk matanya saat aku memikirkan hal itu. Pastilah dia telah membaca isi hatiku.
**
Pria tampan itu bergegas menuju mobil. Di tangannya, tergenggam amplop berlogo rumah sakit. Di balik senyum yang dipaksakan, masih tersimpan seberkas kemurungan.
Setiba di rumah, dia bersikap senormal mungkin. Dia memasakkan steak, ayam cincane, dan tteokbokki. Semua itu makanan kesukaan Momma, Papa, dan adik angkatnya. Ketiga orang yang disayanginya pulang tepat ketika masakannya matang.
Pria tampan berkulit hitam manis itu menyambut mereka dengan hangat. Menanggapi keceriaan adiknya yang berpas mirip Oppa-Oppa Korea. Ia perlihatkan diri seolah dirinya sehat walafiat.
Kejadian itu berlangsung terus selama berminggu-minggu. Pagi sampai sore dia di rumah sakit, terbaring dengan selang infus menancap di lengan dan selang oksigen terpasang di hidung. Dua-tiga kali ia batuk darah. Menjelang petang dia pulang ke rumah dan berpura-pura sehat.
Seorang bayi perempuan tergolek lemah di ranjang mewah. Dia menangis keras-keras. Pintu mengayun terbuka, sepasang pria dan wanita berjalan masuk. Wanita yang bukan ibu kandung si bayi menggendong si bayi berwajah manis. Ajaibnya, bayi itu berangsur tenang. Sang pria mengatakan bahkan ibu kandungnya saja tak pernah berhasil menghentikan tangis bayinya. Selama beberapa jam, si pria dan wanita berbaring di kanan-kiri si bayi. Mereka layaknya keluarga bahagia.
Derum mobil dan dering bel mendobrak kesadaran. Si pemilik asli sudah pulang. Demi menghindari perang dunia ketiga, si pria terpaksa menggiring wanita itu ke kolam renang. Si wanita melompat ke kolam renang dan bersembunyi di sana sampai waktunya aman.
Pemandangan berikutnya adalah sebuah wastafel. Terlihat pria rupawan itu memuntahkan darah. Teduh matanya memancarkan kesakitan yang amat sangat. Setelah muntah darah, si pria jatuh pingsan.
Kutarik napas dalam-dalam. Ternyata begini rasanya dirasuki. Punggung terasa berat, leher kaku, dan pikiranku dipenuhi ingatan yang bukan milikku. Namun, aku menemukan diriku dalam salah satu kepingan memori. Zakaria tengah merasukiku untuk kedua kali. Saat ini, kami sedang dalam perjalanan menuju rumah Tante Yvonne. Sudah berkali-kali beliau mengundangku berbuka puasa di rumahnya. Sebuah kesempatan emas karena ini searah dengan rencanaku.
“Kenapa harus merasuki kalau hanya ingin tanda tangan surat cerai?” tanyaku penasaran.
“Karena hantu tidak bisa meninggalkan jejak. Jejak yang kumaksud seperti tulisan atau tanda tangan.” Kurasakan bibirku bergerak di luar kendali.
Mobilku menepi di carport Kediaman Keluarga Pangemanan. Halaman depan dan belakangnya cukup luas. Pagar keliling berwarna putih menciptakan kesan megah. Tante Yvonne telah menungguku. Kami berpelukan hangat.
Aku salut dengan keluarga ini. Zakaria terlahir dari keluarga dwiagama. Papanya beragama Islam dan Momma-nya memeluk Katolik. Natal, Lebaran, dan Ramadan dirayakan bersama di rumah ini. Tante Yvonne tak pernah lupa menyiapkan makanan sahur dan berbuka untuk keluarganya. Kulihat tak ada Dokter Kamal. Saat kutanyakan, ternyata Dokter Kamal masih bertugas di rumah sakit.
Aku terheran-heran melihat Tante Yvonne menyiapkan makanan semeja makan penuh. Ada bermacam kue basah seperti martabak, sus vla, risol mayo, pisang coklat, dan lapis Surabaya hingga makanan berat. Bagaimana makanan sebanyak ini akan habis?
“Biasanya Tante bagikan juga ke pegawai-pegawainya Tante,” jelas wanita anggun itu. Oh iya, aku lupa. Tante Yvonne, ‘kan punya banyak karyawan di perusahaan telekomunikasi miliknya. Sejak Zakaria sakit, dia kembali naik takhta sebagai CEO.
Kami mulai makan ketika waktu berbuka tiba. Kurasakan kegelisahan dari sosok yang merasukiku. Tentunya dia rindu rumah ini. Rindu pula dengan ibunya. Seekor kelinci putih melesat dari bawah kolong meja. Kami kaget lalu tertawa.
“Snowy!” panggilku dan Tante Yvonne.
Kelinci jenis Holland Lop itu semakin gemuk. Bulunya putih bersih. Tante Yvonne memberinya timothy ball-bola berisi rumput timothy-. Si Snowy juga diberi pisang dan wortel. Kelinci putih itu adalah hadiah Natal dari Zakaria untuk ibunya.
“Gimana kuliah dan modelingmu, Sayang?” Tante Yvonne menanyaiku.
“Alhamdulillah lancar. Aku jadi BA di perusahaan skincare-nya Fritz Wongsonegara.”
“Wow, that’s great. Itu perusahaan baru, tapi progresnya bagus sekali. Tante yakin nggak lama lagi mereka bakal IPO.”
Aku mengangguk setuju. Saatnya melanjutkan rencana. Pura-pura menepuk dahi, aku berkata.
“Oh iya, aku lupa. Barangku ada yang ketinggalan di atas. Boleh aku ambil, Tante?”
“Boleh, Sayang. Kalo nggak salah, Tante pernah liat ada cincin kamu di sini.”
Untunglah Tante Yvonne percaya. Terakhir kali aku ke sini, barangku memang hampir tertinggal. Mungkin Tante Yvonne lupa atau bagaimana. Alasan ini bisa kujadikan alibi.
Kakiku sedikit gemetar saat memasuki kamar Zakaria. Ini pertama kalinya aku masuk ke teritori pribadi dari pria yang kucintai. Untuk ukuran laki-laki, kamar bernuansa putih dan hitam ini tergolong rapi. Karpet berwarna gelap terhampar di lantai. Sofa hitam bersebelahan dengan masterbed. Kakiku bergerak di luar kontrolku ke depan sebuah laci. Tanganku bergerak dengan sendirinya membuka laci. Kusambar sehelai amplop dengan kop surat pengadilan agama. Lembaran kertas tebal mengilat di dalamnya kukeluarkan. Pulpen di atas meja komputer kuraih. Aku mengguratkan tanda tangan yang sama sekali bukan tanda tanganku. Yes, berhasil. Tinggal menyerahkan berkas ini ke pengadilan. Langkah selanjutnya lebih mudah. Tinggal tak usah hadir di mediasi dan persidangan. Dengan tidak hadir, pasutri dianggap setuju untuk bercerai.
Tak kusangka rencana berjalan semulus ini. Saat aku berjalan ke pintu, pendengaranku yang tajam menangkap derap langkah kaki. Aku menahan napas. Langkah itu kian dekat di balik pintu. Kucari tempat sembunyi. Aku melesat ke kamar mandi dan bersembunyi di sana. Dari suaranya, kutahu kalau yang baru saja masuk kamar ini adalah Tante Yvonne. Kudengar Tante Yvonne berbicara dengan isak tertahan.
“Sayangku, Benita datang ke sini. Dia pasti merindukanmu, seperti juga Momma merindukanmu.”
Ah, hatiku perih. Apakah Tante Yvonne melakukan hal ini tiap hari? Kuharap hati Zakaria terbuka dan dia mau kembali ke tubuhnya. Kutunggu Tante Yvonne keluar dari kamar sebelum aku kembali turun ke lantai bawah.