Ini adalah makan malam pertama Dara di rumah orang tuanya setelah pelarian lebih dari setahun. Duduk bertiga mengelilingi meja makan yang penuh dengan masakan mamanya, membuat Dara merasa sedikit canggung. Apalagi, sejak kepulangannya tempo hari, Mama berubah jadi lebih posesif. Perempuan itu tidak membiarkan Dara lepas dari pengawasannya. Bahkan, Dara kesulitan mendapatkan izin untuk keluar rumah sendirian.
“Sebenernya dari kemarin tuh Papa penasaran, pengin nanyain ini sama kamu. Gimana ceritanya kamu bisa tinggal di rumah Pak Mahdi? Kamu bahkan deket sama anaknya.”
Dara sudah mengantisipasi kemungkinan papanya akan mengamuk dan memberinya bermacam-macam jenis ceramah untuk menghakimi kelakuannya selama ini. Namun, dia tidak berekspektasi papanya akan menanyakan hal ini. Oh, seharusnya dia sudah menduga, sih. Sejak dia mengajak orang tuanya ke rumah sakit untuk melihat keadaan Pak Mahdi, papanya sudah kepo.
“Anaknya emang agak kurang ajar gitu, ya?” Pak Wirawan kembali berkata, menambahkan jumlah pertanyaan yang harus Dara jawab sekarang.
Sambil menggeleng, Dara mengklarifikasi, “Dia aslinya sopan dan berbakti banget sama orang tua, Pa. Cuman, dia kayaknya udah terlalu trauma sama Palette. Dia juga lagi marah sama Dara gara-gara Dara nggak jujur. Makanya, pas lihat Papa, dia auto-defence kayak gitu.”
Hm, Dara memang sedang mengarang bebas. Sejujurnya, dia tidak tahu yang sedang dirasakan Naga saat memutuskan untuk mengabaikan papanya tempo hari. Dara tidak pernah bisa mengerti jalan pikiran pemuda itu. Terkadang, perempuan itu kesulitan mengendalikan emosinya saat berhadapan dengan Naga.
“Kenapa emangnya, kok dia bisa trauma sama Palette?” tanya Mama sambil menuangkan air di gelas milik Papa. “Dia pernah ngelamar di Palette, tapi ditolak?”
“Huh? Kok Mama tahu?”
Mama terkekeh pelan. “Nebak aja, sih. Beneran kayak gitu?”
Dara mengangguk, kemudian menggeleng pelan. Setelah mengambil napas dalam, Dara lalu menceritakan pertemuannya dengan Pak Mahdi hingga akhirnya dia bisa tinggal di rumah lelaki itu. Cerita mengalir hingga ke bagian ide Naga yang dicuri oleh Bintang. Malam ini, Dara menceritakan semua yang terjadi selama tiga bulan terakhir pada orang tuanya. Membuka semuanya tanpa merasa perlu ada yang ditutup-tutupi.
“Aku sama Dimas udah nawarin dia kerjaan di Palette, tapi dia belum mutusin mau ambil tawaran kami apa enggak,” tutup Dara.
“Kenapa kamu nawarin dia kerjaan?” Pak Wirawan meletakkan sendoknya, kemudian melipat tangannya di meja. Dengan intens, lelaki itu menatap anak perempuan semata wayangnya. “Dara tahu nggak, apa yang bisa bikin laki-laki kuat sekaligus bisa bikin terluka?”
Dara mengernyit, tidak mengerti arah pembicaraan papanya kali ini. Tidak mungkin papanya akan berbicara secara random. Pembahasan soal kekuatan laki-laki ini pasti ada hubungannya dengan cerita soal Naga. Setelah berpikir sebentar, Dara akhirnya menggeleng. Dia tidak menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan papanya.
“Laki-laki hanya punya harga diri dan ego. Dua hal itu bisa menjadi kekuatan sekaligus hal yang akan melemahkan mereka jika dilukai. Kamu tahu nggak, kenapa Naga kesulitan mengambil keputusan? Karena dia merasa harga dirinya terluka.”
“Hah, kok gitu? Bagian mana yang bikin harga dirinya terluka, Pa?”
“Bagian kamu nawarin kerjaan,” sahut Mama. “Mama tahu niatmu baik. Kamu pengin bantuin Naga sekaligus pengin nebus kesalahan Palette sama anak itu. Tapi bisa jadi yang sekarang ada di pikiran Naga tuh beda. Dia bisa saja salah membaca niatmu.”
Dara mendesah. Sekarang, dia yang jadi overthinking. Gimana kalau Naga memutuskan untuk menolak tawarannya? Apa anak itu punya rencana lain buat bantuin ibunya? Biaya perawatan Pak Mahdi tidak murah, Dara tahu betul soal itu. Tapi dia juga tidak bisa menawarkan bantuan finansial untuk mendukung pengobatan Pak Mahdi. Salah-salah, ‘harga diri’ Naga terluka lagi gara-gara hal itu.
Pak Wirawan tersenyum melihat raut khawatir di muka putrinya. Lelaki itu lalu menumpukan tangannya di atas tangan Dara. “Don’t worry. Kamu udah melakukan hal yang benar. Inget kan, yang selalu Papa bilang? Everything starts with you. Kamu yang harus berani mulai duluan. Apa pun keputusan yang akan diambil sama Naga, itu urusan nanti. Yang penting kamu udah ngajak dia ke arah yang lebih baik.”
“Itu juga berlaku dalam hubungan, Ra,” imbuh Mama.
“Mama, ih.” Dara tidak ingat kapan terakhir kali dia berlaku manja pada orang tuanya, terutama Mama. Meski anak tunggal, Dara tidak dibesarkan dengan gaya parenting bebas dan penuh kemanjaan. Sebaliknya, masa kecil Dara keras karena Papa selalu menuntutnya menjadi sosok sempurna.
“Mama minta maaf karena memberikan contoh yang buruk buat Dara.”
Dara mengernyit. “Maksudnya? Di mata Dara, Mama udah jadi Mama terbaik. Mama udah melakukan semua hal yang bisa membentuk Dara jadi seperti sekarang ini.”
“Mama tahu. Karena itulah Mama minta maaf.” Mama tersenyum, kemudian membelai wajah Dara. “Yang kamu tahu, Mama meletakkan mimpi Mama untuk menjadi istri dan ibu yang baik. Tapi, Dara, ada yang nggak kamu tahu. Menjadi istri dan ibu yang baik adalah impian Mama yang lain. Mama nggak pernah merasa menyesal sudah meletakkan mimpi Mama untuk menjadi desainer, karena Mama tahu, impian Mama selanjutnya jauh lebih besar. Kamu. You’re my beautiful and precious dream.”
“Aku mungkin nggak seperti Mama yang bisa ikhlas melepaskan mimpi Mama demi menjemput mimpi yang lebih besar. Karena itu, aku memilih berkomitmen dengan Dimas yang mau berjanji mendukung semua mimpiku. Dimas janji nggak akan membuatku melepaskan mimpiku. Dia bakal jadi supporter terbesarku. Karena itu, mungkin, aku akan menikahinya nanti.”
Senyum lebar terulas di wajah Dara ketika melihat ekspresi terkejut yang ditunjukkan kedua orang tuanya. Dara tahu, sudah saatnya dia membahagiakan mereka. Dan tentu saja, membahagiakan dirinya sendiri.
**
Siang ini, Dara dan Dimas janjian untuk bertemu dengan Naga setelah satu jam sebelumnya pemuda itu mengabari Dara lewat telepon. “Gue udah ngambil keputusan,” katanya tadi.
Berulang kali Dara menarik napas dalam dan mengembuskannya. Berharap dengan begitu, rasa gugup di dadanya ikut terurai. Membayangkan keputusan apa yang akan Naga ambil saja sudah membuat Dara tidak bisa bernapas dengan benar. Overthinking-nya semalam, terus berlanjut hingga saat ini. Meski papanya sudah menenangkan, toh Dara tidak semudah itu menerapkan teori yang disampaikan sang papa.
Dimas menggenggam tangan Dara yang berkeringat. “Percaya sama aku, Naga pasti nerima tawaran kita.”
“Aku bukan nggak percaya sama kemampuan persuasimu. Yang enggak kupercaya itu Naga. Anak itu susah ditebak. Pikirannya bisa tiba-tiba split gitu aja tanpa aba-aba.”
“Makanya, jangan sok nebak pikiran orang.”
Dara menoleh ke arah suara dan mendapati Naga berjalan santai ke arahnya dan Dimas. Pemuda itu menjatuhkan tubuhnya begitu saja di atas kursi. Penampilannya sederhana dan tampak segar. Dara memicing, kemudian menyadari perubahan di wajah pemuda di hadapannya itu. “Lo potong rambut, ya?”
“Wah, gue merasa tersanjung karena lo notice sampe hal detail kayak gini. Makasih, lho.” Naga tertawa saat melihat Dara membuat gestur ingin muntah dan mengacungkan jari tengahnya. “Pesen minum boleh, kan? Haus nih, gue.”
Dengan sigap, Dimas mengangkat tangannya untuk memanggil pramusaji. Setelah Naga menyebutkan pesanannya, Dimas menambahkan beberapa jenis makanan lagi. Karena Naga tidak ingin memulai pembicaraan mereka sebelum minum, Dimas jadi menambahkan extra request agar pesanan minuman Naga diantarkan lebih dulu, sementara pesanan yang lain masih disiapkan.
“Pertama-tama, gue minta maaf kalau udah kasar sama lo, Ra. Kedua, gue berterima kasih karena kalian peduli sama gue dan permintaan maaf dari Palette gue terima. To be honest, gue udah lupain soal itu. Cuman, ya, gue jadi nggak percaya diri aja. Jadi, kalau selama ini gue nggak bergerak buat nyari kerjaan itu salah gue sendiri, bukan karena Palette.”
“Ga....” Dara merasakan dadanya sesak melihat Naga yang biasanya tengil itu jadi terlihat lemah. Pemuda itu bahkan mengakui kelemahannya.
“Gue hargai usaha kalian buat nawarin gue kerjaan di Palette. Tapi nih,” Naga menghela napas sebelum melanjutkan, “Gue nggak bisa nerima tawaran itu gitu aja. Kalian mungkin bisa bilang, jangan dengerin omongan orang. Tapi gue nggak bisa. Apa yang bakal orang bilang ke gue kalau mereka tahu gue dapat kerjaan di Palette tanpa harus melewati tes kemampuan seperti selayaknya rekrutan baru? Apa ini nggak akan berpengaruh sama reputasi kalian di kantor sebagai petinggi?”
Dara terkesiap. Anak ini... berpikir hingga sejauh itu? Hal-hal seperti reputasi ini bahkan tidak pernah terlintas sekali pun dalam benak Dara selama ini.
“Tenang aja, gue realistis dan nggak munafik, kok,” lanjut Naga. “Gue bakal tetep nerima tawaran kalian, tapi dengan satu syarat.”
“Bilang aja, apa syaratnya.”
“Kasih gue kesempatan buat kasih presentasi ide produk baru buat dewan direksi Palette. Yah, seenggaknya, kasih gue kesempatan buat nunjukin kalau gue emang layak kerja di Palette karena kemampuan gua, bukan sekadar karena rekomendasi dari kalian.”
Dara dan Dimas berpandangan, masih mencerna syarat yang diajukan pemuda di hadapan mereka ini. Di satu titik, Dara dan Dimas setuju menganggap Naga sebagai spesies langka dan unik. Tidak banyak manusia seperti Naga. Palette jelas beruntung jika bisa memperkerjakan karyawan sepertinya. Dalam hal ini, Dara baru menyadari, pemikiran Naga ini jelas menunjukkan pengaruh gen Pak Mahdi yang kuat serta tentu saja lingkungan pengasuhan yang diusahakan oleh kedua orang tua Naga ikut membentuknya.
“Gue bego kalau nolak syarat dari lo.” Dimas mengulurkan tangannya sebelum Dara menyadarinya. “Deal!”
Dengan senyum lebar, Naga menyambut uluran tangan itu. Melihat kedua pemuda itu berjabat tangan membuat Dara merasa telah menyelesaikan sebuah misi sulit. Kini, misi dengan level setingkat lebih sulit tampak melambai-lambai di depan matanya. Perempuan itu tersenyum dan meyakinkan dirinya bisa mengatasi semua misi itu di masa depan.
Nggak ada notifnya
Comment on chapter TWICE