“Lo mau nggak apply CV lagi ke Palette?” Dara mengulang pertanyaannya dengan lebih sederhana. “Ya mungkin aja kan, sekarang rules mereka berubah, nggak cuman nyari lulusan baru, gitu.”
Gadis itu melihat Naga menghela napas panjang, kemudian beranjak. Buru-buru Dara menangkap tangan Naga demi menahan langkahnya. Dia paham kenapa Naga terlihat kesal dan memilih langsung berdiri alih-alih membalas perkataannya.
“Duduk dulu. Kenapa sih kita nggak bisa ngobrol baik-baik?”
“Ra, gue udah pernah bilang kan sama lo. Gue emang suka sama lo, tapi bukan berarti lo bisa seenaknya ikut campur urusan pribadi gue.”
Dara menatap pemuda yang kini berdiri di hadapannya itu dengan tatapan sinis. Tentu saja dia tidak lupa. Itu baru terjadi beberapa waktu lalu, tepat di tempat ini. “Gue nggak ikut campur, cuma ngasih saran. Kalau semua orang yang pengin ngasih lo advice lo sebut ikut campur, namanya lo nggak tahu diri.”
Naga tertawa. Mendengar tawa itu, Dara buru-buru menoleh ke sekelilingnya sambil berharap tidak ada orang yang memperhatikan mereka saat ini. “Kenapa jadi gue yang nggak tahu diri?”
“Karena lo nggak bersyukur punya orang-orang yang peduli sama lo.” Naga terkesiap. Dara dapat melihat perubahan ekspresi di wajahnya. Namun, gadis itu belum ingin berhenti. “Bapak lo, temen-temen lo, semuanya udah berusaha bantuin lo buat move on dari penolakan Palette dulu. Tapi lo sendiri yang milih buat terus berkubang di masa lalu.”
“Lo pikir penolakan tiga tahun lalu cuma penolakan aja? Lo nggak pernah tahu apa yang Palette lakuin ke gue.”
“Apa emangnya? Palette plagiat ide lo? Bukannya Bintang yang udah nyuri ide lo? Oh, bukan, ding. Elo yang emang bego ngasih ide lo cuma-cuma ke Bintang. Iya, kan?”
“Lo....” Kerutan di dahi Naga semakin dalam. “Lo tahu dari mana soal Bintang?”
Dara terkekeh. “Lo pikir, Choky bakal diem aja gitu ngelihat lo kayak gini?”
“Dasar cepu. Awas aja ntar kalau ketemu gue. Abis lo, Chok!”
Dengan pelan, Dara menarik tangan Naga yang masih ada dalam genggamannya, meminta pemuda itu untuk kembali duduk. Namun, Naga justru mengibaskan tangan Dara dengan keras.
“Lo juga!” Pemuda itu mengacungkan telunjuknya tepat di depan wajah Dara. “Gue beneran nggak mau kasar sama cewek, tapi tingkah lo tuh kayak sengaja minta dikasarin. Lo udah terlalu jauh ikut campur dalam hidup gue. Sumpah ya, Ra, gue nggak nyangka lo bakal nyari tahu soal Bintang segala.”
“Gue lakuin ini semata-mata karena pengin balas kebaikan Pak Mahdi. Gue nggak peduli lo mau ngapain kek di hidup lo, seandainya lo bukan anak Pak Mahdi. Gue peduli sama lo karena masa depan lo menentukan masa depan Pak Mahdi.”
Naga menyeringai. Perkataan Dara barusan membuatnya semakin merasa curiga. “Siapa lo sebenernya?”
“Apa itu penting sekarang?”
“Kenapa lo seolah-olah tahu kalau Palette bakal nerima gue seandainya gue masukin lamaran lagi?”
Dara tidak tahu Naga bisa mengintimidasi seperti ini. Apa dia terlalu meremehkan pemuda itu? Bukan, bukan. Dia tidak pernah merasa meremehkan siapa pun. Semua yang dia katakan tadi adalah fakta. Intimidasi yang dilakukan Naga, Dara yakin, hanya sebuah bentuk self-defense.
“Apa pacar sukses lo kemarin kerja di sana? Lo ngorek informasi soal gue sama Bintang dari pacar lo? Wah, gue nggak nyangka lo bisa kayak gitu. Lo ngasih apa ke pacar lo sampe dia mau bocorin rahasia perusahaan? Badan lo?”
Dara berdiri dan melayangkan tamparan ke pipi Naga. Pemuda itu mematung, mengusap pipinya pelan, lantas terkekeh. Dara mengepalkan tangan, berusaha menahan diri untuk tidak menampar lagi.
“Kenapa demi Bapak, lo mau ngorbanin badan lo? Apa Bapak seberharga itu buat lo? Kenapa? Apa lo punya affair juga sama Bapak?”
Dara gagal menahan diri. Sebuah tamparan kembali melayang ke pipi Naga yang satu lagi. “Gue tahu lo gila, tapi gue nggak nyangka otak lo sekotor itu!”
Gadis itu beranjak lebih dulu, menenteng dua termos nasi, dan meninggalkan Naga yang masih sibuk meredakan panas di kedua pipinya. Malam ini, Dara tidak akan sanggup tidur di rumah Pak Mahdi. Dia harus menenangkan diri setelah semua omong kosong yang disemburkan Naga barusan. Karena jika tidak, Dara takut akan meledak dan melukai lebih banyak orang.
Sayangnya, rencana itu justru didahului oleh Naga. Setelah meletakkan barang-barang bawaannya tadi, pemuda itu masuk ke kamar sebentar, kemudian keluar lagi tanpa pamit.
“Jangan numpang tidur terus di tempat Sakti, kayak nggak punya rumah aja!” Dara masih bisa mendengar suara Pak Mahdi yang berusaha mencegah anaknya keluar dari rumah. Namun, Naga bahkan tidak menoleh sedikit pun untuk membalas kata-kata bapaknya.
Dara tidak habis pikir, bagaimana mungkin ada manusia keras kepala yang terus denial dan membentengi dirinya sendiri dari menerima bantuan orang lain? Gadis itu sudah lelah. Dia tidak sanggup melanjutkan ini semua. Bicara panjang lebar dengan Naga, ujung-ujungnya bukan solusi yang mereka dapatkan. Dara pikir, karena kompetensi akademiknya yang bagus, Naga bisa diajak diskusi baik-baik untuk menata kembali masa depannya. Ternyata Dara salah. Kompetensi akademik tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuan seseorang mengelola emosi.
Dara tahu, apa yang dilakukan Naga hari ini mungkin saja manifestasi trauma di masa lalu yang belum bisa diterima dengan baik oleh pemuda itu. Dari kejadian malam ini, Dara juga jadi tahu bagaimana selama ini Naga menyelesaikan masalahnya.
Pemuda itu terlalu sering melarikan diri dari masalahnya. Baiklah, sebut saja Dara menghakimi. Namun, itulah yang terlihat jelas di mata Dara saat ini. Naga sama sekali tidak memiliki keberanian untuk menghadapi masalahnya, apalagi trauma yang dia alami selama ini. Dara juga yakin, baik bapak maupun ibu Naga, keduanya tidak bisa melihatnya. Karena itu, Pak Mahdi dan istrinya cenderung terlihat memanjakan dan membiarkan Naga melakukan apa saja yang dia mau.
“Pak,” panggil Dara ketika Pak Mahdi melewati kamar yang ditempatinya, hendak masuk ke kamar Naga. “Dara boleh cerita sesuatu nggak?”
“Cerita apa, Mbak?”
“Kalau Bapak sama Ibu nggak keberatan, Dara pengin rekrut Naga buat kerja di Palette.” Dara memutuskan untuk melewati bagian Palette yang melakukan kesalahan dengan ‘mencuri’ ide Naga.
“Kalau Bapak nggak salah ingat, dulu Naga juga pernah ngelamar ke sana, Mbak. Iya, kan, Bu?” Bu Mahdi mengangguk singkat untuk membenarkan perkataan suaminya.
“Dara tahu, kok. Karena itu sekarang Dara mau rekrut Naga. Dulu, ada sedikit kesalahan yang bikin perusahaan nggak nerima Naga. Bapak sama Ibu nggak keberatan kan, kalau Dara bilang ini buat nebus kesalahan perusahaan waktu itu?”
“Bapak sama Ibu nggak bisa kasih pendapat, Mbak. Kami nggak keberatan sama alasan Mbak Dara, tapi Naga belum tentu bisa nerima. Dia agak keras kepala soalnya, Mbak. Kami jelas akan selalu mendukung apa pun keputusan Naga.”
“Kira-kira, Bapak sama Ibu bisa bantuin Dara buat yakinin Naga nggak, ya?” Sebenarnya Dara tidak ingin melibatkan kedua orang tua Naga. Namun, gadis itu sudah kehabisan akal. Dia sendiri tidak akan sanggup menghadapi Naga lagi.
“Pasti, Mbak. Pasti kami bantu. Ini juga kan demi kebaikan Naga.”
Dara tersenyum. Setidaknya, untuk malam ini dia tidak perlu terlalu khawatir.
Nggak ada notifnya
Comment on chapter TWICE