Sore ini, selepas jam kerja, Dara tergesa-gesa ke apartemen Dimas. Jalanan akan semakin padat menjelang jam pulang kerja karyawan, sedangkan letak apartemen lelaki itu cukup jauh dari tempat tinggal Dara sekarang. Karenanya, Dara harus bergegas untuk menghindari macet.
Pagi tadi, gadis itu mengirim pesan pada Dimas yang masih berada di Bandung. Dia meminta izin memakai laptop di rumah Dimas untuk mengerjakan sesuatu. Dara tidak perlu menjelaskan sesuatu seperti apa yang akan dia kerjakan untuk membuat Dimas memberinya izin. Dia hanya membutuhkan kombinasi angka yang menjadi password pintu unit apartemen mewah milik Dimas. Unit yang selalu ditawarkan untuk ditinggali Dara karena Dimas lebih suka tinggal di rumah orang tuanya.
Terkadang, Dara tidak habis pikir. Dimas tidak bisa berpisah dengan orang tua dan adiknya, lalu kenapa dia membeli sebuah unit apartemen? Jika untuk investasi, bukankah akan lebih menguntungkan jika lelaki itu menyewakannya? Kenapa dia justru lebih suka meminjamkannya pada Dara?
Apa karena Dimas yakin mereka akan menikah suatu saat nanti?
Dara terkekeh jika mengingat hal itu. Memikirkan pernikahan baginya sama seperti memikirkan password yang diberikan Dimas. Jika tidak dicatat, mau berapa kali pun Dara datang ke sana, dia tetap akan bertanya kembali. Padahal selama ini Dimas tidak pernah mengganti kombinasi password-nya. 02110312, tanggal ulang tahun Dara dan tanggal mereka memutuskan untuk menjadi ‘partner’. Alih-alih pacar, Dara lebih suka menyebut Dimas sebagai partner. Dara bukan perempuan yang suka berpikir rumit. Dia hanya berusaha menyederhanakan hubungannya dengan Dimas. Setidaknya, jika nanti mereka tidak menikah, Dara tidak perlu merasa canggung jika bertemu lagi dengan Dimas.
Begitu sampai di apartemen Dimas, Dara lantas bergegas ke dapur. Dia masih punya banyak waktu, tidak perlu terburu-buru. Lagi pula, rasa penasarannya tidak lebih besar dari rasa lapar yang mendera perutnya. Setelah memindai kulkas, gadis itu mengambil sebungkus nasi ayam teriyaki instan dan menghangatkannya di microwave sesuai petunjuk dalam kemasan. Sambil menunggu nasinya hangat, Dara menyalakan mesin kopi dan menyiapkan espreso untuk menemani sorenya.
Dara baru saja menghabiskan nasinya dan bersiap menyalakan laptop ketika dering ponsel membuatnya nyaris melonjak. Dimas?
“Kenapa, Dim?”
“Jadi pinjam laptop?”
Tanpa sadar Dara mendengkus bosan. “Sejak kapan kamu suka basa-basi?” Kekehan Dimas di seberang membuat Dara mengeluh. “Kamu tahu aku bukan orang yang suka sama jenis perhatian kayak gitu, kan?”
“Aku cuma mastiin, nggak bermaksud basa-basi.”
“It’s not you. Bilang aja, kamu penasaran kan, sama apa yang mau aku lakuin di sini?” Bukan tebakan atau pertanyaan. Dara sudah terlalu mengenal Dimas. Tidak mungkin lelaki itu akan membiarkannya memakai barang-barang di apartemen ini tanpa mau tahu sama sekali.
“Aku nggak penasaran,” sergah Dimas sebelum melanjutkan, “tapi kalau kamu mau ngasih tahu, aku juga nggak akan nolak.”
“Nanti.” Dara menghela napas. “Aku juga belum tahu apa yang bisa kubagi denganmu. Tapi nanti, aku pasti cerita.”
Dara hanya mendengar suara dehaman. “Oke. Take your time. Kamu tahu aku selalu nunggu kamu cerita. Soal apa pun.”
“Apa kita beneran sedekat itu sampai-sampai kamu bilang gitu? Kamu yakin nggak akan nyesel kalau aku share anything with you?”
“Apa ada aturan kalau ‘partner’ nggak boleh lakuin itu?”
Dara berpikir sejenak. “Aku cuma nggak mau kamu nyesel aja.” Gadis itu berdeham, lalu melanjutkan, “karena aku bakal jadi cerewet saat memutuskan untuk membagi segalanya dengan seseorang.”
Tawa Dimas membuat Dara mengerucutkan bibir. “O ya? Kalau gitu, harusnya kamu lakuin itu sejak tiga tahun lalu. Share anything with me, dan kita lihat, apa aku tahan denganmu yang cerewet. Siapa tahu aku jadi kangen masa-masa kamu cuek dan lebih nganggep aku patung daripada manusia.”
Cheesy!
Jika itu kalimat itu diucapkan oleh Naga, Dara pasti tak segan meneriaki pemuda itu. Namun, saat Dimas yang mengatakannya, tubuh Dara bereaksi lain. Gadis itu merasakan pipinya menghangat. Mendadak lidahnya kelu dan tak sanggup mengeluarkan balasan. Dia hanya berkata, “Udah, ah. Kututup, ya,” sebelum benar-benar memutuskan sambungan telepon. Dara butuh waktu beberapa menit untuk menetralkan debaran di dada dan mendinginkan pipinya. Gadis itu lantas menepuk-nepuk pipinya sebelum kembali fokus pada tujuan awal dia datang kemari.
Dengan tenang, tidak, berusaha tenang tepatnya, Dara memasukkan kepingan VCD itu ke dalam external player yang sudah terhubung dengan laptop. Dia berharap tidak menemukan sesuatu yang mengejutkan.
Video dimulai dengan tampilan slideshow Powerpoint yang membahas tentang teknik tie dye. Slideshow itu berlangsung cukup lama, sekitar tiga hingga hampir lima menit. Dara hampir tidak membaca keseluruhan isi slideshow tersebut. Mungkin Naga memang memiliki ide cemerlang dengan menggabungkan sepatu kanvas dan teknik pewarnaan ikat-celup. Namun, penyampaian materinya sungguh membosankan. Tidak heran jika jajaran direksi menolak aplikasinya.
Tunggu sebentar....
Tie dye kanvas? Palette sudah memakai teknik itu... hm, sekitar dua setengah, atau malah tiga tahun lalu? Dara tidak mengingat dengan jelas waktunya, tetapi teknik itu disampaikan oleh seorang anak magang. Karena di bawah pengawasannya, Dara ingat betul siapa anak itu. Bukan Naga yang jelas.
Lima menit terakhir berisi video Naga yang sedang mewarnai sepasang sneakers. Dari Palette. Dara menghela napas. Jika sepatu yang diwarnai Naga asli, Dara tidak sanggup membayangkan berapa lama waktu yang harus pemuda itu butuhkan untuk mengumpulkan uang. Mungkin saja waktu membuat video itu, band-nya belum sering manggung seperti sekarang.
Dara melihat lagi tahun pengajuan lamaran pekerjaan itu. Kurang lebih empat belas bulan setelah Naga menerima ijazahnya. Ide mewarnai sepatu dengan tie dye itu disampaikan Naga lebih dulu daripada anak magang yang pernah dibimbing Dara. Masalahnya adalah, apakah setelah sepatu edisi tie dye itu keluar, Naga menganggap Palette mencuri ide setelah menolak pengajuan aplikasinya? Dara tidak tahu. Gadis itu tidak ingin membayangkan.
Tanpa pikir panjang, gadis itu mengemasi barang-barangnya dan gegas keluar dari apartemen Dimas. Tiba-tiba saja hatinya diserang perasaan bersalah yang tidak dia tahu dari mana asalnya. Dara tidak ingin berspekulasi, apalagi memikirkan hal negatif tentang Naga. Perasaan itu menuntunnya kembali berdiri di depan sebuah gedung yang menjadi tempat kerjanya bertahun-tahun lalu.
Neon box bertuliskan PALETTE yang tergantung vertikal di depan gedung, membuat Dara seketika mengingat hari-hari sulit menjadi anak tunggal pemilik perusahaan. Gadis itu lalu terkekeh sebentar sebelum memutuskan untuk masuk ke gedung. Sungguh naif orang yang mengira dirinya memiliki masa depan cerah hanya karena menjadi putri pemilik sebuah brand ternama. Nyatanya, Dara justru dirundung karena status itu. Iya, sih, perundungnya memang tidak melakukan perundungan itu secara terang-terangan. Namun, disindir setiap hari dengan kata-kata menyakitkan sudah cukup membuat Dara menangis berhari-hari.
Saat sindiran-sindiran itu semakin kencang, Dara memutuskan untuk pergi. Hanya kepada Dimas, Dara mengungkapkan segala isi hatinya. Dara bahkan memutuskan untuk keluar dari rumah orang tuanya yang nyaman. Meski Dimas berkeras menawarkan unit apartemennya, gadis itu merasa ingin memulai semuanya dari awal, dari nol. Paling tidak, dia harus merasakan rasanya bekerja di bawah tekanan orang lain jika ingin menjadi pemimpin yang bijaksana di masa depan.
Dimas masih di Bandung. Karenanya, Dara memutuskan untuk menemui orang kepercayaan lelaki itu alih-alih menemui papanya langsung. Mas Gun sudah bekerja cukup lama bersama Dimas dan dirinya, jadi, selain Dimas, Dara hanya akan percaya pada Mas Gun.
“Ra!”
Beruntung sekali Mas Gun langsung keluar begitu Dara menghubunginya di lobi. Sebenarnya, Dara belum siap bertemu siapa pun selain Mas Gun saat ini.
“Kebetulan gue udah mau pulang, kita ngobrol di luar aja gimana?” Tawaran itu langsung diterima Dara. Lagi pula, dia tidak akan nyaman membicarakan masalah ini di kantor.
Tunggu. Masalah apa yang sebenarnya ingin Dara bicarakan dengan Mas Gun? Masalah Naga? Hanya karena Mas Gun staf HRD, tidak mungkin lelaki itu mengingat semua nama yang pernah melamar pekerjaan di Palette. Dara sebenarnya juga bingung harus dari mana memulai semua ini. Dia hanya dituntun perasaan bersalah yang sama sekali tidak dia mengerti.
“Jadi, ada apa, Ra?” tanya Mas Gun sesaat setelah mereka duduk dengan nyaman dan memesan makan malam di sebuah kafe.
Dara terdiam sejenak sambil menggigit bibir bawahnya, mencoba memikirkan sesuatu. Oke, gadis itu menghela napas, mari mulai dari sini, tekadnya. “Mas Gun ingat Bintang?”
“Bintang?” Lelaki di hadapan Dara itu tampak mengingat-ingat. “Yang pernah magang di bawah pengawasan lo, bukan?”
Dara mengangguk antusias, merasa menemukan titik awal pencariannya. “Dia masih di Palette?”
“Dia kan nggak jadi tanda tangan kontrak waktu itu. Nggak lama setelah lo keluar dari Palette kayaknya. Padahal belum setahun sepatu dengan ide desain dari dia dirilis. Sayang banget, dia dapat promosi jadi pegawai tetap kan dari idenya itu.”
“Mas tahu nggak sekarang dia di mana?”
Mas Gun mengedik. “Yaelah, Ra. Buat apa juga gue ngurusin dia? Lagian udah lama banget. Dia pasti udah kerja di perusahaan lain.” Saat melihat bahu Dara melorot lesu, Mas Gun memajukan badannya, menatap gadis itu penuh selidik. “Ada apaan, sih?”
Dara menggeleng. “Gue curiga ide tie dye itu bukan milik dia sendiri.”
“Bukannya biasa ya, kayak gitu? Kan emang nggak ada ide yang bener-bener asli di dunia ini.”
“Lo masih nyimpen file presentasi dia nggak, Mas?”
Mas Gun terdiam. Seingatnya, Dara tidak pernah main-main dengan file perusahaan. Kalau sampai gadis itu menanyakan soal file, artinya memang ada yang tidak beres. “Lo udah minta izin Dimas?”
Dara menggeleng.
“Gue masih punya file-nya, tapi nggak akan gue kasih kalau nggak ada izin dari Dimas. Lo tahu kan, gue cuma bawahan. Jangan sampai gue dipecat karena bantuin lo. Anak istri gue makan apa ntar.”
Dara kembali menghela napas. “Tapi janji ya, bakal kasih file-nya begitu Dimas ngizinin.” Mas Gun mengangguk sekali. Bikin Dimas kasih izin mah, gampang.
Nggak ada notifnya
Comment on chapter TWICE