UKS sekolah tampak sepi, sementara di luar siswa-siswi lalu lalang memenuhi selasar. Jam istirahat memang begitu. Anak-anak yang awalnya sakit akan terperanjat dari ranjang dan berlari keluar begitu bel berbunyi. Lain halnya dengan Alen. Ia tidak punya spot atau makanan favorit di kantin, jadi setiap istirahat tempat yang Alen tuju hanya UKS.
UKS yang selalu dipenuhi bau alkohol dan juga teh manis bagi Alen adalah ruangan teraman, ternyaman. Tempat ia bisa terhindar dari bisikan gosip teman-temannya. Pernah sekali, Alen mencoba pergi ke kantin. Waktu itu perutnya benar-benar lapar. Alen berdiri sebentar, beberapa meter dari area kantin. Gadis itu memiliah, makanan mana yang sebaiknya ia pesan. Belum sampai pada keputusan tentang pesanannya, Alen sudah mendengar hal-hal yang membuatnya kehilangan selera makan.
“Lo kenal Alena Marisa?”
“Itu temen sekelas gue.”
“Dia beneran gila?”
“Sumpah deh, takut banget. Tadi aja gue lihat dia ngomong sendiri di kelas. Dia ngomong sama buku IPA dong.”
“Kok bisa sih dia masih sekolah? Sekolah kita bukan tempat buat orang gila, ya, nggak?”
“Gak taulah. Mungkin orang tuanya nyogok. Malulah, kakaknya Alena itu, si Alice, model. Makanya keluarganya berusaha tetep mertahanin si Alen buat sekolah supaya orang lain mikirnya si Alen masih normal.”
Entah dua orang itu tidak melihat Alen, atau mereka melihat Alen tapi sengaja tetap melanjutkan percakapan mereka. Sebelumnya, hari itu Alen memang sempat tenggelam lagi dengan khayalannya. Ia melihat gambar anatomi tubuh manusia di buku IPA-nya, lalu muncullah sketsa cerita tentang seorang dokter yang membedah mayat tanpa keluarga untuk sebuah penelitian. Alen sebagai dokter dalam bayangannya. Ia lepas kendali dan menatapi buku IPA itu sambil terus membacakan skrip tokoh dokter yang ada di otaknya.
Terkadang, menghadapi orang lain memang membingungkan. Mereka bersenang-senang dengan cara yang aneh : dengan membicarakan orang lain, salah satunya. Padahal mereka tahu, hanya mereka yang bersenang-senang dengan obrolan itu, tapi tidak dengan orang yang dibicarakan. Pun dengan Alen. Apalagi lepas dari kendali akan khayalannya bukanlah sesuatu yang Alen rencanakan. Sejak itu Alen benar-benar benci kantin dan jam istirahat.
Alen melongokkan kepalanya ke ruangan UKS. Ia menemukan Nurseu sedang mengerjakan sesuatu di laptopnya.
“Nurseu.”
Nurseu menoleh. Ia menggeleng-geleng sebentar ketika menemukan Alen melangkah masuk.
“Kamu bukan pasien rawat jalan, kenapa selalu datang setiap hari?”
Alen memberengut. Ia duduk di ranjang berseprai putih, membiarkan kakinya menggantung.
“Saya nggak punya tempat lain yang bisa saya tuju.”
Nurseu sudah mendengar alasan Alen ribuan kali, jadi perempuan itu tidak bicara banyak. Ia melanjutkan mengerjakan sesuatu di laptopnya.
“Nurseu, sepertinya saya sudah tahu apa yang memancing khayalan saya.” Alen berkata. Gadis itu merebahkan tubuhnya di ranjang, menatap ke langit-langit persegi yang putih. Yang selalu ia tatap setiap kali mengunjungi UKS.
“Apa?” Nurseu tampak tertarik. Ia mengalihkan tatapan dari layar laptop pada Alen.”
“Mama.”
Lama hening.
Alen memutar kilas balik memori-memori yang menurutnya cukup menyakitkan seperti saat Renata melupakan hari ulang tahunnya, saat Renata tidak peduli dengan sakitnya, juga saat Renata memintanya membeli obat. Ada juga ingatan lain yang sama-sama cukup menyakitkan dan tidak begitu mudah dilupakan.
“Mamamu? Nggak salah?”
Alen menggeleng gamang. “Saya juga awalnya berpikir, tidak masuk akal kalau Mama yang menyebabkan saya lepas kendali dan tenggelam dalam khayalan saya.” Ucap Alen lirih. Ia menjeda kalimatnya sejenak sebelum melanjutkan, “Tapi kamu bilang MDD seperti yang saya idap itu disebabkan oleh tekanan, kan? Saya melarikan diri dari lingkungan yang berpotensi menyakiti mental saya. Dan Mama adalah salah satu yang lumayan berpotesi menyakiti saya.”
“Dia orang tuamu, Alen.”
“Iya. saya tahu. Tapi kamu nggak ngerti Nurseu. Dia memperlakukan saya berbeda. Dia cuma peduli Alice.” Kalimat Alen tak terbantahkan.
“Kalau kamu memang yakin Mamamu penyebabnya, coba kamu bicara dengannya. Kamu jelaskan apa yang selama ini kamu alami. Jelaskan juga soal MDD yang pernah saya beri tahu. Kamu ceritakan apa yang sebenarnya kamu ingin dari Mamamu.”
Alen terpekur. Apa mungkin berdiskusi dengan Renata?
“Bagaimana pun dia ibumu. Sekali pun kamu beranggapan dia memperlakukan kamu dengan berbeda atau bahkan yang terburuk kamu berpikir dia tidak peduli padamu, tapi dia ibumu.” Nurseu menyambung setelah beberapa detik. “Ibu itu punya hati yang paling peka. Dia pasti punya alasan. Dengan mengobrol, kamu bisa tahu apa yang membuat Mamamu terkesan lebih peduli pada Alice. Barang kali ada salah paham di antara kalian, kan?”
“Apa mungkin begitu?”
“Mungkin saja. Makanya, kamu mengobrol dengan Mamamu. Kamu nggak akan tahu sampai kamu bertanya, Alen.”
#
Sebelumnya, Alen tidak pernah bicara serius dengan Renata. Ini karena Renata cenderung mengambil keputusan sendiri. Saat bercerai pun, Renata tidak memberi tahu Alen atau Alice dan mengambil keputusan sendiri sebelum akhirnya di hari persidangan ia memberitahu Alen dan Alice.
Alen sudah memikirkan matang-matang apa yang akan ia dapatkan dengan berbicara empat mata bersama Renata. Seperti yang Nurseu katakan, barang kali ada kesalahpahaman antara Alen dan ibunya. Alen selama ini terlalu pesimis dan berhipotesis bahwa Renata tidak menyayanginya seperti ia menyayangi Alice. Siapa tahu, setelah semua obrolan ini, Alen akan mengerti apa yang sebenarnya terjadi, dan yang paling penting, barangkali kebiasaan mengkhayalnya akan lenyap. Alen tidak akan dicap gadis gila. Tidak juga dijauhi teman-temannya. Membayangkannya saja sudah cukup membahagiakan untuk Alen.
Setelah menguatkan diri, Alen keluar dari kamarnya. Butuh persiapan yang kuat untuk bisa mengobol dengan Renata. Semua orang tahu, mengobrol serius dengan orang tua bukanlah hal mudah. Apalagi kalau menyangkut perasaan. Kadang rasa malu mendominasi.
Alen mengintip ke dapur. Renata ada di sana, sedang mencuci piring. Beberapa kali Renata terlihat mengerling jam di dinding. Gerak-geriknya tampak tidak nyaman.
“Ma.” Alen memberanikan diri bersuara, menghampiri ibunya dan berdiri di samping. Alen tak yakin apa ia bisa bercerita soal khayalannya pada Renata. Sedikit banyak Alen merasa takut. Alen takut sekali Renata akan memotong ceritanya dan langsung memutuskan bahwa kebiasaan berkhayal itu adalah tanda pasti bahwa Alen gila. Alen takut Renata tidak percaya soal MDD dan pemicunya.
“Ya?”
Tapi lagi-lagi seperti yang Nurseu bilang. Bisa jadi ada kesalahpahaman yang menyebabkan Alen merasa Renata menyisihkannya. Bisa jadi Renata juga sangat menyayangi Alen seperti ia menyayangi Alice.
“Ada yang mau aku omongin.”
“Apa?”
Alen mengerling piring-piring yang baru saja selesai Renata bilas. Gadis itu berinisiatif mengambil lap, lalu mengelap satu per satu piring selagi otaknya bekerja menyusun penjelasan dan kalimat-kalimat yang harus ia sampaikan pada Renata.
“Ini tentang aku.”
“Kamu?”
Alen mengagguk.
“Kenapa?”
“Akhir-akhir ini—ah, udah lama sih, aku sering ngelamun.” Ucap Alen lirih. Ia mengelap piring, menunduk mengindari tatapan Renata.
“Tunggu dulu.” Renata menutup kran air, lalu merogoh saku apronnya. Dikeluarkannya ponsel dari sana, lalu ia tampak mengetik sesuatu. Cukup panjang dan lama sampai Alen mendongak.
“Mama lagi sibuk? Kalau Mama sibuk, biar nanti aja. Aku pengen ngobrol serius soalnya.”
Renata masih mengetik sesuatu ketika ia menjawab, “Nggak. Ini cuma Alice. Dia belum pulang, udah jam segini. Mama udah coba hubungi dia, tapi nggak dijawab. Chat juga nggak dibales.”
Renata akhirnya meletakan kembali ponselnya ke dalam saku apron, kemudian menyalakan keran lagi.
“Coba kamu deh yang hubungi Alice. Tanya dia di mana. Kok belum pulang.” Ucap Renata sejurus kemudian. Di sampingnya, Alen berdiri termenung.
“Coba hubungi sekarang. Ambil dulu hpmu."
Gadis itu sudah berhenti mengelap piring. Ia meletakan piring dan lap. Penjelasan dan kalimat-kalimat di otaknya menguap menjadi ribuan jarum tak kasat mata yang menguhjam jantungnya. Sesuatu yang menyakitkan menggerogoti dada Alen. Seperti ada yang terluka di dalam sana. Sangat sakit.
“Kenapa diam aja? Sana ambil dulu hpmu.”
Seperti perintah Renata, Alen berlalu. Ia kembali ke kamarnya, tapi bukan untuk mengambil ponsel. Gadis itu mengunci pintu kamar. Detik berikutnya, tangannya saling meremas. Rasa sakit di dadanya semakin menjadi-jadi.
Suara Renata diputar ulang dalam benaknya. Terdengar memuakan dan menjengkelkan. Bahkan di saat Alen sudah mantap untuk memperbaiki keadaan, Renata tidak menaruh perhatian sedikit pun. Perhatiannya terus tertuju pada Alice. Seolah-olah Alen tidak layak di dengarkan.
“Alice bukan anak kecil. Dia cukup dewasa untuk pulang malam.” Gumam Alen rendah. Ia mendapati suaranya lain dari biasanya. Dingin.
Sekarang sepertinya tidak perlu lagi klarifikasi. Alen yakin ini bukanlah sebuah kesalahpahaman. Berapa kali ia harus membuktikan bahwa Renata memang lebih menyayangi Alice dari pada dirinya? Kalau Renata memang menyayangi Alen, ia akan menaruh perhatian setelah Alen bersikap serius tadi. Ia akan mendengarkan dulu Alen, baru setelah itu ia bisa meminta bantuan Alen untuk menghubungi Alice. Tapi berkali-kali, hierarki kepentingan di mata Renata dimulai dari Alice. Alen hanya nomor dua yang tidak begitu penting sekali pun gadis itu ingin mengatakan sesuatu yang penting.
Alen memegang kepalanya yang terasa pening. Gadis itu berjongkok, lalu mulai merasakan napasnya yang memburu. Sesak di dadanya berubah menjadi rasa berang yang luar biasa hebat. Alen menjambak rambutnya sendiri dan mulai menitikan satu per satu air mata.
Gadis itu menarik rambutnya hingga beberapa helai berjatuhan. Setelah itu ia membekap mulutnya sendiri dan mulai memukuli benda-benda di sekitarnya, menendang ranjang, melempar-lemparkan selimut serta bantal dan guling.
Alen melangkah ke cermin riasnya. Ia menemukan pantulan dirinya di cermin. Tampak begitu menyedihkan dengan rambut berantakan dan wajah merah.
“Lo emang nggak disayang, jadi buat apa berusaha cari tahu?” Alen menunjuk bayangannya di cermin.
“Lo udah tahu jawabannya. DIa nggak sayang dan nggak peduli, jadi kenapa harus cari tahu?”
“Kenapa harus cari tahu?”
Alen meneriaki dirinya sendiri. Detik selanjutnya ia melemparkan barang-barang ke cermin, menimbulkan suara pecahan yang memekakan telinga. Gadis itu mulai kehilangan kendali, bahkan saat ia tidak sedang berkhayal.
Zona Elegi
298
193
0
Inspirational
Tertimpa rumor tak sedap soal pekerjaannya, Hans terpaksa berhenti mengabadikan momen-momen pernikahan dan banting setir jadi fotografer di rumah duka. Hans kemudian berjumpa dengan Ellie, gadis yang menurutnya menyebalkan dan super idealis. Janji pada sang nenek mengantar Ellie menekuni pekerjaan sebagai perias jenazah, profesi yang ditakuti banyak orang.
Sama-sama bekerja di rumah duka, Hans...
Weak
201
160
1
Romance
Entah sejak kapan, hal seromantis apapun kadang terasa hambar.
Perasaan berdebar yang kurasakan saat pertama kali Dio menggenggam tanganku perlahan berkurang.
Aku tidak tahu letak masalahnya, tapi semua hanya tidak sama lagi.
Kalau pada akhirnya orang-orang berusaha untuk membuatku menjauh darinya, apa yang harus kulakukan?
Hujan Paling Jujur di Matamu
5403
1482
1
Romance
Rumah tangga Yudis dan Ratri diguncang prahara. Ternyata Ratri sudah hamil tiga bulan lebih. Padahal usia pernikahan mereka baru satu bulan. Yudis tak mampu berbuat apa-apa, dia takut jika ibunya tahu, penyakit jantungnya kambuh dan akan menjadi masalah.
Meski pernikahan itu sebuah perjodohan, Ratri berusaha menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik dan tulus mencintai Yudis. Namun, Yudis...
Sebelas Desember
3213
1015
3
Inspirational
Launa, gadis remaja yang selalu berada di bawah bayang-bayang saudari kembarnya, Laura, harus berjuang agar saudari kembarnya itu tidak mengikuti jejak teman-temannya setelah kecelakaan tragis di tanggal sebelas desember; pergi satu persatu.
ARSELA: Perjodohan si Syar'i dan Ketua Geng Motor
103
96
3
Romance
Memiliki hutang budi dengan keluarga Dharmendra, Eira mau tidak mau menyetujui perjodohan dengan putra sulung keluarga itu, Arsel, seorang ketua geng motor tersohor di kampusnya.
My Dangerious Darling
2855
1197
2
Mystery
Vicky, mahasiswa jurusan Tata Rias yang cantik hingga sering dirumorkan sebagai lelaki gay bertemu dengan Reval, cowok sadis dan misterius yang tengah membantai korbannya! Hal itu membuat Vicky ingin kabur daripada jadi sasaran selanjutnya. Sialnya, Ariel, temannya saat OSPEK malah memperkenalkannya pada cowok itu dan membuat grup chat "Jomblo Mania" dengan mereka bertiga sebagai anggotanya. Vick...
Ada Cinta Dalam Sepotong Kue
4855
1589
1
Inspirational
Ada begitu banyak hal yang seharusnya tidak terjadi kalau saja Nana tidak membuka kotak pandora sialan itu. Mungkin dia akan terus hidup bahagia berdua saja dengan Bundanya tercinta. Mungkin dia akan bekerja di toko roti impian bersama chef pastri idolanya. Dan mungkin, dia akan berakhir di pelaminan dengan pujaan yang diam-diam dia kagumi? Semua hanya mungkin!
Masalahnya, semua sudah terlamba...
Perhaps It Never Will
3819
1312
0
Romance
Hayley Lexington, aktor cantik yang karirnya sedang melejit, terpaksa harus mengasingkan diri ke pedesaan Inggris yang jauh dari hiruk pikuk kota New York karena skandal yang dibuat oleh mantan pacarnya. Demi terhindar dari pertanyaan-pertanyaan menyakitkan publik dan masa depan karirnya, ia rela membuat dirinya sendiri tak terlihat.
William Morrison sama sekali tidak pernah berniat untuk kem...
After Feeling
4241
1530
1
Romance
Kanaya stres berat. Kehidupannya kacau gara-gara utang mantan ayah tirinya dan pinjaman online. Suatu malam, dia memutuskan untuk bunuh diri. Uang yang baru saja ia pinjam malah lenyap karena sebuah aplikasi penipuan. Saat dia sibuk berkutat dengan pikirannya, seorang pemuda misterius, Vincent Agnito tiba-tiba muncul, terlebih dia menggenggam sebilah pisau di tangannya lalu berkata ingin membunuh...