Naga masih asyik dengan doodle-nya saat Bapak memanggil. Sudah beberapa hari berlalu dan pemuda itu belum bisa berhenti memikirkan kata-kata Ayu. Di saat seperti ini, doodling menjadi satu-satunya cara untuk melepaskan emosi. Dia bahkan sudah hampir menghabiskan seluruh persediaan kanvasnya.
Setelah membereskan alat-alatnya, Naga segera beranjak memenuhi panggilan Bapak. Agak tidak biasa memang melihat Bapak ada di rumah sore begini. Biasanya Bapak masih sibuk di warung jam-jam segini. Hal itu juga sebenarnya mengusik Naga akhir-akhir ini. Tentu saja dia tahu bagaimana keadaan keuangan keluarganya saat ini. Warung pasti sepi sehingga Bapak bisa berada di rumah saat ini.
“Ada yang pengin Bapak omongin sama kamu, Ga,” ucap Bapak tepat setelah Naga duduk di sebelahnya. Naga bergeming, menunggu apa pun yang akan Bapak sampaikan. “Bulan depan udah waktunya lunasin rumah, tapi duit Bapak kurang. Kira-kira kamu punya simpenan nggak?”
Naga tak lekas menjawab. Kepalanya diam-diam menghitung sebagian honor manggung yang sengaja dia titipkan Ayu untuk ditabung. Naga tidak ingin membuka rekening pribadi dan memegang kartu debit atau apa pun yang berhubungan dengan tabungannya. Dia tidak sehemat Choky, bukan pula orang yang bisa mengatur keuangan dengan baik seperti Ayu. Naga hanya akan membeli apa pun yang dia inginkan selama ada uang dalam dompetnya.
“Bapak sebenarnya nggak mau pinjam uangmu, Ga,” Bapak melanjutkan. Dada Naga seperti diremas saat mendengar pernyataan itu, “tapi mau gimana lagi. Daripada kita harus keluar dari sini, kan. Nanti pasti Bapak balikin kalau keuangan kita udah stabil lagi.”
“Nggak perlu dibalikin, Pak. Naga nggak perlu nyimpen duit banyak.” Pemuda itu terkekeh, lalu melanjutkan, “Duit Naga nggak banyak buat bisa bantu Bapak.”
Bapak menyentuh tangan Naga yang tengah memainkan sebuah pemantik. “Berapa pun yang kamu kasih, bakal ngebantu Bapak banget. Nanti pasti Bapak balikin, kan Bapak pinjem, bukan minta.”
Naga menghela napas. “Nggak perlu dibalikin, Pak. Soalnya Naga ngasih, bukan minjemin.” Dia berdiri, lalu beranjak meninggalkan Bapak yang terlihat ingin menyela lagi. “Naga pergi dulu buat ngambil duitnya.”
Di depan pintu, Naga berpapasan dengan Dara. Keduanya berpandangan sejenak sebelum Naga berpaling demi menghindari tatapan prihatin yang diberikan Dara. Pemuda itu tak ingin menyapa atau berbasa-basi seperti biasa. Karenanya, Naga gegas melangkahkan kaki lebar-lebar meninggalkan Dara yang justru mengejarnya.
“Maaf, gue nggak bisa banyak ngebantu,” ucap Dara setelah berhasil menjajari langkah Naga. Gadis itu masih tampak berusaha mengatur napasnya yang tersengal.
“Gue juga nggak minta lo buat bantu.” Naga menjawab tanpa menghentikan langkahnya. “Ini masalah keluarga gue, lo nggak perlu ikut campur,” lanjutnya.
Dara terkesiap, tak menyangka akan mendapatkan jawaban seketus itu. Satu sisi hatinya ingin membalas perkataan ketus Naga itu, tetapi satu sisi lainnya melarang. Dara tahu, dia hanya akan menggarami luka pemuda itu jika melakukannya. Karena itu, setelah menggumamkan kata maaf, Dara berhenti mengikuti Naga dan membiarkan pemuda itu keluar dari kompleks rusun.
Jika ingin jujur, Naga pun tidak ingin berucap seketus itu. Bukan hanya pada Dara, Naga tidak ingin ketus pada siapa pun. Namun, otak yang masih belum selesai berhitung, ditambah perasaan bersalah karena menjadi beban keluarga, membuat mood-nya berada di titik terendah. Naga ingin marah pada dirinya sendiri, tetapi sadar, kemarahannya tidak akan mendatangkan apa-apa.
Di usianya sekarang, dengan gelar sarjana yang membebani pundaknya, seharusnya Naga sudah bisa menjadi penopang keluarganya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Beban orang tuanya bahkan tidak berkurang setelah satu-satunya putra mereka menyelesaikan pendidikan tinggi. Seringkali, Naga merasa gelar dan ijazahnya sama sekali tidak berguna. Ah, bukan gelar dan ijazah yang tidak berguna, Naga rasa, dirinyalah satu-satunya yang tidak berguna di sini.
Saat Ayu bilang Naga banyak berubah, sebenarnya pemuda itu sangat ingin menyangkal. Sejak dulu, dirinya memang seperti ini. Insecure terhadap dirinya sendiri? Itu bukan hal yang baru. Hanya saja, Naga memang jarang menunjukkan kelemahannya itu pada orang lain. Biar saja semua orang mengenalnya sebagai Naga yang cemerlang, bukan Naga yang menyedihkan, meski yang sebenarnya dia tidak pernah secemerlang dalam bayangan orang lain.
Naga sudah menghubungi Ayu dan meminta gadis itu membawa semua sisa tabungannya. Sekarang dia hanya tinggal menunggu Ayu datang menemuinya di teras minimarket. Tidak ada mie instan cup, soda, maupun rokok di mejanya kini. Hanya ada angin kosong yang justru terasa seperti memenuhi dada. Naga sadar saat Choky datang dan menepuk pundaknya pelan. Dia hanya tersenyum sekilas demi membalas sapaan Choky.
Tidak ada yang bicara di antara dua orang itu hingga Ayu datang menghampiri mereka. Gadis itu mengeluarkan sebuah amplop cokelat tebal dari tas ransel kecilnya kemudian mengulurkan benda itu ke arah Naga. “Duit lo di gue cuma tujuh juta,” ujarnya saat Naga menerima amplop tersebut.
Naga membuka salah satu sisi amplop dan melihat isinya, menghitung, kemudian mengeluarkan beberapa puluh lembar. “Duit gue cuma lima juta. Lo nggak perlu bohong dan nambahin gini, harusnya, Yu.”
Ayu mendesah kesal. “Dari mana lo tahu, duit lo cuma segitu?”
“Gue emang bego, tapi nggak sebego itu sampai nggak bisa ngitung duit gue sendiri.” Naga menimang uang di tangannya, lalu berkata lagi. “Kalau lo kasihan sama gue, harusnya lo cariin gue kerjaan aja.”
Choky memukul bagian belakang kepala Naga pelan saat mendengar pemuda itu terkekeh. Dia tidak ingin banyak berkomentar, karena Naga akan terus menerus merasa dikasihani jika Choky juga berkomentar tentang bantuan Ayu tersebut. Satu-satunya yang bisa dia lakukan untuk menunjukkan kepeduliaannya hanya dengan bersikap biasa saja.
“Emang selama ini siapa yang nggak mau ngasih lo kerjaan? Bukan salah orang lain kalau lo terlalu milih kerjaan. Lo nggak mau kerja di luar passion lo, tapi lo juga takut gagal saat orang lain pengin ngajak lo eksplor passion lo. Jadi, mau lo tuh apa sebenernya, Ga?” Ayu tidak bisa lagi menahan geram yang sekian lama dia pendam. “Lo mau punya duit, tapi nggak mau kerja? Gimana kalau kita pelihara tuyul atau lo jadi babi ngepet aja?”
Naga nyengir. Dia tahu Ayu tidak sedang bercanda saat ini, tetapi kalimat yang dipilih gadis itu terlalu lucu untuk tidak dia tertawakan. “Kenapa nggak nawarin gue buat jadi bodyguard lo?”
Hidung kecil Ayu berkerut, lalu bibirnya menyeringai. “Badan udah tinggal tulang sama kulit gitu sok-sokan mau jadi bodyguard gue.” Ayu mengumpulkan uang yang dikembalikan Naga padanya tadi, lalu mengambil amplop di tangan Naga dan memasukkan uang itu ke dalamnya. “Lagian lo tuh ketinggian gengsi. Terima aja kalau ada yang mau bantuin, tuh. Toh yang gue bantu orang tua lo, kan.”
“Gue rasa Ayu bener, Ga.” Choky akhirnya ikut bersuara setelah memilih beberapa kalimat yang tepat. Dia tidak bisa seperti Ayu yang blak-blakan mengkritik Naga. Choky, pada dasarnya, adalah seorang yang sangat memikirkan perasaan orang lain. “Nggak ada salahnya nerima bantuan sahabat lo. Itu pun kalau lo nganggap kita berdua sahabat.”
“Dia tuh nggak pernah nganggap kita sahabat, Bang. Dia cuma nganggap kita temen kerja.”
Naga ingin sekali menendang gadis di hadapannya itu, tetapi urung. Sebagai gantinya, pemuda itu mengacak poni Ayu dengan gemas. “Gue boleh nggak sih, mukul dia, Chok?” Naga menoleh ke arah Choky, berpura-pura meminta izin.
Sebelum Choky menjawab, Ayu sudah lebih dulu menendang tulang keringnya. Naga meringis, kemudian tertawa setelahnya.
“Tuh, lo udah dapat jawabannya, kan.”
“Gue penasaran, apa dia bakal kayak gini juga kalau punya pacar nanti? Belum-belum gue udah kasihan sama calon pacarnya.” Naga menggeleng sambil mendecak dramatis.
Choky melirik Ayu, lalu mengulum senyum saat melihat sepupunya menendang Naga lagi. Kali ini Naga tidak diam saja, pemuda itu balas memiting leher Ayu. Choky yakin itu hanya main-main, tetapi ekspresi kesakitan yang dibuat-buat di wajah Ayu mau tak mau membuatnya terpingkal.
“Kalau lo penasaran sama nasib calon pacarnya Ayu, kenapa lo nggak coba jadi pacarnya aja?”
Kalimat Choky seketika menghentikan perkelahian Naga dan Ayu. Keduanya saling melepaskan, lalu duduk bersisian dengan canggung. Ayu lantas menendang kaki Choky dengan geram. Pemuda itu balas menendang sambil berteriak tidak terima.
Tanpa ada yang tahu, kepala Naga mulai memikirkan pertanyaan Choky tadi. Saat melihat Ayu yang berkelahi dengan Choky, Naga terkekeh, lalu melontarkan kalimat tidak masuk akal lain.
“Gimana kalau lo kasih gue kerjaan jadi pacar lo, Yu?”
Nggak ada notifnya
Comment on chapter TWICE