“Jadi, Dara beneran anak yang punya Palette?” Ayu tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya setelah mendengar cerita Naga tentang Dara. “Oh, sekarang gue tahu. Tujuan dia deketin Naga cuma biar dia dimaafin gara-gara keteledorannya dulu.”
“Bukannya kebalik ya, Yu?” sahut Choky. “Naga yang deketin Dara dan selalu ditolak. Lo juga tahu itu, kan?”
“Justru itu. Dia nolak Naga terus ya karena dia ngerasa—” Ayu tidak bisa melanjutkan kata-katanya karena Choky keburu membungkam mulutnya.
“Lo bisa diem nggak, sih?” desisnya sambil melepaskan bungkaman tangannya di mulut Ayu. Perempuan itu mencebik, lalu menepis tangan Choky yang masih ada di pundaknya.
Naga tersenyum tipis melihat pertengkaran itu. Sudah biasa jika Choky selalu menjaili adik sepupunya. Ayu juga bukan tipe perempuan yang akan diam saja ketika dijaili. Pertengkaran singkat itu menjadi hiburan tersendiri di tengah karut marut perasaan Naga saat ini.
“Jadi, gimana?” Suara Choky terdengar serius. “Lo udah mutusin buat ambil kerjaan yang mana?”
“Bukannya Palette ya, akhirnya?” Ayu menyahut. “Dari semua kemungkinan, cuma Palette yang menawarkan kestabilan finansial buat Naga sekarang. Selain itu, Naga juga tetep bisa prioritasin orang tuanya. Apalagi kan....”
“Gue nggak akan ambil kerjaan di Palette,” potong Naga.
“Hah? Kenapa?” Ayu melontarkan pertanyaan ini murni karena ingin tahu. “Yah, meski gue seneng karena lo nggak harus terpaksa menerima maaf dari sana, cuman kayaknya, setelah semua hal yang terjadi, lo agak nggak realistis aja.”
“Lo nggak mau nerima kerjaan dari Palette karena Dara.” Sementara itu, Choky menembak langsung tepat pada intinya. “Lo gengsi karena nerima kerjaan dari yang punya langsung. Bener, gitu, kan, Ga?”
Naga menyandarkan punggungnya, membiarkan dirinya merasa rileks sejenak. Sayangnya, ototnya seakan tahu, saat ini bukanlah saat yang tepat untuk merasa rileks. Pemuda itu menekan kepalanya yang terasa nyut-nyutan. Fakta bahwa Dara merupakan anak pemilik Palette begitu menamparnya, sehingga untuk memikirkan menerima tawaran dari perempuan itu saja, Naga sudah merasa begitu berat. Beban berat ini akan dia bawa hingga saat mulai bekerja nanti.
“Ga, lo emang bukan orang yang suka masa bodoh sama omongan orang. Gue tahu lo selalu kepikiran omongan orang lain yang bilang lo begini-begitu. Meski nggak lo tunjukin, gue tahu lo selalu merasa diri lo kurang. Menurut gue, itu perasaan yang wajar, sih. Kadang gue juga ngerasa kayak gitu.”
“Gini deh, Chok,” Naga kembali menegakkan tubuh. “Lo bayangin aja dulu, coba. Kalau temen-temen kerja lo tahu lo dapet pekerjaan itu dari jalur ‘orang dalam’, gimana suara mereka? Kalau mereka cuma gosipin gue ini-itu sih, gue bisa masa bodoh. Kalau mereka naruh ekspektasi tinggi ke gue, terus gue nggak sanggup memenuhi ekspektasi itu, gimana?”
Selesai mengatakan itu, Naga menjerit karena Ayu memukul kepalanya dengan keras. Pemuda itu meringis, kemudian hendak membalas Ayu sebelum Choky menahan badannya dan memintanya untuk kembali duduk.
“Apa memenuhi ekspektasi semua orang itu kewajiban lo? Tiga tahun terakhir gue ngerasa benci banget sama lo, Ga. Sekarang gue dapet jawabannya. Gue benci lo yang kayak gini. Gue benci lo yang selalu berusaha nyenengin semua orang dan ngorbanin diri lo. Lo pikir, dengan menuhin semua ekspektasi orang-orang itu, mereka bakal puas gitu aja? Gue yakinnya sih, mereka bakal nuntut lo lebih banyak lagi.”
Naga lalu terkekeh. Kekehan sumbang yang membuat perasaan Ayu justru mencelus. Perempuan itu memalingkan wajah demi menyembunyikan air mata yang tiba-tiba keluar tanpa permisi. Naga jelas akan semakin mengamuk jika tahu Ayu menangis. Pemuda itu pasti akan menganggap dirinya sedang dikasihani. Karena itu, Ayu memutuskan untuk beranjak dari sana.
“Kalau lo benci sama gue karena hal ini, gue lebih benci sama diri gue yang kayak gini, Yu!” seru Naga sebelum Ayu semakin jauh. Perempuan itu tidak berhenti, tidak juga menoleh. Naga menghela napas dalam.
“Lo tahu Ayu peduli sama lo, tapi lo malah milih buat nyakitin dia. Emang suka nggak bersyukur ya, lo, jadi orang.” Choky menyandarkan sisi tubuhnya di tembok, tangannya terangkat memijit pelipis. “Jadi, masalah lo cuma sama ekspektasi orang terhadap lo?”
“Bukan. Gue cuma nggak mau kerja dengan bantuan orang dalam.”
“Ribet ah, lo.” Choky menegakkan badan, kemudian berdiri setelah memasukkan barang-barangnya yang ada di meja ke dalam tas. “Lo pikir, orang yang kerja dengan bantuan orang dalam itu beneran bakal jadi pusat perhatian? Nggak, Ga. Lo tetep harus keluarin effort lo dalam pekerjaan supaya bisa ngejar kompetensi rekan kerja lo. Kalau lo emang nggak mau dikenal sebagai bawaan orang dalam, ya lo tinggal bilang ke Dara soal itu. Coba diskusiin sama Dara, baiknya gimana.”
“Lah, apa gunanya gue punya kalian?” Naga harus sedikit berteriak karena Choky sudah berjalan cepat meninggalkannya.
“Lo nggak pernah dengerin omongan kita, buat apa juga kita dengerin curhatan lo!” Tanpa menoleh dan menghentikan langkahnya, Choky balas berteriak.
Naga sudah membuka mulutnya untuk membalas perkataan Choky, tapi kemudian dia mengurungkan niatnya. Sekilas, muncul sebuah ide di kepalanya. Terburu-buru, Naga berdiri dan berlari mengejar Choky. Paling tidak, untuk kali ini, Choky harus mendengar idenya.
**
Bapak sudah dipindah ke ruang rawat. Dokter bilang, perkembangan kesehatan Bapak menunjukkan arah yang baik. Kini, menjadi tugas Naga dan ibunya yang harus menjaga agar semakin membaik. Nanti, jika diberi kesempatan, oh tidak, Naga yang harus membuat kesempatan itu datang padanya, dia harus berterima kasih pada Pak Wirawan. Berkat bantuan lelaki itu, yang awalnya ditolak mentah-mentah oleh Naga, Bapak jadi bisa dirawat dengan fasilitas yang baik. Kamar VVIP memungkinkan Bapak bisa beristirahat dengan tenang dan nyaman tanpa perlu merasa terganggu oleh pasien lain seperti jika mereka tetap menggunakan fasilitas BPJS kelas dua. Selain itu, Pak Wirawan juga memastikan Bapak mendapatkan obat dan perawatan dari dokter spesialis terbaik di rumah sakit ini. Dengan semua bantuan itu, Naga jadi bisa lebih fokus pada rencananya menata masa depan. Ibu juga jadi bisa fokus menjaga Bapak, tanpa perlu memikirkan harus berjualan untuk sekadar biaya makan.
Setelah mendiskusikan seluruh rencananya dengan Choky, Naga membelikan ibunya makan malam. Bukan dia sih, sebenarnya yang membeli. Choky mentraktirnya, tentu saja. Saat uang sudah keluar dari dompet temannya itu, Naga sudah tidak memiliki kesempatan untuk mengembalikannya. Jadi, ya, dia hanya akan menikmatinya sekarang, selagi bisa.
“Makan malam dulu, Bu.” Naga meletakkan bungkusan nasi di meja lain yang agak jauh dari ranjang, meja yang khusus untuk pengunjung. Pemuda itu lalu meletakkan sebungkus nasi di atas piring, membuka bungkusannya hingga membuat aroma nasi bercampur lauk pauk menguar. Setelah meletakkan sendok di sisi bungkusan, Naga menyodorkan piring itu pada ibunya.
“Kamu udah makan?”
Sekilas Naga mengangguk. “Udah, tadi sama Choky. Abis makan baru ke sini.” Naga lantas duduk di samping Bapak, menggantikan ibu yang berpindah posisi ke sofa. “Gimana Bapak, Bu? Ada perubahan?”
“Hari ini Bapak udah bisa diajak ngobrol agak banyak. Kamu juga ditanyain tadi.”
“Ibu bilang apa?”
Ibu berdeham, kemudian meletakkan piringnya di meja. Naga masih menunggu sementara ibu minum untuk meloloskan makanan yang sepertinya sulit tertelan. “Ibu bilang aja kamu sekarang udah kerja ikut Mbak Dara. Maaf, ibu nggak bermaksud bohongin bapakmu. Tapi, ibu rasa, itu bisa bikin bapakmu lebih tenang sekarang. Kamu kan tahu sendiri, stres itu pemicu utama yang bisa bikin kesehatan Bapak memburuk sewaktu-waktu.”
“Oh.” Naga mengangguk-angguk. Pemuda itu kemudian kembali menatap Bapak. “Bagus deh, kalau Bapak sekarang udah jauh lebih tenang. Semoga Bapak bisa cepet pulih dan bisa pulang secepatnya ya, Bu.”
“Kamu... nggak marah?”
Naga beranjak, berpindah duduk di sisi ibunya. Senyumnya terulas. Tangannya mengambil kerupuk dari piring ibunya, kemudian menjawab, “Kenapa Naga harus marah? Ibu bener, kok. Naga emang mau kerja ikut Dara.”
Nggak ada notifnya
Comment on chapter TWICE