Fyuh!
Aku bernapas lega semua kerjaanku beres. Setidaknya hari ini, besok dan lusa no lembur-lembur club. Sudah seminggu lembur di kantor ini.
Aku semangat membereskan meja soalnya mau ke kafe A2T Cafebook. Sudah kangen berat sama Allura.
Tok … tok!
Terdengar suara ketukan pintu.
"Masuk. Nggak dikunci kok."
Pintu terbuka. Ternyata Bu Liana. Firasatku langsung nggak enak.
"Eh, Bu Liana. Ada apa? Apa ada tugas tambahan buat saya?"
"Nggak ada kok. Mas Taqi sibuk nggak?"
"Mau ke kafe sih."
"Pas banget saya mau ngajak Mas Taqi ngopi-ngopi manjah. Sekalian mau ngenalin Mas Taqi sama ponakan saya."
Huft. Ini Bu Liana pantang menyerah juga. Walau selalu kutolak ajakan makan siang, sore, dan kali ini malah mengajak ngopi serta dikenalin sama ponakannya. Lama-lama capek juga menghindar. Aku berpikir sejenak. Seketika muncul ide.
"Oke, boleh. Tapi di kafenya calon istri saya ya. Saya mau ke toilet dulu. Bu Liana bisa tunggu di luar."
"Siap. Mas Taqi."
Buru-buru aku ke toilet untuk menelepon Allura.
Tutttt
Ayo dong angkat, Allura. Aku jadi gemas sendiri. Dia kalau angkat telepon lama banget gara-gara HP-nya selalu dimatikam nada deringnya.
"Halo, Taqi. Kenapa?"
"Aku boleh minta tolong nggak?"
"Minta tolong apa?"
Aku menceritakan tentang Bu Liana ke Allura serta permintaanku. Allura malah tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha …"
"Kok ketawa sih? Apanya yang lucu?"
"Lucu bayangin kamu dikejar tante-tante janda. Hahaha." Dia masih saja tertawa. Aku semakin manyun karena dongkol.
"Jadi gimana? Mau ya ngaku jadi calon istriku? Please." Aku memohon ke Allura.
"Nggak ah. Takut dosa bohong sama orang tua."
"Kita nggak bohong kok. Kowe emang benar wanita yang aku cintai dan wanita yang ingin aku nikahi."
"Prettt. Nyatanya kamu lebih milih kerjaan daripada aku."
Bukan saatnya berantem. "Ayolah, please bantuin aku ya. Imbalannya kowe oleh minta apa pun dariku."
"Bener nih, apa pun? Termasuk waktu kamu? Rela cuti demi aku?"
"Iya deh. Apa pun."
"Okeh, kalian datang aja ke kafe kita."
Wajah yang tadinya kusam kini cerah lagi karena Allura mengabulkan permintaanku. "Makasih Allura, sayang."
***
Sesampai di A2T Cafebook, aku malah terbengong-bengong melihat Allura berpelukan sama Bu Liana.
"Allura, kok kamu nggak bilang ke keluarga sih bahwa kamu sudah calon suami? Taqi pula calon suamimu."
Aku sama Allura saling berpandangan. Gila, plot twist banget. Bu Liana yang ganjen mengejarku ternyata tantenya Allura coba.
Allura mengedipkan mata ke aku. Seolah dia memberikan kode harus jawab apa.
Aku WA dia. Kebetulan dia lagi megang HP.
Allura, bilang aja aku lagi sibuk atau apa kek.
Beruntung Allura langsung membaca WA-ku.
"E … gimana ya, Tan. Bukan nggak mau bilang ke keluarga, cuma Mas Taqi sibuk lembur terus. Keluarganya pun masih di luar kota jadi belum ada pembahasan kapan lamaran resmi."
Akting Allura bagus juga. Membuatku sedikit bernapas lega.
"Oh gitu. Tante tunggu deh lamaran pastinya. Eh, bay the way, Tante emang suka sama Taqi sih, tapi kalau ternyata dia lebih mencintaimu, Tante ikhlas melepasnya."
"Duh, aku jadi nggak enak nih sama Tante. Kesannya aku merebut cintanya Tante."
"Untung kamu ponakan tersayang, Tante. Jadi Tante nggak bakal marah sama kamu."
Aku bergidik ngeri mendengar ucapan Bu Liana barusa. Lebih seram dipanding tangisan Kuntilanak.
***
Untung Bu Liana sudah pulang duluan, jadi aku di kafe ini tenang, damai, dan sejahtera sampai kafenya tutup. Aku berjalan ke ruang ganti karyawan. Mau kepo soal kafe semingguan ini ke karyawan.
Seketika aku berpapasan dengan Renaldy. Dia sama sekali nggak menyapaku. Sialan. Sombong banget tuh anak sama Bos.
Di ruang ganti, kebetulan seluruh karyawan lagi mengumpul.
"Akhirnya Pak Bos datang ke kafe ini juga," ujar Aruna.
"Loh, emang kenapa kalau saya datang? Di kafe ada drama cekcok lagi?" tanyaku heran.
"Lebih genting dari drama," sahut Aruna.
Aku meninggikan alis sebelah kanan. "Maksudnya?"
"Kami curiga ada yang nggak beres sama Renaldy. Semingguan ini kami liat Renaldy dan Bu Bos akrab banget di pagi hari sebelum kafe buka. Bahkan kadang saya memergoki mereka ketawa-ketawa. Ya kayak orang pacaranlah," jelas Diani.
Mataku membola mendengar penjelasan Diani. Allura pacaran sama Renaldy?
"Bukan kami cemburu atau apa ya, tapi firasat kami Renaldy tuh nggak beres. Deketin Bu Bos demi keuntungan pribadi. Logikanya mana ada karyawan baru berani deket-deket sama Bos cewek? Apalagi Renaldy berani deketin Bu Bos hanya pas Pak Bos Taqi dan Pak Bos Adrish nggak ada doang," cerocos Imel.
"Nah, itu mencurigakan banget. Kami nggak mau aja Bu Bos dimanfaatin orang nggak tau diri." Ira pun ikut bersuara.
Aku jadi terharu. Seluruh karyawan A2T Cafebook segitu pedulinya sama Allura. "Makasih banget kalian peduli sama Allura. Tapi kalian tenang aja, saya dan Adrish pasti bertindak jika anak baru itu macam-macam ke Allura."
***
Seperti biasanya kalau semua karyawan sudah pulang, aku dan Allura belakangan pulangnya. Mau hitung-hitungan pembukuan kafe dulu. Soal hitung-hitungan, tugasku atau Adrish. Alluna dari SD memang lemot Matematika. Dia jagonya di pelajaran bahasa Indonesia.
Aku buka laptop dan file pembukuan. Lalu beralih buka Mbanking kafe. Dahiku mengernyit. Ada sesuatu yang janggal.
"Allura bulan ini kok minus enam ratus ribu? Padahal kan bulan ini ramai karena kedatangan Leci. Harusnya lebih tinggi dari bulan lalu dong. Terus ini kenapa ada laporan uang keluar ke rekening Renaldy?"
"Oh, kemarin Renaldy minjem duit. Dia lagi butuh buat bayar utangnya." Dia malah menceritakan masalah Renaldy. Aku nggak peduli.
"Kok kamu nggak bilang aku atau Adrish dulu?"
"Biasanya juga kalau karyawan lain butuh kasbon, nggak bilang ke kalian dulu."
Mendadak teringat perkataan karyawan A2T Cafebook. Sepertinya benar Renaldy mulai beraksi memanfaatkan Allura demi keuntungan pribadi.
"Ya kan Renaldy beda. Dia anak baru. Siapa tau dia punya maksud lain, bohong misalnya? Kalian pacaran?"
"Udah deh nggak usah suuzon. Aku yakin kok dia orang yang jujur dan dia emang lagi terdesak masalah keuangan."
Astagfirullah, Allura emang terlalu berkhusnuzon ke orang baru. Inginku mendebatnya, tapi percuma. Aku hapal betul karakternya. Ngeyelannya nggak tanggung-tanggung selama nggak ada bukti nyata, dia akan mempertahankan apa yang diyakininya benar. Hmmm … sepertinya aku harus bicarakan hal ini ke Adrish.
Setidaknya sama Adrish, Allura sedikit menurun dan mendengarkan perkataannya. Kadang suka cemburu soal hal ini. Namun, mau bagaimana lagi Adrish yang menemani Allura saat remaja. Bukan aku.
"Ya udah deh terserah kamu. Kita pulang aja yuk. Besok kita obrolin lagi sama Adrish," ujarku begitu selesai mencatat semua pemasukan dan pengeluaran ke file pembukuan.
Sukses, Mbak Arini
Comment on chapter Chapter 1 (Kinari Allura)