Komplotan pencuri itu mulai beraksi sejak enam bulan yang lalu. Dimulai dari kasus seorang cowok yang menyimpan ponselnya di dalam tas, saat kegiatan ekskul bola voli di pinggir lapangan. Kemudian diikuti kasus seorang cewek yang menyimpan ponselnya di tas, sementara semua murid pergi ke aula sekolah untuk kegiatan pramuka. Berlanjut pada kasus berikutnya. Sampai kasus ke sepuluh, pencurian yang menimpa Lika.
Dari sepuluh kasus tersebut, si pelaku beserta ponselnya tidak ditemukan sampai sekarang. Kecuali, kalau Delta tidak salah mendata, ada dua kasus yang hampir menemukan titik terang tetapi tiba-tiba buntu di tengah jalan. Kasus mencurigakan pertama adalah kehilangan yang ke-6. Resya, anak kelas dua belas yang menyimpan ponselnya di tas lalu hilang, padahal tasnya selalu dalam jangkauan mata. Kasus mencurigakan kedua adalah kehilangan yang ke-8. Julian, anak kelas sepuluh yang menyimpan ponselnya di saku jaket, lalu hilang saat jajan di kantin.
Mereka sama-sama menuduh satu orang yang diyakini sebagai tersangka. Hal ini berdasar juga pada saksi mata. Namun, barang bukti tidak ditemukan pada si tertuduh. Dia juga tidak mau mengaku. Terpaksa, proses hukum tidak bisa dilakukan dan akhirnya kasus itu tidak selesai.
Pihak kesiswaan berpikir jika pelaku pencurian bukan hanya seorang, melainkan lebih dari dua orang. Hal itu berkaca pada kejadian hilangnya ponsel yang ke-4. Seorang perempuan mengaku melihat seorang murid melempar kotak ke luar gerbang, saat ponsel si korban juga hilang. Diikuti tersebarnya tangkapan layar grup percakapan berjudul "Pencuri" yang menggegerkan sekolah. Isi percakapan itu adalah ucapan puas para anggota karena berhasil mencuri ponsel Resya.
Pihak kesiswaan segera turun tangan. Mereka menugaskan tim khusus untuk menyelesaikan kasus ini sampai ditemukannya uang dan jam tangan di balik semak-semak tempat Delta melemparkan ponsel Lika.
Barang-barang curian yang dilaporkan hilang dua hari sebelumnya ada di sana. Semua orang menyimpulkan semak-semak itu sebagai brankas komplotan pencuri. Sejak saat itu kesiswaan memasang CCTV yang mengarah ke sana, tetapi tidak menghasilkan apa-apa kecuali rekaman Delta tempo hari.
"Serius amat."
Seruan diikuti tepukan di bahu membuat Delta tersentak dan spontan menoleh ke samping. Kairav duduk di sampingnya dan menatap ingin tahu. Ada binar jenaka di wajahnya sekaligus mengejek. "Gimana ruang kesiswaan? Enak?"
Sialan. Delta mendelik. Teman-temannya rusuh saat dia datang ke kelas. Sebagian dari mereka menyerbu terang-terangan dengan berbagai pertanyaan. Sebagian lainnya menatap ingin tahu sambil sesekali membicarakan di belakang. Itulah gunanya menjadi normal. Untuk menghindari hal-hal tidak menyenangkan semacam itu. Satu hal yang Delta pelajari dari kehidupan adalah: agar tidak menjadi pusat perhatian orang-orang, maka bersikaplah dengan normal.
Membalas ucapan Kai, dia mengangguk mantap. "Enak. Ada AC-nya."
Kai terkekeh pelan, lalu menaruh tangannya di pundak Delta. "Wih! Kayaknya kapan-kapan gue juga harus ke sana. Enak bener ber-AC di cuaca sepanas ini."
Delta menyipitkan mata. Tidak suka dengan basa-basi Kai. Walau cowok ini terkenal ramah dan supel, dia tidak pernah sok dekat seperti ini padanya. Biasanya mereka hanya berkata seperlunya—atau hanya Delta yang berkata seperlunya. Toh intinya, percakapan semacam ini tidak pernah mereka lakukan. Alasan apa lagi yang cocok sampai membuat Kai mendekatinya kalau bukan ingin tahu info pencurian ponsel.
Semua orang sama saja. Ikut-ikutan hal yang sedang viral tanpa tahu dasar.
"Kenapa lo ke sini? Ganggu aja. Sana ngobrol sama yang lain."
Kai menjauhkan badannya dan memekik ketakutan dengan gestur mengejek. "Sensi amat, sih?"
"Sana," balas Delta dingin
"Elah. Lo nggak akan bagi-bagi kisah di ruang kesiswaan tadi, apa?"
"Nggak."
"Cerita, dong. Dikit aja. Kenapa lo bisa sampai bebas?"
Delta mendengus lalu menatap sebal Kai terang-terangan. Kai mengangkat kedua tangan lalu berdiri. "Oke," katanya sambil berjalan meninggalkan meja.
Saat itulah Delta teringat sesuatu. Kai tahu banyak informasi tentang murid di sekolah. Dia supel, disukai banyak orang dan menyenangkan. Delta mungkin bisa tahu informasi darinya. Jadi, sebelum Kai sempat menjauh, dia berseru, "Tunggu!"
Kai tersenyum miring lalu menoleh. "Ya? Berubah pikiran?"
"Lo tahu Resya dan Julian?"
Kai menyeringai. "Tahu," katanya. "Lo berniat mencari pelaku sebenarnya?"
Delta tidak bisa mengelak dan akhirnya mengangguk. Kai mendekat lalu mengeluarkan ponsel dari saku celana dan mengetik sesuatu. "Gue udah kirim kontak mereka ke elo. Cek, ya," katanya. "Feedback yang gue mau adalah, lo infokan perkembangan kasus yang lo tangani ini. Kalau diizinkan, gue mau bergabung. Gue penasaran banget siapa pelakunya. Ingat, kan? Jam tangan gue pernah hilang. Siapa tahu pelakunya sama. Kalau benar, gue nggak akan tinggal diam." Ada sorot tajam di bola mata Kai.
Delta mengangguk. Bukan persetujuan, melainkan isyarat jika Kai boleh pergi meninggalkannya. Kai mencebikkan bibir lalu berjalan pergi. Saat jam tangannya hilang, cowok itu murka bukan kepalang. Katanya, itu jam tangan spesial. Delta tidak bisa menyalahkan sikap seseorang yang sedang merasa kehilangan. Jadi, tidak heran kalau Kai mendekatinya sekarang. Sedikitnya, mereka berada di pihak yang sama; korban.
Sebelum benar-benar menjauh Kai berkata, "Lain kali bawa ponsel ke sekolah, Del. Biar nggak ribet kalau ada masalah kayak gini."
Delta tidak merespons ucapannya dan membiarkan Kai berlalu begitu saja.
Siapa juga yang butuh ponsel, dengusnya.
***
Ketika pintu rumah terbuka dan seorang cowok berseragam putih biru muncul, Delta segera menghadangnya. Si cowok itu tersentak dan mundur selangkah. Ketika sadar yang ada di depannya adalah Delta, dia mengerutkan wajah.
Delta menatap adiknya dengan tatapan serius. "Cek ponsel gue."
Dreval mendelik lalu melewati Delta melalui celah di antara pintu. "Gue baru datang. Capek."
Delta mengikuti langkah Dreval. "Ini penting!"
"Rebahan juga penting," balasnya sambil melempar tas sembarangan lalu merebahkan tubuh di sofa ruang tamu. Dia mendesah lega sambil memejamkan mata.
"Lo nurut sama gue," perintah Delta.
"Bentar."
"Sekarang!"
"Bentar, dong. Punggung gue belum lurus banget, nih."
"Dreval," geram Delta.
Dreval membuka mata lalu mengangkat satu alis tidak rela. "Sepenting apa, sih?"
"Penting. Lo harus cek ponsel gue sekarang."
"Penting pake banget?" balas Dreval. "Pake banget banget banget?"
Titik-titik wajah Delta seketika lurus, tidak menampilkan ekspresi apa pun. Namun, tatapannya sangat tajam dan membara. "Kalau lo bacot, gue lapor ke Mamah kalau lo bolos sekolah kemarin dan malah main di warnet pengkolan."
"Oho!" Dreval segera batuk dengan keras. Sengaja menyamarkan suara Delta dari telinga sang ibu yang berada di dapur. Dia berdiri lalu mendelik. "Oke," dengusnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar. Di sela langkahnya, dia menggerutu tajam. "Lagian, lo kenapa sih, takut ponsel?"
Delta tidak menjawab. Ini bukan kali pertama Dreval menggerutukan ketidaknormalannya dan dia sudah tidak tersinggung seperti dulu. Sekarang dia sudah terbiasa menerima kenyataan. Delta mengikuti Dreval sampai ke kamarnya. Dia hanya berdiri di ambang pintu dan memantau Dreval yang sedang membuka laci nomor tiga lalu mengeluarkan sebuah ponsel berwarna biru tua.
Itu ponsel Delta yang tidak pernah dipakai sang pemilik.
Dreval duduk di kursi belajar, lalu mengangkat ponsel itu. "Apa nih?"
"Cek pesan dari Kai dan add kontak Resya sama Julian."
Dreval mengikuti intruksi Delta lalu bersuara, "Terus?"
"Lo hubungi mereka dan tanya bisa nggak gue ketemu sama mereka besok."
Dreval mencebikkan bibir dan mengetik pesan pada kedua nomor yang dituju. "Mereka siapa, sih?" tanyanya disela kegiatan. Tidak mendapat respons, Dreval melirik Delta dan kakaknya itu tetap membisu seperti biasa.
Dreval mengangguk. "Udah beres."
"Satu jam lagi lo cek balasan dari mereka."
"Oke."
Dreval berdiri dan menyimpan ponsel Delta di atas meja. Dia melewati Delta, lalu tepat saat berdri di sampingnya, dia mengulurkan tangan secara tiba tiba sambil berteriak, "Ponsel lo meledak!"
Delta terbeliak dan otomatis melompat mundur. Tangannya menutup kepala. Dreval yang melihat aksi itu tertawa lepas. "Satu sama," katanya kemudian lari ke lantai bawah. Mencari perlindungan pada ibunya. Delta menenangkan deru napasnya yang sempat terpancing. Dia mengumpat. Sialan. Ketidaknormalan ini harus enyah.
***