Read More >>"> Dunia Alen (Kamu Mengagumkan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dunia Alen
MENU
About Us  

Suara deru mesin menembus udara pagi yang membuat tulang rusuk terasa ngilu. Dari kejauhan, tampak sebuah motor melaju di antara beberapa motor lain. Motor itu melambat secara perlahan begitu dekat dengan destinasi tempatnya akan berhenti.
Alen mengeratkan jaket merah kesayangannya saat motor yang melambat itu berhenti di depannya. Gadis itu menunggu sampai si pengendara membuka kaca helm, baru kemudian ia tersenyum.
“Sudah menunggu lama?”
Alen melirik jam di pergelangan tangannya. “Lima menit?” katanya, terdengar seperti bertanya pada diri sendiri.
“Sudah sarapan?”
Kepala Alen dimiringkan sedikit. Biasanya Alen tidak pernah melewatkan sarapan, tapi hari ini ia tidak sempat karena Renata belum selesai memasak. Bukan karena Renata terlambat bangun. Lebih karena hari ini Alen berangkat pagi buta. Gadis itu terburu-buru meloncat dari ranjang ke kamar mandi begitu mendengar alarmnya berbunyi.
Hari ini lain dari hari biasanya. Alen tidak pergi ke sekolah dengan bus atau di antar Renata. Hari ini Alen pergi dengan Galen. Ya. Galen. Pemuda itu kemarin menelepon dan menawarkan diri untuk berangkat bersama. Seharusnya sih Alen menolak karena ia tidak pernah meminta tumpangan siapapun sebelumnya. Tapi setelah dipikir-pikir, ada baiknya berangkat bersama Galen. Alen tidak perlu berdesak-desak di bus, tidak perlu juga pergi dengan Renata yang bisa jadi secara tidak langsung melakukan hal-hal menyakitkan seperti terakhir kali. 
“Belum.” Jawab Alen akhirnya. Lama ia mendapati Galen menatapnya tanpa ekspresi. Entah kenapa.
“Ya sudah. Bagaimana kalau sarapan dulu?”
Alen ragu, tapi ia tidak bisa tidak mengangguk. Tampaknya Galen memiliki sihir ajaib yang bisa jadi selama ini telah menghipnotis Alen. Aneh rasanya, Alen menganggap Galen sebagai teman. Selama ini Alen tidak mudah terbuka pada orang-orang baru. Galen adalah yang pertama yang membuat gadis itu selalu mengatakan ‘oke’, ‘baiklah’, bahkan menuruti tawaran tak baik seperti membolos.
“Saya tahu kenapa kamu belum sarapan.” Galen menyeletuk setelah motor meninggalkan halte. Omong-omong, Galen memang meminta Alen menunggu di halte bus ketimbang menunggu di depan rumah. Alasannya sederhana saja, karena Galen tidak tahu rumah Alen. Tapi menurut Alen, pemuda itu memintanya menunggu di halte karena tidak punya keberanian untuk menjemput Alen di rumah—dan menghadapi Renata kalau-kalau Renata peduli dengan siapa Alen berangkat.
“Kenapa?” tanya Alen. 
“Karena saya minta kamu berangkat pagi-pagi sekali.” Sekilas terdengar suara kekehan Galen. 
Galen memang meminta Alen pergi pukul enam pagi. Alen sempat bertanya-tanya sebenarnya, tapi seperti biasa, ada sihir aneh yang pada akhirnya membuat Alen setuju saja berangkat pukul enam.
“Ya. Kamu benar.”
“Terus, kamu tahu kenapa saya mengajak kamu berangkat pagi-pagi sekali?”
“Kenapa?”
“Supaya bisa sarapan denganmu.” Kali ini suara kekehan Galen bukan lagi samar-samar. Pemuda itu tertawa lepas, sama sekali tidak peduli dengan Alen yang tiba-tiba saja merasa bodoh.
Jelas-jelas sejak awal semua ini direncakan. Galen sengaja mengajak Alen berangkat pagi supaya gadis itu melewatkan sarapan. Kemudian secara natural pemuda itu bertanya ‘sudah sarapan?’ dia tahu Alen akan menjawab belum, tapi masih tetap bertanya. Mestinya Alen tidak perlu meladeni pertanyaan-pertanyaan pemuda itu. Bodoh sekali.
#
“Nah.” Galen tiba-tiba menghentikan motornya. Alen melirik ke kiri dan kanan. Sama sekali tidak ada tempat makan, warung, kedai, atau tukang bubur. 
“Bukannya kita mau sarapan?” tanya Alen. Gadis itu beberapa kali memastikan bahwa tempat ia dan Galen berhenti hanyalah jalanan lengang yang sepi dan dingin. Hanya ada beberapa pohon di samping, juga beberapa bench yang berderet di trotoar. 
“Yep.”
Galen memakir motornya. Ia melangkah mantap, kemudian memeriksa satu per satu bench. 
“Yang ini kering.” Katanya, menunjuk salah satu bench yang sama sekali tidak dibasahi embun. Kemudian Galen duduk, membuka tasnya dan mengeluarkan kotak bekal berwarna abu, juga botol minum dengan warna senada. Ia melambaikan tangan pada Alen yang masih berdiri kebingungan di dekat motor.
“Sedang apa kamu? Sini.”
Alen menurut. Ia duduk di samping Galen. “Saya nggak bawa bekal.”
“Saya juga nggak.” Galen tersenyum lebar. Kelakukannya semakin hari semakin aneh.
“Itu bekalmu, kan?” Alen menggedikkan bahunya pada kotak bekal dan botol minum yang sedari tadi Galen pegang. Pemuda itu menatap ke arah yang Alen tunjuk dengan dagunya, lalu tersenyum lagi. 
Agak mengerikkan melihat Galen tersenyum setiap merespon ucapan Alen. Tapi Alen juga tak bisa menyangkal kalau senyuman pemuda itu cukup menawan.
“Bukan. Ini bukan bekal saya.” Galen berkata santai. Ia kemudian menyerahkan kotak bekal dan botol minum di tangannya pada Alen. “Ini bekalmu.”
“Tapi saya—“
“Saya tahu kamu bosan makan nasi goreng.”
Mata Alen melebar. Jantungnya berdebar cepat. Gadis itu terperanjat, berdiri secara refleks dan merasa was-was. “Bagaimana kamu tahu?"
Berbanding terbalik dengan respon Alen yang kentara sekali antara terkejut dan ketakutan, Galen justru menyandarkan bahu ke punggung kuris, terlihat sangat santai dan tenang.
“Jadi benar kamu makan nasi goreng setiap hari?”
“Galen.”
“Apa?”
“Saya serius.” Alen menekan kata-katanya. Gadis itu mendadak ingin lari sekencang-kencangnya. Ini bukan hari di mana ia akan mengetahui bahwa Galen adalah anggota sindikat pasar gelap, psikopat, atau pembunuh berantai di Jakarta yang selama ini memata-matai hidupnya, kan?
“Saya juga serius. Saya tanya, benar kamu makan nasi goreng setiap hari?”
“Iya. Bagaimana kamu tahu?”
Galen tersenyum lagi, kali ini senyumnya dihiasi rona geli. Sejurus kemudian pemuda itu tertawa. Lama dan benar-benar puas. Ia memegang perutnya, menunjuk-nunjuk pada Alen yang hampir mengompol ketakutan.
“Saya hanya asal menebak, Alen.” Galen menjawab di sela-sela tawanya. “Kamu sepertinya benar-benar mengaggap saya kriminalis, ya?”
Alen ternganga selama beberapa saat. Gadis itu berdiri tegang, tapi perlahan-lahan mulai rileks kembali seiring dengan suara tawa Galen yang tidak juga berhenti. Entah harus menyebut Galen genius atau penipu. Alen benar-benar dibodohi dua kali.
“Kamu benar-benar percaya saya tahu kamu selalu makan nasi goreng?” Satu tangan Galen menepuk bench, satunya lagi menyeka sudut matanya yang berair. “Lucu sekali.” Galen menyambung senang.
Kamu bilang kau tahu segala hal tentang saya. Dan kamu pernah bilang kamu memperhatikan saya sejak tahun pertama SMA, wajar kalau saya pikir kamu itu penguntit, psikopat. Alen ingin berkata begitu, tapi “Silakan tertawa sepuas yang kamu bisa.” cuma itu yang bisa Alen katakan sambil memberengut.
“Kamu lucu saat sedang marah.”
“Saya tidak berusaha terlihat lucu.” Jawab Alen galak.
“Oke, oke. Saya minta maaf.” Galen mengulurkan tangannya. 
“Ayolah, tangan saya pegal.” Rengek Galen. Alen menarik sudut bibirnya terpaksa, lalu bersiap menyambut tangan Galen ketika pemuda itu sekoyong-koyong membelokkan tangannya menghindari sambutan Alen.
Tawa Galen meledak lagi.
“Kamu mudah sekali dibodohi.” Ucap Galen senang. “Tapi jangan sampai dibodohi orang lain, ya.”
“Kenapa? Saya sudah biasa kamu bodohi.” Alen menjawab ketus. Gadis itu merasa kedongkolannya sudah pada level tertinggi. Dari skala 1 sampai 10, kedongkolan Alen sudah melebihi skala yang ada. Melebihi kedongkolan maksimalnya.
“Saya nggak membodohi kamu.”
“Tapi?”
“Tapi menghibur kamu.”
Alen mendengkus sebal. “Mana ada, saya nggak terhibur sama sekali.”
“Berarti selera humor kamu rendah.”
Bayangan meninju wajah Galen sangat menggoda. Tapi wajah pemuda itu terlalu mulus dan putih. Sayang kalau ada bekas bogem Alen di sana.
“Saya sedang nggak mood bercanda.”
“Iya. Saya tahu mood kamu jelek. Dari tadi wajahmu sudah kusut seperti tisu bekas.”
“Galen.” Ucap Alen gemas. 
“Iya, iya. Sori.” Galen melebarkan senyumnya lagi. “Tapi kamu benar-benar sedang tidak mood, ya?”
Alen menggedikkan bahu. Ia membuka kotak bekal pemberian Galen, mendapati dua potong roti lapis di dalamnya. Terlihat sangat penuh dengan isian selada dan bacon.
“Iya. Mood saya selalu buruk.” Alen mengambil satu roti lapis, lalu melahapnya.
“Kenapa?”
Sejenak, Alen mengunyah roti lapis di mulutnya sambil merasakan lumeran keju yang gurih. Setelah ia menelan gigitan pertama roti lapisnya, ia berdeham. Alen mengambil ancang-ancang, berpikir dalam benaknya untuk bercerita kali ini.
“Saya dianggap gila. Di rumah dan di sekolah.”
Galen tidak tampak terkejut. Pemuda itu malah tersenyum seolah yang bisa ia lakukan hanya tersenyum manis. 
“Keluarga saya percaya saya punya kelainan. Mereka pernah berusaha membawa saya ke psikiater. Di sekolah, saya dianggap kena kutukan.” Alen melanjutkan, meski agak ragu untuk setiap kalimatnya. Untung Galen tidak bereaksi berlebihan, jadi Alen tidak merasa terlalu bersalah sudah membocorkan aib soal ke’gila’annya.
“Kamu terkenal gila di sekolah saya.” Galen tiba-tiba menyeletuk. Pemuda itu menatap Alen yang juga balik menatapnya dengan mata membulat.
“Semua orang disekolah saya membicarakan kamu.” Lanjut Galen santai. “Saya juga mengenal kamu karena orang-orang membicarakan kamu. Sering sekali. Jadi saya penasaran. Saya mencoba mencari tahu tentang kamu.”
“Saya punya teman satu kelas denganmu. Dia yang selalu memberi saya informasi tentang kamu setiap hari.”
Alen berhenti mengunyah. Matanya berubah lebih lebar dari pada sebelumnya. “Kamu memata-matai saya.” Tukasnya.
“Iya, katakan saja begitu. Tapi itu bukan salah saya. Itu salah kamu karena kamu terkenal dan menarik perhatian saya.”
Detik berikutnya Alen tersenyum paksa. “Pantas kamu pernah bilang kamu tahu segala hal tentang saya. Itu karena saya terkenal gila?”
“Terkenal gila dan menarik perhatian saya.” Ralat Galen.
“Tapi Alen,” Galen membenarkan posisi duduknya, menghadap Alen dan menopang dagunya.
“Saya tidak setuju dengan mereka. Kamu tidak gila.”
Alen terpekur sebentar. Debar dari jantungnya menyadarkannya, membawanya menoleh dan memandangi wajah teduh Galen.
“Bukannya saya tidak membawa pulpen atau tidak punya uang untuk membeli pulpen. Waktu itu saya hanya sengaja meminjam pulpenmu untuk sekadar membuktikan kalau kamu tidak gila seperti yang mereka katakan.”
Sesuatu dalam diri Alen tercabik-cabik. Gadis itu tak akan pernah mengerti apa yang ada di kepala Galen. Pemuda itu penuh dengan teka-teki, tipuan, dan hal-hal yang mengaggumkan. Galen orang pertama yang mencoba menentang persepsi bahwa Alen gila. Dia mencoba membuktikan bahwa Alen tidak seperti yang dikatakan orang lain.
“Jadi menurutmu saya nggak gila?” Alen bertanya, antara ragu dan takut. Bagaimana jika ternyata Galen berpikir Alen juga gila?
“Tidak. Saya rasa kamu sangat sehat.” Galen mengambil jeda sejenak, “Dan mengagumkan.”
 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Zona Elegi
300      195     0     
Inspirational
Tertimpa rumor tak sedap soal pekerjaannya, Hans terpaksa berhenti mengabadikan momen-momen pernikahan dan banting setir jadi fotografer di rumah duka. Hans kemudian berjumpa dengan Ellie, gadis yang menurutnya menyebalkan dan super idealis. Janji pada sang nenek mengantar Ellie menekuni pekerjaan sebagai perias jenazah, profesi yang ditakuti banyak orang. Sama-sama bekerja di rumah duka, Hans...
Weak
202      161     1     
Romance
Entah sejak kapan, hal seromantis apapun kadang terasa hambar. Perasaan berdebar yang kurasakan saat pertama kali Dio menggenggam tanganku perlahan berkurang. Aku tidak tahu letak masalahnya, tapi semua hanya tidak sama lagi. Kalau pada akhirnya orang-orang berusaha untuk membuatku menjauh darinya, apa yang harus kulakukan?
Hujan Paling Jujur di Matamu
5404      1483     1     
Romance
Rumah tangga Yudis dan Ratri diguncang prahara. Ternyata Ratri sudah hamil tiga bulan lebih. Padahal usia pernikahan mereka baru satu bulan. Yudis tak mampu berbuat apa-apa, dia takut jika ibunya tahu, penyakit jantungnya kambuh dan akan menjadi masalah. Meski pernikahan itu sebuah perjodohan, Ratri berusaha menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik dan tulus mencintai Yudis. Namun, Yudis...
Sebelas Desember
3214      1016     3     
Inspirational
Launa, gadis remaja yang selalu berada di bawah bayang-bayang saudari kembarnya, Laura, harus berjuang agar saudari kembarnya itu tidak mengikuti jejak teman-temannya setelah kecelakaan tragis di tanggal sebelas desember; pergi satu persatu.
ARSELA: Perjodohan si Syar'i dan Ketua Geng Motor
103      96     3     
Romance
Memiliki hutang budi dengan keluarga Dharmendra, Eira mau tidak mau menyetujui perjodohan dengan putra sulung keluarga itu, Arsel, seorang ketua geng motor tersohor di kampusnya.
Love Al Nerd || hiatus
99      76     0     
Short Story
Yang aku rasakan ke kamu itu sayang + cinta
My Dangerious Darling
2855      1197     2     
Mystery
Vicky, mahasiswa jurusan Tata Rias yang cantik hingga sering dirumorkan sebagai lelaki gay bertemu dengan Reval, cowok sadis dan misterius yang tengah membantai korbannya! Hal itu membuat Vicky ingin kabur daripada jadi sasaran selanjutnya. Sialnya, Ariel, temannya saat OSPEK malah memperkenalkannya pada cowok itu dan membuat grup chat "Jomblo Mania" dengan mereka bertiga sebagai anggotanya. Vick...
Ada Cinta Dalam Sepotong Kue
4855      1589     1     
Inspirational
Ada begitu banyak hal yang seharusnya tidak terjadi kalau saja Nana tidak membuka kotak pandora sialan itu. Mungkin dia akan terus hidup bahagia berdua saja dengan Bundanya tercinta. Mungkin dia akan bekerja di toko roti impian bersama chef pastri idolanya. Dan mungkin, dia akan berakhir di pelaminan dengan pujaan yang diam-diam dia kagumi? Semua hanya mungkin! Masalahnya, semua sudah terlamba...
Perhaps It Never Will
3833      1326     0     
Romance
Hayley Lexington, aktor cantik yang karirnya sedang melejit, terpaksa harus mengasingkan diri ke pedesaan Inggris yang jauh dari hiruk pikuk kota New York karena skandal yang dibuat oleh mantan pacarnya. Demi terhindar dari pertanyaan-pertanyaan menyakitkan publik dan masa depan karirnya, ia rela membuat dirinya sendiri tak terlihat. William Morrison sama sekali tidak pernah berniat untuk kem...
After Feeling
4241      1530     1     
Romance
Kanaya stres berat. Kehidupannya kacau gara-gara utang mantan ayah tirinya dan pinjaman online. Suatu malam, dia memutuskan untuk bunuh diri. Uang yang baru saja ia pinjam malah lenyap karena sebuah aplikasi penipuan. Saat dia sibuk berkutat dengan pikirannya, seorang pemuda misterius, Vincent Agnito tiba-tiba muncul, terlebih dia menggenggam sebilah pisau di tangannya lalu berkata ingin membunuh...