Blok 21-Aini
Semesta Aini
Sehabis sahur, seperti biasa gue nyantai sejenak di teras depan. Pintu utama gue buka lebar-llebar. Semilir angin pagi menjilati kulit yang tersembul di balik lengan gaun rumah gue. Samar terdengar dentang-denting sendok dari pondokan karyawan Istana Villa. Di belakang gue, kedengaran Rasdi dan Irene asyik ngobrol. Sebenernya, dari tadi Rasdi dan Irene ngajak ngobrol bertiga begitu kami selesai sahur. Tapi gue lebih milih sendiri.
Suasana menjelang pagi begitu damai. Lantunan Alquran dan puji-pujian pada Tuhan berlompatan dari satu masjid ke masjid lain. Dari kejauhan, gue bisa liat pengurus masjid dan koster gereja berbaur membagikan makan sahur untuk duafa. Harmoni di antara mereka keren banget. Walau belum lama ini gereja diguncang bom, mereka tetap jaga toleransi. Adem hati gue liatnya.
Penanda e-mail di hp gue bunyi. Duh, siapa yang kirim e-mail pagi-pagi begini? Gue cek, ternyata dari sutradara.
Dear, Aini
Selamat, ya, sinopsis yang kamu ajukan ke saya terpilih untuk difilmkan. Bisa kamu ke kantor besok? Kita bahas skenario dan kontrak di sana. Saya tunggu jam 8 pagi, ya.
Regards,
Revan
Sedetik, tiga detik, lima detik. Apaan, nih? Gue nggak salah baca? Coba gue baca sekali lagi.
Bener, ini bener! Berarti mata gue nggak bohong. Sinopsis yang gue ajuin diACC. Horeee! Mau lompat-lompat gue rasanya.
Hati gue nggak henti ngucapin syukur. Alhamdulillah, thank you Allah. Akhirnya terjawab juga doa-doa gue. Ini akan jadi debut pertama gue. Selama ini, portofolio gue memang udah banyak. Puluhan series, film, iklan, dan drama musikal gue garap. Tapi, bukan gue penulis utamanya. Biasanya gue garap ini pakai kerja tim. Nah, kali ini gue bakal jadi penulis utama dan penulis tunggal. Udah lama gue nunggu kesempatan kayak gini.
Impian seorang penulis script film adalah menjadi penulis utama. Namanya akan ditulis di credit tittle sebagai headwriter. Terbayang di benak gue betapa manisnya rencana ini kalo udah tercapai. Gue bakal makin tenar. Panggilan menulis skenario film bakal mengalir sederas kran di villa gue. Dijamin gue bakal terkenal dan kaya-raya karena selain jadi penulis skenario, gue juga jadi pengusaha villa. Ah, manisnya. Bayangin itu aja, dada gue udah berdebar.
“Dor!”
Gue terlonjak kaget. Yuke berdiri di belakang gue. Dia tepuk pundak gue lumayan kuat sampai gue hampir terjungkal dari kursi.
Gue nggak bisa marah sama dia. Mau ngomel juga enggak mungkin. Dia terlalu sempurna buat diomelin atau dibentak. Tapi gue salut sama Yuke karena hafal letak kursi dan dia ngeh dimana gue berada. Pasti dia tau dari aroma alpukat yang khas dari rambut gue atau detail lain yang dia hafal.
“Yukeee, bikin kaget aja.” Gue berkata gemas, mencubit pelan hidungnya.
Dia mengumbar tawa. Ya, Allah, ganteng banget nih cowok kalo lagi ketawa.
“Orang Yuke udah dari tadi, kok, di sini. Yuke lagi nyanyi Balonku Ada Lima. Pas bagian dor, Yuke kagetin Aini,” tuturnya polos.
Demi apa pun, kepolosannya nggak nahan. Gue cubit lagi hidungnya. Ampun, gemes deh gue.
Selama bulan puasa, Yuke ikut sahur sama kami. Dia menyebutnya “makan-makan di malam hari sambil nonton TV”. Tapi gue nggak biarin dia ikut puasa karena ada obat yang harus diminumnya tiga kali sehari. Keputusan gue udah benar. Yuke menemukan kesenangan baru tiap kali sahur bersama kami. Cuma yang jadi tanda tanya adalah, gimana jelasin ke dia begitu bulan Ramadan berakhir dan kami nggak bisa “makan-makan di malam hari sambil nonton TV” lagi? Ah, itu pikirin nanti aja.
Tangan Yuke gue raih. Gue dudukkan dia di kursi samping gue. Yuke nggak seterpukul beberapa hari lalu setelah mendengar kabar tentang Zakaria. Perlahan sikapnya lebih tenang. Meski gue masih harus waspada.
Belum lama kami duduk berdua dalam hening, tetiba terdengar raungan sirine. Imsak hadir tanpa terasa. Buru-buru gue ngeloyor ke dalam ambil minum. Di dapur, gue berpapasan sama Irene.
“Udah minum, Nduk?” tanyanya basa-basi.
“Ya belumlah. Mama nggak liat aku baru mau ambil gelas?” balas gue sewot. Jujur, gue paling nggak suka disodorin pertanyaan basa-basi.
Irene hanya tersenyum mendengar jawaban gue yang ngegas. Dia sendiri juga mengambil minum dan membaca niat berpuasa.
“Aini, ada yang Mama mau bi ....”
“Nanti ya, Ma. Yuke aku tinggal sendirian di luar,” potong gue nggak sabar.
Segera gue kembali ke teras. Yuke masih duduk di tempat semula. Hufth, untung dia nggak aneh-aneh. Gue parno ninggalin dia sendirian sejak insiden kabur dari villa dan jatuh di kamar mandi. Nggak mau deh, gue kecolongan lagi.
Lama kami duduk-duduk di teras tanpa bicara. Yuke bersenandung kecil entah lagu apa. Gue sendiri asyik main hp. Saat itulah terlintas di pikiran gue sebuah ide. Gue pengen berbagi kebahagiaan. Kabar dari Revan bikin gue hepi banget. Rasanya sayang banget kalo kebahagiaan hanya dinikmati sendiri. Gue harus berbagi, minimal ke Magenta dan ... ah, iya. Orang duafa di sekitar sini. Voila, gue punya ide. Langsung aja gue chat anak Magenta di grup.
Aini Trunajaya:
Girls, udah pada molor lagi belom? Gue pengen bagi-bagi takjil nih, ntar sore. Kalian ikut, ya.
Gue berdebar nunggu balasan. Semoga mereka pada belum molor. Cuma Benita si ibu peri Magenta yang jarang tidur sehabis Subuh. Kami berempat sisanya mendadak jadi Sleeping Beauty sehabis Subuh di bulan suci.
Gabriella Jagunab Aryaprabawa:
WHAAAAT?
Ih, apa-apaan si Gabriella? Dateng-dateng langsung capslok jebol. Dia sekaget itu karena gue yang ngajuin ide.
Erika Wiguna:
Ini beneran lo yang pengen, Aini? Jujur, ya, gue nggak bakal heran kalo idenya dateng dari Gabriella, Marina, atau Benita. Tapi dari lo ...?
Sialan, memang gue segitu medit dan materialistiknya, ya? Mau berbagi takjil aja dicurigai. Hadeh, ribet amat jadi gue. Susah, ya, jadi orang baik.
Gue ceritain aja kabar bahagia yang baru gue terima. Mendengar itu, Magenta ikut senang dan kasih selamat. Baru deh mereka percaya kalo gue beneran kepingin berbagi takjil. Ini memang salah gue juga. Dari tahun ke tahun, gue nggak pernah antusias kalo Magenta ngadain kegiatan sosial. Bahkan gue sering cari-cari alasan buat nggak ikut. Eits, gue yang sekarang udah berubah. Dan perubahan besar nggak luput dari peran cowok super ganteng di sebelah gue ini.
Eh iya, gue sampai lupa ada Yuke di sini. Gue belum kasih tau dia walau gue nggak yakin dia bakal paham seratus persen. Yuke nggak kalah pentingnya dari Magenta.
“Yuke,” panggil gue.
Dia menoleh. Perhatiannya terpusat ke gue.
“Aini diterima jadi penulis utama film layar lebar!”
Gue siap nggak dimengerti. Gue siap menjawab pertanyaan yang keluar dari bibirnya. Nyatanya, bukan itu reaksi yang gue dapat. Dia tertunduk sedih.
“Loh, Yuke kenapa?” tanya gue khawatir.
“Aini ... Aini bakal sibuk, ya?”
Pertanyaan itu nggak gue duga sebelumnya. Gue pikir dia bakal nanya film layar lebar itu apa dan semacamnya.
“Hmmm ... mungkin iya,” jawab gue jujur.
Jangankan penulis utama, jadi penulis dalam tim aja sibuknya luar biasa. Apa lagi kalo lagi garap series. Kerjaan dan revisian mendadak bisa datang kayak gempa. Pagi, siang, malam hp gue mesti stand by. Jawaban gue bikin Yuke makin sedih.
“Kita nggak bisa main lagi, ya? Aini nggak bakalan temenin Yuke lagi. Atau ... atau Yuke mau dikembaliin lagi ke panti?”
Oh, Yuke. Kenapa mesti ada asumsi kayak gitu? Seumur-umur gue nggak pernah kepikiran buat balikin dia ke tempat jahanam itu. Ingatan tentang panti masih terlalu kuat.
“Enggak, Yuke. Kita masih bisa main. Dan Yuke akan tetap di sini,” janji gue meyakinkan.
Wajahnya tetap mendung. Gue belai rambutnya. Sesibuk apa pun, gue nggak akan pernah tinggalin dia.
“Buat Yuke, Aini akan selalu ada waktu.”
“Bener? Nanti Aini lupain Yuke?” Suara pemuda itu mulai serak. Gue bersumpah melihat titik-titik air di matanya yang sipit.
Mana mungkin orang seistimewa Yuke gue lupakan. Dia udah berjasa besar dalam hidup gue. Pertemuan dengan Yukelah yang menjadi titik balik hidup seorang Aini Trunajaya. Magenta yang jadi saksi gimana gue yang dulu begitu egois dan materialistis, sekarang jadi penyabar dan suka menolong. Yuke juga yang membangkitkan sisi perempuan dalam diri gue.
“Tak mungkin melupakan orang seistimewa kamu,” ujar gue lirih.
“Is ... timewa?” ulang Yuke terpatah-patah.
“Iya. Yuke sangat istimewa untuk Aini.”
Sejurus kemudian, gue gandeng lengannya masuk ke ruang tamu. Gue mainin piano sambil nyanyi buat dia.
Awalnya memang terasa indah
Kenangan manis yang kita buat
Tak bisa ku lupakan begitu saja
Ingin rasanya mengulang masa itu
Harapan yang kau beri dulu
Hanya menoreh luka di hati
Kata sayang yang slalu kau ucapkan
Semakin buatku sulit melupakanmu
Ku tak bisa menepis
Bayang-bayangmu di mataku
Ku tak bisa melupakan… (Nabila Maharani-Sulit Lupakanmu).