Dalam pakaian serba hitam, kamu berjongkok di antara dua gundukan tanah berhiaskan nisan. Tanganmu bergerak meletakkan buket lili putih di sana dengan sedikit gemetar. Kali ini, memang tidak ada lagi air mata. Bahkan bibir merah mudamu memberikan senyuman manis. Mungkin karena kamu sudah sangat terbiasa? Meskipun begitu, kesedihan itu pasti tetap ada dan bersemayam dalam palung hatimu. Kehilangan bukanlah hal yang menggembirakan. Apalagi jika itu adalah dua orang yang amat berharga dan kamu sayangi, melalui mereka dirimu dapat hadir di dunia ini.
Hari ini adalah 24 Desember yang ke-15 kali, waktu di mana segalanya bagimu tidak sama lagi. Dunia yang semula bagimu begitu warna-warni seperti coretan-coretan cat airmu pada kanvas, tiba-tiba berubah menjadi kelabu menakutkan, melebihi ketakutanmu pada hantu. Mereka pergi, meninggalkanmu seorang diri di kehidupan yang rupanya kejam ini.
Saat tengah asyik tafakur dalam pemikiranmu sendiri, seseorang tiba-tiba membawamu dalam dekapan hangatnya. Tangan besarnya mengusap lembut punggungmu, memberikan kekuatan padamu seperti biasa.
“Mau sampai kapan kamu akan terus menangis seperti ini?” Itu pertanyaan bernada retorik. “Ayah dan Ibumu sudah tenang di sana. Namun kalau mereka melihatmu masih begini saja, mereka akan sedih di sana.”
“Aku tidak menangis,” balasmu mencoba mengelak. Akan tetapi, suaramu yang serak serta air yang jatuh membasahi pipi membuatmu tidak lagi berkutik. Kamu berpikir, kamu sudah terbiasa dengan hari ini setiap tahunnya, tetapi ternyata sama sekali tidak. Kehilangan yang kamu rasakan masih saja menikam dalam.
Terdengar embusan napas berat dari pemilik dekapan nyaman yang melingkupi tubuhmu. “Aku sudah mengatakannya berkali-kali. Kamu tidak sendirian. Kamu masih punya aku, Papa, dan juga Mama. Kami semua ada di sini untukmu. Kami juga sangat menyayangimu,” katanya.
Seperti mantra sihir bagimu, kalimatnya barusan, meski telah terdengar ribuan kali tetap mampu memunculkan senyuman di bibirmu.
“Terima kasih, Ian,” ujarmu lirih, kemudian membalas pelukannya tidak kalah erat.
Di antara gelapnya duniamu, kehadiran Adrian dan orang tuanya menjadi cahaya yang menerangimu. Mengusir ketakutan yang menggelayutimu, juga mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh orang tuamu. Dalam buaian kasih sayang mereka, kamu pun dapat tumbuh dan hidup seperti sekarang. Tidak ada kata yang dapat mengekspresikan betapa kamu bersyukur memiliki mereka. Namun, jika perlu, kamu bahkan rela memberikan nyawamu sebagai ungkapan terima kasih atas kebaikan yang mereka berikan padamu.
“Kita ini keluarga, Kean. Kamu sudah seperti saudaraku sendiri. Pun, Papa dan Mama yang sudah menganggapmu seperti anak mereka sendiri.”
Kamu tahu kalau pria itu mengatakannya dengan tulus. Kamu pun tahu kalau itu kebenaran. Akan tetapi, mendengar kata “saudara” yang terucap dari mulutnya, dadamu kembali terasa sesak. Hanya saja, kamu juga perlu sadar diri. Tidak ingin makin larut, kamu segera melepaskan diri dari dekapannya. Dengan sisa tangis di wajahmu, kamu menatap wajah pria berkacamata di hadapanmu. Mengamatinya lamat-lamat si pemilik iris mata cokelat madu itu, sebelum senyuman manis kamu tunjukkan padanya.
“Terima kasih, Ian.”
Adriansyah Mahendra. Kebersamaanmu dengannya selama lima belas tahun ini menumbuhkan perasaan lain selain kasih sayang terhadap keluarga. Entah sejak kapan, kamu mulai memandangnya sebagai pria yang kamu suka. Hanya saja, beranikah kamu melewati batasan dengan kejamnya?
****
Hari itu di tanggal yang sama, kamu masihlah seorang bocah sepuluh tahun. Demi merayakan ulang tahunmu, Ayah dan Ibu mengajakmu pergi ke taman hiburan yang memang kamu nantikan sejak lama. Kalian menikmati waktu dengan penuh bahagia. Mulai dari menaiki berbagai wahana, makan permen kapas, es krim, lalu sebagai penutup kalian menaiki kincir ria. Seperti yang pernah kamu dengar, ketika kincir ria berada tepat pada puncaknya lalu membuat harapan, maka harapanmu akan dikabulkan. Jadi, begitu pun dengan dirimu. Dengan hati berbunga-bunga dan keyakinan penuh, kedua tangan kecilmu saling bertangkup. Memejamkan kedua matamu, kamu menyebutkan harapanmu dalam hati.
“Tuhan, aku ingin kembali ke sini untuk merayakan ulang tahunku lagi bersama Ayah dan Ibu.” Begitu doamu. Namun, kenyataan menghantam kesadaranmu dengan telak. Bocah sepuluh tahun harus menghadapi kejamnya dunia. Membuatmu kehilangan semuanya. Perjalanan pulang kalian menjadi petaka. Dalam kecelakaan mobil hari itu, hanya dirimu sajalah yang selamat. Kemudian, kehidupanmu berubah. Jauh dalam hatimu, kamu masih menyalahkan diri sendiri. Andai hari itu kamu menolak ajakan mereka untuk pergi atau andai hari itu kamu tidak perlu merayakan ulang tahunmu, juga pengandaian lain yang sebenarnya sama sekali tidak berguna selain untuk menenangkanmu.
“Sudah lebih baik, Kean?”
Suara bariton yang menyapa pendengaranmu itu berhasil menarik kesadaranmu untuk kembali berpijak di bumi. Tanpa sadar, ternyata anganmu sudah melayang begitu jauh ke angkasa—pada masa lima belas tahun silam.
Kamu mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari hamparan hijau yang terbentang di hadapan. “Ya, kurasa sekarang jauh lebih baik,” jawabmu.
Terdengar embusan napas lega dari samping kananmu dan kamu tahu betul milik siapa itu. Sejujurnya jauh dalam lubuk hatimu, kamu masih tidak mampu baik-baik saja. Apalagi ingatan kelabu itu selalu kembali terlintas dalam benakmu, seolah hal itu baru saja terjadi kemarin. Namun, kamu juga tidak ingin menambah kekhawatiran dari pria berkemeja hitam yang duduk di sampingmu itu. Lagi pula, kamu juga tidak sepenuhnya berbohong. Berkat Adrian membawamu ke tempat ini, perasaanmu sedikit lebih membaik.
Kalian duduk bersama di bawah pohon tanjung yang menjulang di puncak bukit, menikmati rumput hijau yang terhampar seperti karpet di depan sana. Pegunungan yang mengelilingi menambah keindahan panorama. Langit biru berawan juga turut memeriahkan. Semilir angin sedikit demi sedikit mengikis kesedihan dalam hatimu. Lalu, sayup-sayup kamu mendengar burung-burung bernyanyi—bersahutan, seolah tengah menghiburmu.
“Kean, sampai kapan kamu akan terus begini setiap kali hari ini tiba?”
Pertanyaan yang terlontar dari mulut Adrian cukup menusukmu kali ini. Kamu terdiam kaku, makin mengeratkan pelukanmu pada kedua lutut.
“Jalan hidupmu masih panjang dan kamu berhak bahagia. Aku yakin, ayah dan ibumu akan ikut bahagia dari atas sana melihatmu bahagia di sini,” Adrian kembali melanjutkan kalimatnya.
Kamu tertunduk. Apa yang dikatakan Adrian mungkin benar, tetapi kamu masih belum mampu menerima itu. Kamu masih saja tidak bisa memaafkan dirimu sendiri. Kamu hanya berpikir untuk menebus kesalahan itu dengan mengingatnya seumur hidup dan tidak pernah bahagia.
“Jangan pernah berpikir kalau kejadian itu adalah salahmu, Kean. Kamu hanya seorang anak sepuluh tahun. Bahkan di usia kita sekarang, tetap saja tidak mampu melawan takdir, bukan?”
Sentuhan lembut di bahu membuatmu memberanikan diri untuk mengangkat kepala. Kamu menoleh ke samping dan mendapati Adrian tengah tersenyum hangat padamu. Senyum yang selalu mampu menggetarkan hatimu dan jatuh berulang kali pada pesona pria itu.
Ya, apa yang dikatakan Adrian padamu memang benar. Bahkan saat ini, kamu tidak mampu melawan takdir.
Tiba-tiba Adrian mengangsurkan sebuah kotak berwarna hitam dengan hiasan pita emas ke hadapanmu. Kamu terkejut tentu saja dan hanya bisa memandang antara kotak itu dan wajah Adrian secara bergantian. Belum sempat kamu bersuara menanyakan kebingungan yang ada di kepalamu, pria itu sudah terlebih dahulu memberikan jawabannya.
“Hadiah untukmu. Mulai hari ini, aku akan membuat hari ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Aku tidak akan merayakan ulang tahunmu di akhir tahun lagi. Selamat ulang tahun, Kean.”
Sekarang, kamu benar-benar tidak lagi mampu berkata-kata. Air mata berjatuhan dengan sendirinya dari kedua sudut matamu. Kemudian tanpa sempat kamu duga, tangan Adrian bergerak untuk menghapus air mata itu.
“Ian ...,” ujarmu, tetapi tertahan oleh berbagai perasaan yang bercampur dalam dada.
“Ssst.” Telunjuk Adrian jatuh di bibirmu, seolah pria itu tidak mengizinkanmu untuk mengatakan apa-apa. “Terima ini dan cepat dibuka! Kuharap kamu suka hadiahku,” ujarnya.
Kamu masih merasa ragu, apakah pantas merayakan hari ini dengan ulang tahunmu? Akan tetapi, Adrian memanglah Adrian. Dia tidak menerima penolakan dan langsung memindahkan kotak hadiah itu kepadamu.
Dengan senyuman lebar, pria itu berseru, “Bukalah!”
Tahu bahwa kamu tidak akan berhasil menghindar dari keinginan Adrian, tanganmu pun bergerak untuk membuka kotak hadiah tersebut. Ketika penutupnya terbuka dan menampakkan isinya, kamu mematung. Matamu membulat, nyaris tidak percaya.
“I-ini ....”
Sebuah kamera film jenis Leica M6 yang selama ini hanya ada di anganmu sekarang sungguh berada di hadapanmu. Kamu menggeleng, kemudian mengembalikan benda itu pada Adrian.
“Aku tidak bisa,” katamu tegas.
Adrian membuang napasnya kasar. “Sudah kuduga kamu akan begini. Tapi aku tidak menerima penolakan, Kean.”
“Ian!” Kamu makin gusar. “Ini sangat mahal! Aku tidak bisa menerimanya!”
“Aku tidak akan jatuh miskin hanya karena membelikanmu kamera ini, Kean. Aku tahu ini salah satu kamera impianmu. Aku hanya ingin membantu mewujudkan impianmu.”
Lagi, kamu dibuat tidak bisa berkata-kata. Tidak memungkiri, rasa hangat merambati dadamu mendengar bahwa pria itu berniat membantu mewujudkan impianmu.
“Tapi—”
“Tidak perlu mengkhawatirkan apa pun. Aku sekarang ini bukan lagi bocah SMA, Kean. Aku sudah bekerja bahkan naik jabatan sebagai manajer eksekutif. Aku justru akan sedih kalau kamu tidak menerimanya.”
Kamu kembali terdiam, menatap kamera film yang kamu tahu harganya amat sangat mahal untukmu itu.
“Aku ingin menghapus kesedihanmu di 24 Desember ini dan menggantinya dengan hal-hal yang membuatmu tersenyum. Bantu aku mewujudkan impianku itu, ya?”
Tidak lagi mampu berkata-kata, kamu pun mengungkapkannya dengan memberikan pelukan erat. Ardiansyah Mahendra. Bagaimana mungkin kamu tidak terjatuh pada setiap kebaikan dan tindakan manis yang dilakukan pria itu selama ini?
“Terima kasih, Ian,” ujarmu lirih, sembari mengeratkan pelukanmu.
“Sama-sama, Kean. Selamat ulang tahun, ya?”
Kali ini, 24 Desember yang biasa kelabu itu sedikit terasa berbeda untukmu.
Untuk pertama kalinya, aku melukiskan 24 Desember dengan hal baru.
Ananda Kean Lavenia