Lika menatap pantulan wajahnya di cermin dan tersenyum puas. Wajah yang biasanya malas tersentuh make up itu kini ditaburi riasan. Mulai dari alis yang digosok dengan pensil alis, wajah yang ditaburi pelembap dan bedak, bulu mata yang ditebali dengan maskara, eyeliner di bawah mata, lalu sentuhan terakhir lip tint pink of point.
Selesai.
Cewek itu menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, tersenyum lebar. Yang ada di depan cermin adalah versi terbaik dari dirinya. Dengan baju terusan berwarna biru dan rambut panjang yang digerai ke belakang.
Setelah puas memandangi diri sendiri, Lika meraih ponsel di atas meja belajar dan senyumnya luntur saat melihat pesan dari seseorang. Bukan Arik, melainkan orang yang sangat ingin dihindarinya: Delta.
Delta:
Gue mau ketemu sama Resya dan Julian. Lo harus temani gue. Mereka bisa kasih info soal pencuri ponsel lo.
Kedua bola mata Lika berputar sinis. Dia melirik jam di bagian atas ponselnya. 16:10. Ini sudah saatnya bertemu Arik. Mereka janjian jam 16: 30 di depan rumah, berniat menonton film “Dua Garis Biru” di bioskop. Delta tidak bisa seenaknya menyuruh Lika menemaninya begitu saja, apalagi dengan sangat mendadak.
Lika memutuskan untuk mengabaikan pesan itu dan membuka pesan dari Arik yang datang sebelum pesan Delta. Cowok itu bilang, dia sedang dalam perjalanan. Lika tersenyum senang lalu meraih tas jinjing kecil dari atas ranjang. Sekilas menatap ke arah cermin, memastikan dirinya terlihat luar biasa cantik, dan berjalan keluar kamar. Dia akan menunggu Arik di teras rumah, seperti biasa.
Lika tidak berpamitan pada orang tuanya karena mereka masih di kantor, belum pulang. Biasanya pukul lima sore mereka baru berada di rumah. Cewek itu mengunci rumah dan menyimpan kunci ke dalam tas.
Dua menit menunggu di teras rumah, suara motor terdengar mendekat lalu muncul di depan pagar. Lika berdiri dengan senyum lebar. Dia berjalan dan tiba-tiba berhenti saat tidak mengenali sosok itu sebagai Arik. Si pengemudi motor membuka helm, dan wajah familier yang menyebalkan muncul.
Delta.
Cowok itu menoleh dengan ekspresi dingin khas miliknya, tidak tersenyum sama sekali untuk berbasa-basi. Lika mengatur napasnya yang berubah pendek dan mencoba mengendalikan emosi beserta pikiran. Setelah mampu mengendalikan diri, dia berjalan mendekati Delta.
"Ngapain di sini?" tanyanya tanpa tedeng aling-aling.
Satu alis Delta terangkat. "Lo nggak baca pesan gue?"
"Baca."
"Berarti lo tahu kenapa gue ada di sini."
"Tapi gue belum balas bersedia atau enggak buat temani lo ketemu Resya dan Julian."
Pandangan Delta terarah penuh cemooh. "Gue nggak bertanya lo bersedia atau enggak. Gue nyuruh lo temani gue. Ini sesuai sama kesepakatan kita."
Lika diserang rasa jengkel. Delta tampak menyebalkan dengan sorot mata masa bodoh. Tubuh tinggi dan tegap terasa cocok dengan aura suram yang selalu mengelilinginya. Ditambah bibir menukik murung yang terlihat kontras dengan hidung mancungnya. Delta jelas-jelas adalah orang yang harus dihindari siapa pun jika ingin kehidupan sekolahnya tetap normal. "Gue nggak bisa. Gue ada janji," tolak Lika dengan tegas.
Delta menatapnya dari atas sampai bawah. "Nggak heran. Lo lumayan cantik sore ini."
Itu pujian sambil lalu yang terkesan masa bodoh, tetapi membuat leher Lika memanas dan berakhir dengan pipi memerah. Cepat-cepat dia mengendalikan diri. Satu pujian tidak harus membuatnya goyah.
Delta mengangkat kedua bahunya cuek. "Kayaknya, lo harus batalin janji kecan lo."
"Atas dasar apa?" tantang Lika. "Lo nggak berhak..." ucapannya mengambang di udara. Dia teringat ucapan si pelaku pencuri ponsel.
“Kalau gue tertangkap, rahasia lo juga akan terungkap.”
Lika menelan saliva dengan kedua tangan terkepal. Cewek itu menatap jengkel ke arah Delta yang sedang mengangkat satu alis, menunggu ucapan Lika yang sempat terpotong.
Kepala Lika dipenuhi satu pertanyaan. Bagaimana kalau informasi yang akan didapat Delta dari Resya dan Julian akan membuat si pelaku sebenarnya terungkap?
Jika itu benar, maka Lika harus secepatnya membelokan kecurigaan mereka pada si pelaku agar dia tidak tertangkap. Kalau titik terang sampai ditemukan, maka kehidupan SMA-nya akan hancur.
Atas alasan itu, dia harus menemani Delta bertemu Resya dan Julian agar tahu harus bertindak bagaimana. Namun, bagaimana dengan Arik dan kencan mereka yang sudah Lika tunggu-tunggu sejak dua hari yang lalu?
Cewek itu mengerang pelan tepat saat satu pesan masuk ke ponselnya. Delta dengan sabar menunggu jawabannya tanpa banyak bicara.
Lika membuka pesan dari Arik.
Arik:
Lika, sori. Motor gue bermasalah. Ini lagi nyari bengkel yang dekat. Kayaknya gue bakal telat.
Spontan, Lika meremas ponsel. Pesan ini seolah mendukungnya untuk menemani Delta. Dengan berat hati, dia mengesampingkan kesenangannya sendiri dan mengetik balasan pada Arik.
Lika:
Masalah motor lo parah banget, ya? Kalau ga bisa datang gak apa-apa. Kita bisa nonton lain waktu.
Secepat kilat, balasan dari Arik muncul.
Arik:
Sori, ya. Kita nontonnya besok?
Lika menghela napas muram dan mengirim balasan.
Lika:
Oke.
Cewek itu mengalihkan pandangan pada Delta. Ancaman si pelaku dan kondisi Arik membuatnya terpaksa memutuskan satu pilihan sesuai keadaan. "Oke. Gue bakal temani lo."
Delta tersenyum puas. "Bagus. Lo bikin keputusan yang benar."
Semoga saja, pikir Lika. Cewek itu membenarkan tas selempang dan bersiap-siap menaiki motor Delta. Namun, sebelum sempat duduk di jok belakang, Delta menahannya.
"Tunggu." Cowok itu nyaris memekik. Ekspresinya sekilas terlihat ngeri tetapi hilang di detik berikutnya. "Lo mau nebeng?"
"Iya lah. Jok belakang motor lo kosong," sewot Lika hampir histeris. Gabungan antara rasa marah dan pengendalian diri. "Nggak mungkin gue berangkat sendiri ke sana sementara gue nggak tahu kalian bakal ketemu di mana!"
Delta tidak ambil pusing dengan nada tajam Lika dan mengibaskan tangan sambil lalu. "Matiin dulu HP lo!"
Sebenarnya, Delta selalu menghindari ditebengi seseorang karena mungkin saja temannya itu membawa ponsel. Namun, jika ponsel itu dimatikan, dia merasa lumayan aman meski tetap sedikit resah.
Ponsel yang mati lebih baik daripada ponsel yang hidup.
Kedua alis Lika terangkat. "Hah?"
"Kalau lo mau nebeng, matiin dulu HP lo."
Lika menyipitkan mata. Curiga. Itu perintah konyol dalam kondisi seperti ini. "Kenapa?"
"Mungkin aja HP lo bereaksi dengan sesuatu di permukaan bumi dan meledak," jelas Delta sambil lalu, seolah kekhawatirannya itu tidak berarti.
Sejak tahu dia tidak normal, Delta sudah terbiasa mengolah ekspresi. Dia sering menampilkan mimik muka yang bertolak belakang dengan yang dirasakannya. Seperti barusan. Delta serius dengan ucapannya tetapi sengaja dibuat terkesan sedang bercanda.
Sumpah, kalau saat ini Delta sedang bercanda, itu garing banget! sungut Lika dalam hati.
"Konyol," komentar Lika. "Bercanda lo nggak lucu."
Meski begitu, dia tetap menuruti perintah Delta untuk mematikan ponselnya. Selama gerakan itu, Delta mengawasi dengan saksama.
"Udah. Puas?"
Delta mengangguk. "Naik. HP lo simpan di tas. Jangan sampai jatuh."
Lika terngaga. "Lo takut HP, ya? Over banget sih cuma masalah HP aja."
Delta menggeleng dengan ekspresi masa bodoh yang terjaga. Cowok itu menyerahkan helm pada Lika. "Gue khawatir HP lo jatuh."
Lika mendelik. "Lo baik banget," cibirnya sambil meraih helm, memakainya, lalu menaiki motor.
Delta menyalakan motor dan membawa mereka melaju di jalanan yang ramai.
"Kita bakal ketemu mereka di mana?" tanya Lika di tengah perjalanan.
Delta tampak berpikir. Menurut informasi dari Dreval, Julian dan Resya mengajak bertemu di Summer, kafe mungil dekat sekolah tepat pukul 16: 40.
"Di kafe Summer."
"Apa informasi yang bakal mereka kasih?" Itu yang ingin Lika tahu dan harus diketahui. Dia harus tahu sejauh mata Delta mengetahui informasi dari Resya dan Julian.
"Orang yang pernah mereka curigai sebagai si pencuri."
Lika mengernyitkan dahi. "Apa dia anggota komplotan Thi?"
Delta mengangkat bahu. "Kayaknya."
Lika tidak tahu apakah si pencuri ponselnya adalah anggota Thi atau bukan. Dia akan segera tahu jika mendengar penuturan Resya dan Julian.
Ah, menemani Delta mungkin bukan sesuatu yang menjengkelkan. Bisa jadi malah menguntungkan.
Lika mengangguk samar dan percakapan mereka terputus. Dia berharap, informasi Julian dan Resya tidak mengarah pada pencuri ponsel sebenarnya.
***