Pukul 13.00, bel listrik di SMA Harapan berdering nyaring. Pertanda pelajaran telah usai. Dalam sekejap halaman di sekolah itu menjadi ramai. Dipenuhi oleh anak-anak berseragam putih abu-abu, yang saling berebut untuk pulang. Mereka berjalan sambil bercanda ria. Ada yang saling ejek, ada yang berkejaran, dan ada pula yang sedang membicarakan hasil ulangan yang baru saja dibagikan oleh gurunya.
Begitu juga yang terjadi di depan kelas XII, yang tampaknya keluar kelas paling belakangan. Anak-anak tampak gaduh membicarakan ulangan mata pelajaran Kimia yang baru saja dibagikan. Yang mendapat nilai bagus, nampak berjalan riang sambil mengacung-acungkan hasil ulangannya. Sementara yang mendapat nilai jelek berjalan lesu dengan wajah muram, namun tak sampai mematahkan semangat belajarnya. Justru nilai jelek itu akan dijadikan cambuk untuk lebih giat lagi belajarnya. Agar ulangan yang akan datang dapat nilai yang lebih bagus tentu saja.
“Revita!” teriak seorang anak ketika hampir sampai di depan pintu gerbang.
Tapi teman yang dipanggil itu tak menyahut, bahkan menoleh pun tidak. Mungkin dia tak mendengar panggilan itu. Untuk itu, anak yang berkulit putih dan berbadan agak kurus itu kembali memanggil. Kali ini dengan teriakan yang agak keras.
“Taa! Revitaa!!”
Yang dipanggil kini menghentikan langkah. Menoleh ke belakang. Tahu bahwa yang memanggil adalah teman sekelasnya, seulas senyum segera dia tebarkan.
“Tunggu, Revita!” ujarnya sambil mempercepat langkah agar dapat menyusul Revita.
“Kok jalan kaki Vita, tidak dijemput?” tanya anak itu ketika langkah mereka sudah beriringan.
“Iya, Tris,” jawab Revita pada temannya yang bernama Trisnani itu.
“Kenapa?”
“Sopirku sedang sibuk.”
“Kalau begitu kebetulan, aku juga tidak bawa sepeda. Jadi kita naik taxi bersama-sama saja yuk?”
“Yuk,” sahut Revita dengan anggukkan kepala.
Mereka pun kembali melangkah bersama-sama. Setelah melewati pintu gerbang sekolah, mereka belok ke selatan. Menyusuri jalan melingkar yang menuju ke tempat mangkalnya taxi..
“Eh, Tris …” ujar Revita sambil mengusap keringat di dahinya. Siang ini memang terasa amat panas. Matahari bersinar dengan teriknya.
“Ada apa?” tanya Trisnani acuh tak acuh.
“Ulangan Kimia tadi, kamu dapat nilai berapa?”
“Delapan puluh lima. Kau?” Balik tanya Trisnani sedikit sombong.
“Seratus,” jawab Revita datar-datar saja.
“Seratus?” ulang Trisnani seolah tak percaya.
“Iya. Kau tidak percaya? Nih!” kata Revita sembari mengulurkan selembar kertas hasil ulangan mata pelajaran Kimia yang ia ambil dari saku tas sekolahnya.
Sigap, Trisnani menerimanya dan kemudian matanya langsung memelototi nilai yang tertera dengan tinta merah pada bagian atas kertas itu. Di situ jelas tertulis angka 100 lengkap dengan tanda tangan Bu Vera sebagai guru mata pelajaran Kimia.
“Kamu hebat Vita, sering dapat seratus,” kata Trisnani sambil mengembalikan kertas ulangan milik Revita. Revita menerimanya dan langsung mamsukkannya kembali kedalam tas.
“Ya, itu karena aku belajar, Tris.”
“Aku juga belajar!” potong Trisnani cepat.
“Iya, aku tahu. Dan aku yakin, kau pun bisa mendapatkan nilai 100.”
“Aku?” desah Trisnani sedikit tak percaya.
“Ya, kamu.”
“Caranya?”
“Ya, kau belajarlah yang lebih giat lagi,” sahut Revita enteng sekali.
“Ya kalau hanya begitu sih, aku juga sudah tahu.”
“Sudah tahu kok nanya.”
“Ya, aku kira ada cara lain.”
“Maksudmu, nyontek, begitu?!” ledek Revita pula.
Trisnani cuma nyengir. Belum sempat Revita meneruskan olok-oloknya, sebuah taxi dating. Mereka langsung memanggilnya guna mengantar mengantar mereka pulang.
Tanpa terasa Trisnani sudah sampai di depan rumahnya. Ia langung turun dan berniat membayar ongkos taxi. Tapi Revita mencegahnya sambil mengatakan kalau dia yang akan membayarnya nanti. Trisnani mengucapkan terimakasih baru kemudian mulai melangkah. Sebelum masuk halaman rumahnya tak lupa ia mengucap salam dan menyuruh Revita mampir. Revita hanya membalasnya dengan senyum kemudian melanjutkan langkahnya.
Kebetulan juga, rumah Revita sudah tak seberapa jauh dari situ. Mereka tinggal satu komplek perumahan yang sama. Hanya berbeda gang saja. Dua ratus meter lagi juga sudah sampai. Lagi pula Revita juga ingin cepat-cepat sampai di rumah. Ia ingin segera menunjukkan nilai seratusnya pada sang Mama. Di samping itu, pada saat cuaca panas seperti sekarang ini, sejak tadi di matanya sudah terbayang kesegaran sari jeruk bikinan Mbok Darmi pembantunya. Oh, alangkah segarnya, gumam Revita sambil menelan air liur.
Seolah tak sabar, begitu sampai di depan pintu gerbang rumahnya, Revita buru-buru melomcat turun dari taxi dun langsung berteriak-teriak memanggil mamanya, sambil mengacungkan selembar kertas hasil ulangannya.
“Maa! Mama! Aku dapat nilai seratus, Ma!”
Tapi tak ada sahutan dari dalam. Padahal biasanya sekali saja Revita memanggil, mamanya pasti sudah muncul di depan dengan senyum yang sangat menentramkan.
Namun kali ini kok …. akh, mungkin mama capek dan tertidur, begitu pikir Revita.
Dengan menggunakan kedua tangannya, Revita segera mendorong pintu gerbang yang memang jarang dikunci. Kemudian ia bergegas melangkah ke depan pintu rumahnya yang nampak tertutup rapat.
Tok tok tok tok! Dengan tak sabar diketoknya pintu itu berulang kali.
“Assalamualaikum! Maa …! Mama …. Vita pulang! Vita dapat nilai seratus, Ma!” panggil-panggil Revita dengan nada penuh kebanggaan.
Klik! Handle pintu bergerak. Hati Revita pun bersorak. Tapi sayang, sorak di hati Revita langsung mereda begitu daun pintu terkuak setengahnya. Betapa tidak! Karena yang muncul dari balik pintu bukanlah mamanya. Tapi Mbok Darmi, tetangga sebelah yang sering dimintai tolong untuk menjaga rumah apabila keluarga Revita sedang bepergian semua.
“Assalamualaikum,” sapa Revita dengan suara tertahan. Rona kecewa jelas terpancar dari raut muka Revita.
“Wa’alaikumsalam, baru pulang, Vita?”
Revita menganggukkan kepala. Dengan lesu ia melangkah ke sofa. Kemudian duduk dan membuka tali sepatunya. Semua ia lakukan dengan perasaan malas.
“Mama kemana, Mbok?” tanya Revita sambil menyorongkan sepatunya ke sudut ruangan dengan asal-asalan saja.
“Ke Rumah Sakit,” sahut Mbok Darmi sambil meletakkan segelas sari jeruk yang baru diambilnya dari kulkas.
“Rumah Sakit?!” gumam Revita heran. Sebab tadi pagi waktu berangkat sekolah mamanya nampak sehat-sehat saja, tapi kok sekarang ke Rumah Sakit? Ada apa ya?
“Apa Mama sakit?”
“Tidak, Vita.”
“Lalu siapa yang sakit?”
“Teman arisan mamamu.”
Duh … bingung deh Revita jadinya. Sampai urung ia meneguk sari jeruk yang sudah diangkatnya dari atas meja. Perlahan diletakkannya gelas pada tempatnya semula.
“Duuh, Mama itu gimana sih Mbok, anaknya sendiri aja gak pernah diperhatikan, eh, giliran teman arisannya yang sakit, buru-buru dijenguk. Sampai lupa waktunya jemput aku. Mama macam apa itu?”
“Eeh, Vita gak boleh ngomong seperti itu.”
“Biarin aja, emang nyatanya seperti itu?” suara Revita agak meninggi karena dorongan rasa kecewayang menjadi-jadi.
“Sudahlah, .daripada menggerutu terus, Vita cepat ganti baju dulu, cuci tangan terus makan deh. Nanti selesai sholat mammu juga pasti pulang,” bujuk Mbok Darmi seperti anaknya sendiri.
“Enggak, Mbok. Mama mau pulang atau tidak, aku nggak peduli.”
“Eh … Vita. Lebih baik Vita makan dulu, ya? Nanti kalau terlambat makan, bisa sakit perutnya.”
“Biarin!!”
“Lho … lo … lo … jangan begitu, Vita. Vita makan saja dulu, ya? Mbok ambilkan!”
“Tidak mau! Vita enggak mau makan sebelum Mama pulang.” Suara Revita jelas ngambegnya.
Melihat wajah Revita yang penuh rasa kecewa dan tampak memelas, Mbok Darmi tak sampai hati. Ia jadi iba. Lantas dielusnya rambut Revita sambil duduk di sampingnya. Dengan diawali sebuah senyum, Mbok Darmi mulai berkata.
“Vita, kamu jangan kawatir. Mamamu sebentar lagi pasti pulang.”
“Mau pulang atau tidak, aku nggak peduli.”
“Kan mamamu hanya bezuk.”
“Apa kalau aku yang sakit Mama juga mau cepat-cepat bezuk, Mbok?”
“Hust! Kamu nggak boleh omong kayak gitu. Di dunia ini tidak ada seorang ibu yang tega pada anaknya.”
“Siapa bilang nggak ada, Mbok? Buktinya di tivi sering ada berita seorang ibu yang membuang anaknya, bahkan ada ibu yang menganiaya anak kandungnya hingga meninggal dunia,” bantah Revita tak mau kalah.
“Itu pasti karena suatu sebab yang rumit, Vita.”
“Alaah Mbok Darmi ini, mentang-mentang sesama perempuan, pasti belain Mama!”
Oh, heran Revita membayangkan kondisi keluarganya sekarang ini. Baik papa maupun mamanya seolah-olah sudah tak punya waktu untuk dirinya. Sang papa sibuk urusan bisnisnya. Sedang sang mama sibuk dengan komunitas sosialitanya. Apa jadinya jika ia harus memiliki seorang adik pula?
Duh Gusti … sungguh menyakitkan apabila hal itu benar-benar terjadi nanti. Dada Revita bergemuruh. Dia ingin marah. Dia ingin berontak. Dia merasa belum siap memiliki seorang adik yang membuat dia harus serba berbagi disegala hal nanti. Usan bisnis dengan kliennya. Sang mama sibuk tebar gossip dengan teman-teman sosialita yang doyan belanja dan tukang pamer harta. Nyaris segala keperluannya dialihtugaskan pada ak Mbok Darmi yang sudah tua. Sehingga tak jarang, ia hanya bias berteman dengan handpone setiap waktu.
Kesal, dengan wajah pias Revita bergegas melangkah ke kamarnya. Hingga tanpa sengaja, kakinya menyerempet ujung meja. Dan gelas yang berisi sari jeruk itupun tumpah. Tapi Revita tak peduli. Dia tetap melangkah ke kamarnya dan terus mengunci diri.
Tepat pukul 13.15 Nyonya Pratiwipulang. Di teras depan, ia disambut oleh Mbok Darmi. Perlahan Nyonya Pratiwi turun dari mobil yang mengantarnya kemudian menghampiri Mbok Darmi dengan senyum ramah.
“Assalamualikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
“Oiya Mbok, apa papanya Vita sudah pulang?” Kembali Pratiwi bertanya sambil menghempaskan pantat di sofa ruang keluarga.
“Belum Nyonya, tadi telepon katanya pulang agak sore. Karena siang ini ada meeting dengan klien dari Bandung.”
“O … terus Vita sudah pulang?”
“Sudah Nyonya.”
“Sudah makan?”
“Belum. Tadi Mbok ambilkan tapi tidak mau, Nyonya. Malah langsung masuk kamar.”
“Ya sudah gak apa-apa, Mbok. Biar saya nanti yang nyuruh makan,” ujar Pratiwi yang tahu benar sifat anaknya.
Mbok Darmi berlalu kembali ke belakang. Pratiwi pun segera beranjak ke meja makan. Mengambil sepiring nasi beserta sayur dan lauk pauknya. Tak lupa dibawanya pula segelas sari jeruk. Dan dengan langkah pasti, Pratiwi melangkah ke kamar Revita untuk membujuk putrinya agar segera makan.
Namun Revita yang lagi asyik bermain ponsel sambil memutar lagu dengan kencang, sama sekali tak mendengar panggilan mamanya di depan pintu kamar. Seperti inilah kiranya kondisi keluarga yang dihuni oleh para pemuja harta.