Esoknya, Alen terbangun lemas. Ia meringkuk di lantai, tertidur selama berjam-jam sepanjang malam di antara ubin yang dingin. Alen melihat tangannya, lalu menemukan kobaran api muncul dari telapak tangan yang ia tengadahkan. Perlahan-lahan udara di sekitarnya menghangat. Api merah yang keluar dari tangannya menyala-nyala cantik, menimbulkan pantulan galaksi merah di mata Alen.
Ting.
Suara denting ponsel membuat si api ketakutan dan padam dalam sekali kerjapan. Alen mengembuskan napas melihat api khayalannya menghilang. Gadis itu lalu memegangi dahinya dan tersenyum pahit.
Lihat? Setiap kali ada sesuatu antara ia dan Renata, khayalannya akan muncul dan terasa begitu nyata. Menyebabkan Alen tampak seperti gadis gila. Bukankah ini sama artinya dengan Renata, sedikit demi sedikit mendorong Alen kehilangan kewarasannya? Perlakuan Renata secara tidak langsung menyakiti Alen, tapi meski Alen berusaha memperbaikinya tidak ada yang berubah. Renata tetap tidak menyadari bahwa sesuatu yang salah terjadi dalam diri putrinya.
Alen mengerang pelan. Tubuhnya terasa kaku akibat terlalu lama meringkuk di lantai kamar. Tangan Alen menggapai meja rias. Gadis itu terpekur selama beberapa saat ketika melihat pecahan kaca bertaburan di meja riasnya. Lalu terlintas di benaknya,
Bahkan aku nggak keluar kamar semalaman pun Mama nggak peduli. Aku pecahin kaca rias pun Mama nggak peduli.
Alen tersenyum pahit lagi. Gadis itu lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di antara pecahan kaca. Ia membuka kotak pesan. Detik berikutnya gadis itu bersyukur dalam hati. Ia menemukan pesan dari Galen.
Syukurlah pemuda itu menghubunginya. Alen memang butuh seseorang untuk diajak bicara agar perhatiannya teralih.
[Hari ini ada waktu? Kalau ada waktu, saya tunggu di halte bus.]
#
Galen baru datang sepuluh menit kemudian. Alen melambaikan tangannya begitu melihat motor Galen melaju lambat ke arahnya. Akhir-akhir ini Alen memang merasa ia lebih dekat dan lebih nyaman dengan Galen. Persepsinya soal psikopat serta pembunuh bayaran sudah lenyap sejak Galen mengatakan bahwa ia mengenal Alen ‘karena Alen terkenal sebagai gadis gila.’ Alen sendiri tak menyangka kalau anggapan gila yang diterapkan padanya akan membawanya bertemu dengan pemuda yang ya… cukup baik seperti Galen.
Memang terdengar agak tidak masuk akal kalau Galen mengenal Alen karena ketenaran gadis itu sebagai gadis gila, tapi Alen percaya saja. Toh, ia memang sudah terkenal gila disekolahnya. Semua orang tahu ia suka bicara di kamar mandi sekolah atau bicara dengan buku, jadi tidak menutup kemungkinan kalau sekolah tetangga juga tahu tentang dirinya. Bagaimana pun mulut manusia adalah media yang paling cepat dalam urusan mentransfer informasi. Bisa lebih cepat dari internet yang kadang terganggu koneksi.
“Ada apa?” Alen langsung bertanya. Sementara itu Galen mengernyitkan dahinya.
“Ada apa apanya?”
“Ada apa mengajak bertemu?”
“Tidak ada apa-apa. Memangnya harus ada apa-apa kalau saya ingin bertemu kamu?”
Alen berdecih. “Saya pikir ada yang penting.”
“Ya… memang lumayan penting, sih.”
Sebelah alis Alen terangkat. “Tadi kamu bilang tidak ada apa-apa.”
“Memang tidak ada apa-apa, tapi bertemu dengan kamu itu penting.” Ucap Galen santai. Pemuda itu tersenyum seperti biasa. Menawan.
Alen berdecih pelan. Ia bertingkah sebal, sementara dalam hatinya sesuatu yang aneh menaburkan bibit bunga dan menerbangkan ratusan kupu-kupu ke dada.
“Naiklah.” Perintah Galen. Alen menurut. Gadis itu naik, kemudian motor melaju, menembus jalan Jakarta yang macet dan semakin panas di jam-jam menuju siang.
“Kamu selalu menyelamatkan saya setiap kali saya hampir berkhayal.” Alen tertegun sebentar setelah ia berkata. “Maksud saya, kamu selalu menghubungi saya di waktu yang tepat.” Ralatnya.
“Berarti saya melakukan tugas saya dengan baik.”
Alen mengernyit. Lagi. “Tugas? Tugas apa?”
“Tugas menjaga kamu?” gumam Galen. Jawabanya lebih terdengar seperti pertanyaan.
Motor berhenti di tempat yang sama saat ia dan Galen safapan bersama kapan hari. Sebuah taman di pinggir jalan dengan beberapa bench dan tanpa penghias lainnya. Alen mengekor di belakang Galen. Gadis itu duduk setelah Galen duduk.
“Kalau boleh tahu, Alen, sebenarnya kenapa kamu suka berkhayal? Maksud saya, saya juga sering berkhayal , tapi tidak sampai berbicara sendiri apalai bertingkah.” Galen bertanya was-was. Mungkin pemuda itu sudah penasaran sejak awal, hanya saja baru hari ini ia bisa bertanya. Galen tipikal pemuda yang memiliki keingintahuan besar, tapi juga memiliki pengendalian diri yang baik sehingga tidak pernah sekoyong-konyong menyeletuk menanyakan apa yang ada di pikirannya.
“Nurseu bilang kemungkinan saya mengidap MDD." Alen menjawab lirih.
“Nurseu? MDD?”
“Nurseu teman saya di sekolah. Dan MDD… bukan penyakit mental, hanya saja membuat saya terlihat seperti memiliki penyakit mental.” Jelas Alen muram. Gadis itu melanjutkan,
“Katanya, MDD disebabkan trauma psikis. Nurseu bilang mungkin saya sering merasa tersakiti secara mental, dan untuk menghindari sesuatu merusak kesehatan mental, saya menciptakan dunia saya sendiri. Dunia khayalan. Saya juga pernah membaca artikel tentang MDD, dan memang sama seperti yang dijelaskan Nurseu.”
“Apa yang membuat kamu begitu? Maksud saya, apa yang membuat kamu berpikir bahwa sesuatu berpotensi merusak kesehatan mental kamu?”
“Banyak. Kehidupan saya semakin hari semakin tidak jelas. Saya tidak punya teman, dijauhi, dianggap gila. Bahkan tersisihkan di rumah.” Alen menarik bibirnya kecut. “Tapi baru-baru ini saya sadar kalau pemicu utamanya… Mama.”
“Mamamu? Ayola Alen, dia ibumu. Di mana-mana sosok ibu selalu jadi sosok yang hangat dan penuh hal-hal baik. Kamu tahu pepatah surga di telapak kaki ibu? Kamu—”
“Kamu nggak mengerti.” Alen memotong dengan cepat.
“Pernah merasa dinomor duakan? Tersisihkan? Keluargamu pincang? Ayah dan ibumu bercerai? Apa kamu punya kakak yang membuatmu tampak payah? Punya ibu yang memandang kamu sebelah mata? Kamu nggak punya, makanya kamu nggak akan pernah mengerti, Galen.” Alen menukas, mulai frustrasi. Sementara Alen mengembuskan napas lelah, di sampingnya Galen duduk bersadar. Pemuda itu menatap lurus ke depan, menerawang, entah sedang memikirkan kata-kata Alen, atau memikirkan apa.
“Maaf kalau begitu, Alen.” Galen bergumam beberapa saat kemudian.
Alen menggeleng. “Lupakan saja.” Gadis itu mengembuskan napas lagi, kali ini lebih keras.
“Kamu menghubungi saya cuma untuk menanyakan itu?”
Sekarang giliran Galen yang menggeleng. “Tidak.”
“Terus?”
“Saya buat roti lapis lagi. Terakhir kali kamu makan lahap, jadi saya buatkan lagi untuk kamu.” Galen merogoh tas yang sedari tadi ia tindih dengan punggungnya. Kotak bekal yang sama seperti terakhir kali, muncul. Alen menerima kotak bekal itu, membukanya, dan menemukan dua potong roti lapis berisi bacon, selada, dan keju. Persis dengan roti lapis pemberian Galen kapan hari.
“Kalau begitu terima kasih.” Alen menyungging senyum tipis. Ia melahap roti lapisnya dengan perasaan yang berangsur-angsur membaik. Bertemu secara rutin dengan Galen ternyata lumayan meringankan beban.
Pemuda itu punya gaya bicara yang menarik dan wajah yang selalu tenang. Ekspresinya tidak pernah berlebihan sehingga Alen tidak takut kalau tanpa sengaja ia mengatakan atau melakukan sesuatu yang salah apalagi memalukan.
“Saya hampir berkhayal lagi saat kamu mengirim pesan.” Alen menukas di sela-sela kunyahannya. “Sudah dua kali kamu membuyarkan khayalan saya. Pertama saat kamu menghubungi saya di hari pemotretan Alice, kedua, hari ini.”
“Apa saya membantu?”
“Kamu sangat membantu, Galen.” Alen menjawab cepat. “Saya rasa, kamu bisa mengalihkan saya dari dunia khayalan.” tambahnya, sangat pelan.
Entah Galen mendengar ucapan terakhir Alen atau tidak. Yang jelas pemuda itu hanya melakukan kebiasannya : tersenyum.
Alen menghabiskan roti lapis pertamanya. Gadis itu menggoyang-goyangkan kaki, mendadak merasa senang hanya karena sepotong roti lapis yang enak sudah masuk ke lambungnya. Saat Alen melahap roti lapis keduanya, seorang wanita tiba-tiba muncul dan menepuk bahu Alen.
“Alen, sedang apa di sini?”
Perlu beberapa detik bagi Alen untuk mengenali wanita itu. Alen mengerutkan alis, kemudian membuka mulut, mengatakan ‘ah’ tanpa suara sesaat setelah otaknya mengenali wanita itu.
“Cuma sedang mengobrol dengan teman, Tante.” Alen menunjuk Galen yang menganggukkan kepala ramah.
“Oh… oh, begitu.” wanita itu mengangguk-angguk tak jelas. Dia tetangga sebelah Alen. Kadang Alen bertemu dengan wanita itu di bus, kadang juga di jalan. Dia wanita yang baik. Sering menyapa Alen duluan.
Anehnya hari ini wanita itu bertingkah ganjil. Wajahnya yang selalu ramah sekarang dihiasi bias pucat. Gerak-geriknya kaku, seperti sedang ketakutan. Cara bicaranya juga agak terbata. Alen tak tahu kenapa. Mungkin sedang sakit?
“Kalau begitu Tante duluan, ya?”
“Iya.”
Wanita itu melangkah cepat. Alen memandangi punnggung tetangganya dengan kepala bertanya-tanya. Ada yang aneh. Tapi sudahlah. Peduli urusan orang lain sama sekali bukan gayanya
Zona Elegi
298
193
0
Inspirational
Tertimpa rumor tak sedap soal pekerjaannya, Hans terpaksa berhenti mengabadikan momen-momen pernikahan dan banting setir jadi fotografer di rumah duka. Hans kemudian berjumpa dengan Ellie, gadis yang menurutnya menyebalkan dan super idealis. Janji pada sang nenek mengantar Ellie menekuni pekerjaan sebagai perias jenazah, profesi yang ditakuti banyak orang.
Sama-sama bekerja di rumah duka, Hans...
Weak
201
160
1
Romance
Entah sejak kapan, hal seromantis apapun kadang terasa hambar.
Perasaan berdebar yang kurasakan saat pertama kali Dio menggenggam tanganku perlahan berkurang.
Aku tidak tahu letak masalahnya, tapi semua hanya tidak sama lagi.
Kalau pada akhirnya orang-orang berusaha untuk membuatku menjauh darinya, apa yang harus kulakukan?
Hujan Paling Jujur di Matamu
5403
1482
1
Romance
Rumah tangga Yudis dan Ratri diguncang prahara. Ternyata Ratri sudah hamil tiga bulan lebih. Padahal usia pernikahan mereka baru satu bulan. Yudis tak mampu berbuat apa-apa, dia takut jika ibunya tahu, penyakit jantungnya kambuh dan akan menjadi masalah.
Meski pernikahan itu sebuah perjodohan, Ratri berusaha menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik dan tulus mencintai Yudis. Namun, Yudis...
Sebelas Desember
3213
1015
3
Inspirational
Launa, gadis remaja yang selalu berada di bawah bayang-bayang saudari kembarnya, Laura, harus berjuang agar saudari kembarnya itu tidak mengikuti jejak teman-temannya setelah kecelakaan tragis di tanggal sebelas desember; pergi satu persatu.
ARSELA: Perjodohan si Syar'i dan Ketua Geng Motor
103
96
3
Romance
Memiliki hutang budi dengan keluarga Dharmendra, Eira mau tidak mau menyetujui perjodohan dengan putra sulung keluarga itu, Arsel, seorang ketua geng motor tersohor di kampusnya.
My Dangerious Darling
2855
1197
2
Mystery
Vicky, mahasiswa jurusan Tata Rias yang cantik hingga sering dirumorkan sebagai lelaki gay bertemu dengan Reval, cowok sadis dan misterius yang tengah membantai korbannya! Hal itu membuat Vicky ingin kabur daripada jadi sasaran selanjutnya. Sialnya, Ariel, temannya saat OSPEK malah memperkenalkannya pada cowok itu dan membuat grup chat "Jomblo Mania" dengan mereka bertiga sebagai anggotanya. Vick...
Ada Cinta Dalam Sepotong Kue
4855
1589
1
Inspirational
Ada begitu banyak hal yang seharusnya tidak terjadi kalau saja Nana tidak membuka kotak pandora sialan itu. Mungkin dia akan terus hidup bahagia berdua saja dengan Bundanya tercinta. Mungkin dia akan bekerja di toko roti impian bersama chef pastri idolanya. Dan mungkin, dia akan berakhir di pelaminan dengan pujaan yang diam-diam dia kagumi? Semua hanya mungkin!
Masalahnya, semua sudah terlamba...
Perhaps It Never Will
3819
1312
0
Romance
Hayley Lexington, aktor cantik yang karirnya sedang melejit, terpaksa harus mengasingkan diri ke pedesaan Inggris yang jauh dari hiruk pikuk kota New York karena skandal yang dibuat oleh mantan pacarnya. Demi terhindar dari pertanyaan-pertanyaan menyakitkan publik dan masa depan karirnya, ia rela membuat dirinya sendiri tak terlihat.
William Morrison sama sekali tidak pernah berniat untuk kem...
After Feeling
4241
1530
1
Romance
Kanaya stres berat. Kehidupannya kacau gara-gara utang mantan ayah tirinya dan pinjaman online. Suatu malam, dia memutuskan untuk bunuh diri. Uang yang baru saja ia pinjam malah lenyap karena sebuah aplikasi penipuan. Saat dia sibuk berkutat dengan pikirannya, seorang pemuda misterius, Vincent Agnito tiba-tiba muncul, terlebih dia menggenggam sebilah pisau di tangannya lalu berkata ingin membunuh...