Read More >>"> River Flows in You (01 Januari) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - River Flows in You
MENU
About Us  

Kamu memandang ke luar jendela kaca. Mendadak segalanya terasa asing. Hari-hari yang kamu lewati tidak lagi sama. Seperti mimpi buruk—dan alangkah baiknya jika memang hanya sekadar mimpi buruk—kamu ditinggal sendirian di dunia. Mungkin orang-orang dewasa akan memandangmu sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa, tetapi bukan berarti bahwa kamu juga tidak mengerti. Kamu bahkan merasakan sakit yang sama seperti para orang dewasa yang dihadapkan pada kehilangan orang tersayang.

Embusan napas berat keluar dari mulutmu, menemani kesunyian ruangan serba putih berbau obat yang menyesakkan. Kepalamu masih dibalut oleh perban, pun dengan tangan dan kakimu. Namun, luka di hatimu masih menganga basah. Orang dewasa tidak bisa melihatnya, bahwa seharusnya yang paling perlu diobati adalah hatinya. Iris mata cokelatmu memandang jauh pada arakan awan. Kosong. Kamu tidak lagi merasakan apa pun. Kamu juga sudah cukup lelah menangis setiap malam, ketika tahu bahwa dalam kecelakaan nahas itu hanya dirimu saja yang selamat. Kamu juga masih terus terbayang ketika sebuah truk besar berwarna putih datang menghantam dari depan. Setelah itu, ingatanmu kabur. Namun, kamu masih ingat tentang pelukan erat—terakhir—dari ibu.

“Jangan menangis lagi.”

Suara itu terdengar bersamaan dengan jari yang bergerak menghapus air mata di pipimu, hingga membuatmu tersentak. Kemudian, mata kalian bertemu. Dia tersenyum hangat seperti matahari yang cerah siang ini. Kamu kembali termangu.

“Kamu tidak sendirian. Kamu masih punya aku, Papa, dan juga Mama. Kami semua ada di sini untukmu. Kami juga sangat menyayangimu,” katanya sok seperti orang dewasa, padahal kamu sangat tahu betapa cengengnya bocah laki-laki itu.

Dia masih saja tersenyum tanpa mengerti betapa hancurnya dirimu. Namun, lewatnya juga kamu dapat merasakan hangatnya matahari. Sekarang, apa yang harus kamu lakukan?

****

Di antara banyaknya pilihan tempat duduk, kamu memilih bagian pojok karena tidak menyukai atensi. Di hadapanmu ada secangkir kapucino yang masih mengepulkan asap tipis—menemanimu. Satu-satunya minuman mengandung kopi yang kamu sukai karena rasanya yang manis dan lembut. Di luar sana gerimis tengah melanda, membuatmu sedikit khawatir jikalau Adrian batal datang. Bocah laki-laki yang dahulu cengeng itu tidak pernah menyukai hujan.

“Sudah lama menunggu, Kean?”

Kamu segera mengangkat wajahmu dan menampilkan senyuman untuk menyambut pemilik suara itu, tetapi senyumanmu pudar ketika melihat bahwa dia tidak datang sendiri. Ada seorang perempuan asing di sampingnya dan ... tatapanmu jatuh pada tangan Adrian yang menggenggam tangan perempuan itu. Bagai tersihir, kamu membeku seperti patung es. Namun, pedang tak kasatmata tengah menusuk-nusuk jantungmu.

Siapa dia? Kamu membatin. Walaupun sebenarnya kamu sudah dapat menduga sesuatu, tetapi masih mencoba menyangkalnya. Kamu tidak siap meski tahu hal ini dapat terjadi kapan pun. Hanya saja ... kamu tidak menduga bahwa rasanya tetap akan sesakit ini.

Buru-buru kamu kembali mengalihkan pandangan pada secangkir kapucino yang kini telah kehilangan kehangatannya.

“Belum terlalu lama,” kamu menjawab lirih.

Tidak lama setelah itu, kamu mendengar suara gesekan kursi dengan lantai. Perempuan yang datang bersama Adrian pun duduk setelahnya, lalu mengucapkan terima kasih. Suaranya terdengar lembut dan merdu. Adrian menyusul duduk. Melihat perlakuan istimewa itu membuktikan bahwa dugaanmu memang benar. Tanpa sadar, kedua tanganmu mencengkeram ujung sweter merah mudamu. Kamu merasa sangat kacau seperti anak kecil yang balon hijaunya meletus.

Kamu harus sadar diri, Kean, batinmu mencoba mengingatkan diri sendiri. Adrian dan keluarganya sudah sangat baik merawatmu selama ini tanpa pamrih, sehingga kamu tidak boleh serakah dan lupa diri. Tanpa mereka, kamu mungkin tidak akan berada di sini saat ini.

“Kenapa kamu terus menunduk begitu, Ke?” Adrian bertanya padamu usai memesan minuman juga.

Meski sedikit tersentak, tetapi kamu tetap berusaha mengendalikan diri. Perlahan, kamu mengangkat wajahmu dan kembali menampilkan senyum seperti biasa.

“Tidak apa-apa, hanya ....”

Kamu tidak melanjutkan kalimatmu, tetapi Adrian yang tumbuh bersamamu selama ini tentu tahu apa maksudnya. Pria jangkung yang kini mengenakan kemeja biru muda bergaris putih itu langsung tertawa. Tangan besarnya lekas meraih tangan perempuan di sampingnya yang berada di atas meja. Dia juga menatap perempuan itu penuh arti dan kamu paham maksudnya. Dadamu sesak dan air mata mencoba menerobos pertahananmu, tetapi kamu akan menahannya di hadapan mereka. Tidak boleh ada yang melihat kesakitanmu ini.

“Kenalkan, ini Renata,” ujar Adrian padamu dengan senyuman yang terukir indah. “Mungkin kamu sudah memperkirakannya. Dia kekasihku, Ke.”

Berbeda dengan apa yang kamu rasakan dalam dirimu, di luar justru kamu menampilkan raut bahagia dan suka cita. Boleh dibilang, ini juga kali pertama kamu melihat Adrian begitu bahagia seperti ini. Kamu tidak mungkin tega merusaknya. Biarlah soal kesakitanmu cukup kamu saja yang tahu dan merasakan.

Perempuan cantik itu tampak malu-malu, tetapi tidak juga menyembunyikan kebahagiaan yang dirasakannya. Dia melepaskan genggaman tangan Adrian, sebelum kemudian mengangsurkan tangannya padamu.

“Aku Renata. Kamu Kean, ‘kan?” tanyanya ramah.

Perempuan yang sempurna untuk, Ian.

Kamu balas tersenyum, kemudian menyambut uluran tangan perempuan bernama Renata itu. “Saya Kean. Salam kenal,” ujarmu.

Setelah sesi perkenalan singkat itu, percakapan diambil alih oleh Adrian dan Renata. Seperti biasa, kamu lebih banyak menjadi pendengar dan pengamat. Bahkan kamu merasa seharusnya kamu tidak berada di sini sekarang—menjadi pihak ketiga. Renata tidak hanya cantik. Perempuan itu juga memiliki kepribadian yang hangat. Sangat cocok bersanding dengan Adrian. Dan yang paling utama, kamu menyadari bahwa keduanya saling mencintai.

“Adrian sudah bercerita banyak tentangmu, Ke. Itu membuatku benar-benar penasaran denganmu yang sanggup bersahabat begitu lama dengan orang semenyebalkan Adrian,” tutur Renata yang entah mengapa terasa begitu menamparmu.

Sahabat. Ya, kamu tahu benar posisimu.

Kamu kembali menunjukkan senyum, tetapi tidak ada satu pun kata yang sanggup kamu keluarkan. Kamu takut, ketika mulutmu terbuka, kamu tidak lagi dapat menahan isak tangis yang keluar. Meskipun sudah berulang kali menegaskan pada dirimu sendiri bahwa kamu harus bahagia untuk Adrian, tetapi kamu juga tidak dapat menyangkal sakit yang kamu rasakan.

“Ternyata kamu memang seperti yang dibilang Adrian, ya?” ujar Renata lagi.

Kamu mengangkat alis penasaran tentang apa yang Adrian ceritakan pada Renata. Namun, kehadiran pelayan yang mengantarkan pesanan menjeda percakapan itu. Tatapanmu tertuju pada dua gelas minuman pahit di seberangmu. Sebuah pertanyaan langsung terlintas di kepalamu. Sejak kapan seorang Adrian dapat meminum amerikano? Kamu tahu dengan jelas bahwa pria itu tidak menyukai minuman pahit itu.

“Ian—”

“Adrian bilang, kamu sangat pendiam. Ternyata memang benar.”

Kalimatmu yang ingin menanyakan pada Adrian soal minuman pria itu langsung terpotong oleh ucapan Renata.

“Eh? Maaf. Tadi kamu mau mengatakan apa? Maaf, ya? Aku cerewet,” ujar Renata tidak enak hati.

Kamu hanya menggeleng setelah melihat Adrian menyesap amerikano dingin. Melihat pria itu tidak menunjukkan ekspresi ketidaksukaan, kamu menduga jika Adrian mungkin tidak lagi tidak menyukai sesuatu yang pahit. Kamu juga menyadari kalau kini segalanya tidak lagi sama. Adrian sudah berubah. Hanya kamu saja yang masih berjalan di tempat dan tidak pernah beranjak.

“Kean itu orang yang membosankan,” celetuk Adrian tiba-tiba. Meskipun tahu bahwa itu adalah gurauan yang biasa dilontarkan pria itu padamu, kali ini hal itu terasa berbeda untukmu. Kalimat Adrian terasa seperti belati yang menikam jantungmu.

Jadi, aku memang orang yang membosankan di matamu.

Sekarang, kamu kembali menunjukkan senyum. Menyembunyikan keadaanmu yang sebenarnya.

“Jadi, kenapa kamu memintaku datang bertemu hari ini, Ian? Pastinya tidak hanya untuk mengenalkan kekasihmu, bukan?” tanyamu dengan tenang.

Adrian cengar-cengir. Pria itu mungkin tidak menyangka kalau kamu akan langsung masuk pada intinya.

“Sebenarnya, aku ingin memberitahumu kalau aku dan Renata akan bertunangan,” ujarnya sembari menggaruk pelipis.

Kamu tersenyum. Kemudian tanganmu bergerak meraih minumanmu yang sudah dingin dan menyesapnya.

“Selamat untuk pertunangan kalian,” katamu.

“Kami harap kamu bisa hadir juga, Ke,” ujar Renata yang menatapmu penuh harap.

Kamu mengangguk. “Aku akan datang. Kapan kalian akan bertunangan?”

“Kamu tidak marah, Ke?” tanya Adrian takut-takut.

Sambil menaikkan alis, kamu menatap Adrian. “Kenapa aku harus marah?” tanyamu.

Adrian kembali menggaruk pelipisnya. “Karena aku tidak pernah memberitahumu soal ini dan tiba-tiba bertunangan?” ujarnya terdengar ragu.

Helaan napas keluar dari mulutmu. “Kamu tidak harus melaporkan semua kegiatanmu selama 24 jam padaku, Ian. Aku bukan ketua RT atau RW dalam hidupmu yang harus tahu segalanya.”

Adrian tidak membalas. Pria itu malah menatapmu dengan tatapan yang tidak kamu mengerti. Tidak ingin memperpanjang soal ini, kamu pun kembali melanjutkan, “Jadi, kapan kalian akan bertunangan?”

Dengan senyuman bahagia di bibir, Renata menjawab, “11 Januari.”

Kali ini, kamu termangu cukup lama. Kenapa harus tanggal itu?

Tatapanmu kembali tertuju pada Adrian. Pria itu juga diam di tempatnya sambil menatapmu.

“Baik, aku akan mengusahakan untuk datang.” Kamu lekas memeriksa jam yang melingkar di tanganmu. “Ah! Sudah pukul empat sore. Aku harus segera pergi karena memiliki janji dengan klien terkait revisi ilustrasi pesanan mereka.”

“Eh? Kamu sudah harus pergi?” Adrian tampak kaget.

“Ya.”

“Tapi—”

“Salam untuk Papa dan Mama. Aku akan berkunjung minggu depan.”

Setelah mengatakan itu, kamu pun bergegas meraih tasmu dan beranjak meninggalkan kafe. Kamu mendengar Adrian sempat kembali memanggil namamu, tetapi kamu mengabaikan itu. Kamu tidak ingin pria itu melihat air matamu yang sudah menganak sungai.

Sampai di luar, hujan menyambutmu dan mengajakmu untuk menangis bersamanya.

 

Aku berbahagia untukmu dan bersedih untukku sendiri.

Ananda Kean Lavenia

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
THE YOUTH CRIME
2605      734     0     
Action
Remaja, fase peralihan dari anak-anak menuju dewasa dengan dua ciri khusus, agresif dan kompetitif. Seperti halnya musim peralihan yang kerap menghantui bumi dengan cuaca buruk tak menentu, remaja juga demikian. Semakin majunya teknologi dan informasi, semakin terbelakang pula logika manusia jika tak mampu mengambil langkah tegas, 'berubah.' Aksi kenakalan telah menjadi magnet ketertarika...
HARMONI : Antara Padam, Sulut dan Terang
1009      442     5     
Romance
HARMONI adalah Padam, yang seketika jadikan gelap sebuah ruangan. Meski semula terang benderang. HARMONI adalah Sulut, yang memberikan harapan akan datangnya sinar tuk cerahkan ruang yang gelap. HARMONI adalah Terang, yang menjadikan ruang yang tersembunyi menampakkan segala isinya. Dan HARMONI yang sesungguhnya adalah masa di mana ketiga bagian dari Padam, Sulut dan Terang saling bertuk...
Gantung
503      324     0     
Romance
Tiga tahun yang lalu Rania dan Baskara hampir jadian. Well, paling tidak itulah yang Rania pikirkan akan terjadi sebelum Baskara tiba-tiba menjauhinya! Tanpa kata. Tanpa sebab. Baskara mendadak berubah menjadi sosok asing yang dingin dan tidak terjamah. Hanya kenangan-kenangan manis di bawah rintik hujan yang menjadi tali penggantung harapannya--yang digenggamnya erat sampai tangannya terasa saki...
Demi Keadilan:Azveera's quest
563      293     5     
Mystery
Kisah Vee dan Rav membawa kita ke dalam dunia yang gelap dan penuh misteri. Di SMA Garuda, mereka berdua menemukan cinta dan kebenaran yang tak terduga. Namun, di balik senyum dan kebahagiaan, bahaya mengintai, dan rahasia-rasasia tersembunyi menanti untuk terungkap. Bersama-sama, mereka harus menghadapi badai yang mengancam dan memasuki labirin yang berbahaya. Akankah Vee menemukan jawaban yang ...
Pasha
1046      437     3     
Romance
Akankah ada asa yang tersisa? Apakah semuanya akan membaik?
Pacarku Arwah Gentayangan
3463      1189     0     
Mystery
Aras terlonjak dari tidur ketika melihat seorang gadis duduk di kursi meja belajar sambil tersenyum menatapnya. Bagaimana bisa orang yang telah meninggal kini duduk manis dan menyapa? Aras bahkan sudah mengucek mata berkali-kali, bisa jadi dia hanya berhalusinasi sebab merindukan pacarnya yang sudah tiada. Namun, makhluk itu nyata. Senja, pacarnya kembali. Gadis itu bahkan berdiri di depannya,...
Dark Fantasia
4216      1310     2     
Fantasy
Suatu hari Robert, seorang pria paruh baya yang berprofesi sebagai pengusaha besar di bidang jasa dan dagang tiba-tiba jatuh sakit, dan dalam waktu yang singkat segala apa yang telah ia kumpulkan lenyap seketika untuk biaya pengobatannya. Robert yang jatuh miskin ditinggalkan istrinya, anaknya, kolega, dan semua orang terdekatnya karena dianggap sudah tidak berguna lagi. Harta dan koneksi yang...
The Hallway at Night
2957      1676     2     
Fantasy
Joanne tak pernah menduga bahwa mimpi akan menyeretnya ke dalam lebih banyak pembelajaran tentang orang lain serta tempat ia mendapati jantungnya terus berdebar di sebelah lelaki yang tak pernah ia ingat namanya itu Kalau mimpi ternyata semanis itu kenapa kehidupan manusia malah berbanding terbalik
Chrisola
429      224     3     
Romance
Ola dan piala. Sebenarnya sudah tidak asing. Tapi untuk kali ini mungkin akan sedikit berbeda. Piala umum Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika. Piala pertama yang diraih sekolah. Sebenarnya dari awal Viola terpilih mewakili SMA Nusa Cendekia, warga sekolah sudah dibuat geger duluan. Pasalnya, ia berhasil menyingkirkan seorang Etma. "Semua karena Papa!" Ola mencuci tangannya lalu membasuh...
Fix You
485      271     2     
Romance
Sejak hari itu, dunia mulai berbalik memunggungi Rena. Kerja kerasnya kandas, kepercayaan dirinya hilang. Yang Rena inginkan hanya menepi dan menjauh, memperbaiki diri jika memang masih bisa ia lakukan. Hingga akhirnya Rena bersua dengan suara itu. Suara asing yang sialnya mampu mengumpulkan keping demi keping harapannya. Namun akankah suara itu benar-benar bisa menyembuhkan Rena? Atau jus...