Melihat Satria tersenyum padanya, langsung membuat Mentari ikut tersenyum juga. Senyum lega dan bahagia. Jantungnya yang tadi berdetak kencang karena Raka mengatakan kalau ia tahu siapa yang menjebak Satria, masih berdetak sama kencangnya. Namun, rasanya berbeda.
“Lo nguping dari tadi?” Raka bertanya, seketika perhatian Mentari juga Satria beralih padanya.
“Ya, gue sembunyi di sini sebelum lo dateng,” aku Satria.
‘’Kamu buntutin aku, kah?’’ tanya Mentari dengan mata membulat.
Satria tertawa padanya. ‘’Nggak sengaja sebenernya, Ri. Tapi tujuan kita sama, mau nyari dia.” Ia melirik Raka yang tengah melihat ke arahnya.
‘’Lo kalah cepet sama Mentari,’’ ejek Raka dengan senyum menyebalkannya.
Kedua alis Satria terangkat. “Iya, ya? Salah satu penyebabnya karena lo ngehindarin gue, sih.”
Raka mengangguk-anggukkan kepalanya. “Lo emang gue persulit.”
“Pantes.”
Mentari menatap secara bergantian kedua cowok itu dengan kening berkerut. “Jadi … kamu udah menduga ya, Sat, kalo Raka ini nyimpen sesuatu?”
“Iya,” jawab Satria. ‘’Waktu kamu ketemu Raka di perpustakaan tempo hari, hari di mana aku marah itu, setelah kamu pergi aku nemuin dia. Tapi, ya, dia malah ngomong nggak jelas.” Satria melirik Raka dengan malas, yang dibalas senyum menyebalkan cowok itu.
Mentari menatap Raka. ‘’Acara lo ngehasut gue itu salah satu cara lo mempersulit gue sama Satria, ya?’’
‘’Bener,’’ jawab Raka dengan santai.
Mentari menggertakkan giginya, kedua tangannya terkepal. Ingin sekali ia memukul Raka. “Lo—“
“Gue tadinya,” potong Raka. “Nggak mau ngasih tau. Ya gue pengen kalian cari sendiri aja pelakunya. Dibanding gue, Bram itu lebih nggak suka sama lo.” Ia melirik Satria. “Dia benci banget, jadi waktu dia punya kesempatan buat punya barang itu, dia manfaatin kesempatan itu buat ngancurin lo, Sat. Gue sempet nyegah dia karena itu terlalu berbahaya karena dia juga bisa ikut ancur. Tapi lo tau dikit kan kehidupan dia itu gimana, jadi dia gass aja.”
“Gue nggak mau bantu kalo lo kena masalah ya, Bram. Udah gue ingetin. Jangan juga lo ngikut-ngikutin gue ke dalam misi jahat lo ini,” ujar Raka pada Bram yang tengah duduk di motornya sambil mengisap rokok pelan-pelan.
Bram mengembuskan asap rokok ke atas sebelum menjawab. Cowok berkaus hitam itu kemudian mengacungkan jempolnya pada Raka. “Tenang aja, Rak. Ini misi gue. Cuma gue. Lo bahkan nggak akan gue kasih tau gimana rencana gue,” ucapnya, lalu menyerigai.
“Lo nggak takut gue ngehianatin lo?”
“Biasa aja. Itu sih terserah lo.’’
‘’Terus gimana kalo gue ngelakuin itu?”
“Ya itu udah konsekuensinya.”
“Nggak habis pikir sih gue sama jalan pikiran lo, Bram.’’ Raka mengehela napas berat. Ia sungguh berharap Bram berubah pikiran.
“Sama, gue juga.”
Meski dirinya sangat tidak menyukai Satria, Raka berharap rencana Bram itu cowok itu batalkan. Bram temannya, dan jelas ia tidak mau jika temannya itu semakin terseret dalam hal yang buruk. Namun, Raka tidak punya upaya yang berhasil membatalkan niat dan rencana Bram itu.
Tekad cowok itu sudah bulat, dan ia tidak akan membatalkannya jika sudah begitu.
“Terus waktu si Bram itu udah narok barang itu ke tas Satria? Dia bilang sama lo nggak?” tanya Mentari.
“Gue yang nanya,” jawab Raka. “Gue bakal kasih bukti rekaman suara sama rekam layar Bram ngasih tau gue kalo dia mau dan udah narok barang itu. Gue rasa itu udah bisa jadi bukti kalo dia pelakunya, kan?”
Satria mengangguk tanda mengiyakan. “Lo aja udah jadi bukti, Rak.”
Mentari ikut mengangguk. Ia tersenyum dengan penuh rasa berterima kasih pada Raka. Ia memperhatikan raut wajah cowok itu. Sepertinya masih ada yang ingin Raka katakana.
“Ada yang mau lo bilang ke kita lagi, Rak?” tanya Mentari.
Raka terdiam sebentar, kemudian mengangguk dengan raut wajah datar. Matanya melihat ke arah Satria. “Yosia bujuk gue biar ngomong ke elo,” paparnya.
Satria tertegun. “Dia tau?”
Mentari jelas cukup terkejut. Ia tidak menyangka kalau Yosia akan mengetahui masalah ini juga. Dirinya juga sampai lupa dengan kehadiran Yosia di antara mereka.
Raka menganggukkan kepala. Ia tampak mengumpulkan tenaga dulu sebelum memaparkannya. “Dia kenal Bram juga, dan tahu Bram nggak suka sama lo. Dia curhat ke gue siapa kira-kira yang jebak lo. Ya, dia nggak percaya kalo lo punya barang itu. Sekadar informasi aja, dia bilang udah nggak suka sama lo lagi, tapi nggak tau sih dia bohong nggak. Gue berharapnya dia jujur. Dan waktu dia tanya itu, tanpa direncanakan gue jawab kalo gue tau pelakunya. Terus ya gitu, deh. Dia minta gue ngasih tau lo, tapi gue nunggu lo yang nyari aja, lah.”
Raka menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Masih ada yang ia ingin sampaikan pada mereka, tentang ketidak hadirannya selama tiga hari itu.
“Iya, itu, apa lo sengaja? Buat mempersulit?’’ tanya Mentari, yang dibalas gelengan kepala oleh Raka.
“Gue nggak berangkat karena nyari Bram. Dia kayak berusaha mengindar dari gue gitu selama beberapa hari itu. Bukannya gue sengaja nggak bales dan ngangkat telepon lo, Ri. Tapi gue lagi berusaha ngehubungi Raka. Karena gue udah punya rencana ngasih tau lo dan Satria juga makanya gue nggak bales dulu. Gue pengen dia ngaku aja, karena toh cepat atau lambat semuanya bakal terbongkar. Dia pergi ke mana pun pasti bakal ketangkep. Jujur gue sedih. Senakal-nakalnya dia, dia itu temen gue. Gue nyesel nggak bisa nyegah dia ngelakuin hal itu.’’ Wajah Raka yang biasanya terlihat menyebalkan, datar, atau tidak peduli berubah murung.
‘’Tapi lo udah berusaha, Ka.” Satria membesarkan hatinya. “Gue berterima kasih banyak sama lo. Makasih banyak,” ujar Satria tulus.
Raka tertawa. “Iya.”
“Terus giamana, Ka? Lo nggak bisa nemuin Bram?” tanya Mentari.
Raka menggeleng. “Di rumahnya pun dia nggak ada. Dia nggak bilang ke siapa-siapa mau pergi ke mana,” jawabnya. ‘’Gue merasa dia emang sengaja ngehindar,’’ lanjutnya.
‘’Kayaknya emang kayak gitu. Ya, nggak papa. Polisi nggak akan terlalu susah nyari kalo udah tau siapa orangnya, kan,’’ kata Satria. Cowok itu menyndarkan punggungnya ke sandaran kursi, lalu mendesah lega. Sangat lega. Ia dengan segera menegakkan punggungnya. Tangannya telurur pada Raka, meminta bersalaman. Yang dibalas dengan jabatan singkat oleh cowok itu. “Makasih banyak, Ka. Lo juga ikut repot kerana masalah ini. Maaf gue nggak ngomong, dari tadi gue ngerekam percakapan kita diem-diem.”
“Sama-sama. Nggak usah bilang, sih, gue udah nebak.” Raka berujar santai.
“Aku nggak nyangka,” kata Mentari, mengundang tawa kedua cowok yang ada di sana. Mentari ikut tertawa juga. “Makasih banyak ya, Ka. Nggak nyangka gue lo bakal begini,” ujar Mentari jujur.
“Ah, nggak usah lebay.” Raka berdiri, lalu merenggangkan badan. “Udah, kan? Kalo sekiranya lo butuh sesuatu yang gue punya, bilang aja, “ katanya pada Satria.
“Oke, siap. Thanks.”
“Nggak usah bilang makasih terus, gue bosen,” canda Raka, kemudian cowok itu pamit pergi dari sana. Meninggalkan Mentari dan Satria berdua.
Mentari menatap Satria, cowok itu mengangkat alis padanya. Sepertinya tahu kalau Mentari ingin mengatakan sesuatu.
"Kenapa Bram nggak suka sama kamu?"
Satria berkata dengan lirih, "Ceritanya panjang banget. Aku butuh banyak tenaga buat cerita itu."
"Oke, deh"
"Yah ...."
‘’Sat ...jadi, kamu udah maafin aku, kan?’’
Satria tersenyum hangat. ‘’Udah, Ri. Maaf ya buat kamu sedih. Makasih banyak atas usaha kamu bantu aku. Makasih banget.” Mata cowok itu sampai sedikit berkaca-kaca saat mengatakannya. Ia tertawa kecil.
Melihat mata Satria yang berkaca-kaca, Mentari jadi ingin menangis entah kenapa. Ia tertawa kecil juga. “Kita masih temenan kayak sebelumnya kan, Sat?”
“Ya iyalah, Ri. Nggak akan ada yang berubah, kecuali rasa sayangku yang semakin besar.”
“Idih!” Mentari tertawa sambil menutup mulutnya. Wajahnya memerah.
“Sayang sebagai teman dan sahabat, lho. Kamu nggak sadar ya.”
“Iya, iya. Makasih.”
“Makasih juga untuk semuanya. Apalah dayaku kalo nggak ada kamu ini.”
Mentari masih tertawa. “Sana-sama. Selamat menjalani hari-hari seperti biasa, Satria.”
***
Bram telah ditangkap. Satria kembali membuat postingan di instagram kalau orang yang menjebaknya sudah diamankan. Ia melampirkan foto saat Bram ditangkap tanpa memperlihatkan wajah dan tidak memberi tahu namanya. Foto itu tidak akan ia unggah selamanya, hanya sementara. Begitu biar tidak ada pihak-pihak yang membuat opini mengada-ngada. Berhasil. Akun lambe turah yang berpotensi menyebar dugaan lain pun bungkam. Komentar berisi ungkapan tidak percaya juga tidak ditemukan.
Sebagai ucapan terima kasih karena telah membantunya juga menemani menyelesaikan masalah ini, Satria mentraktir orang-orang itu makan di kantin. Ada Mentari yang jelas, Angel, member Quwela-nya, Raka, juga Yosia. Sebenarnya kurang Pak Irham, tetapi jelas ia segan mengajak beliau.
‘’Agak aneh ya Satria sama Raka ada di satu meja,” celetuk Angel, membuat perhatian semua orang itu terpusat padanya.
“Ada Yosia, lagi,” tambah Aldi sambil cengengesan.
“Jangan gitu. Nanti mereka malu.” Rio menengahi. Ia menatap Raka dan Yosia bergantian. “Maaf, ya,” katanya.
“Santai aja, kali. Rejeki nggak boleh ditolak,’’ balas Yosia.
“Bener, Yos,” sahut Mentari. Kedua cewek itu lalu saling melempar senyum.
Tak lama kemudian, pesanan mereka semua diantarkan. Aroma makanan yang lezat membuat suasana di sana semakin nyaman dan menyenangkan. Masing-masing dari mereka mengaduk-aduk makanan dan menambahkan pelengkap rasa seperti saus dan kecap ke dalamnya.
“Eh … kayaknya kurang satu orang, deh,’’ kata Mentari saat semua pesanan telah sampai di meja mereka.
Semua yang ada di sana menatap Mentari dengan tatapan bertanya.
‘’Siapa, Ri?’’ tanya Satria.
‘’Temennya Raka, tapi gue nggak sempet nanya namanya siapa,” jawabnya disusul tawa garing.
‘’Ya, udah, gampang. Nanti dia di ronde kedua aja. Ntar lo kasih tau aja yang mana orangnya.” Raka memberikan ide.
“Iya, gampang deh. Kalo nunggu nyari dia dulu keburu nggak enak makanan sama minumannya. Dah, dah, makan,” putus Satria, mempersilakan mereka untuk segara menyantap hidangan yang ada.
Mereka mengiyakan. Denting sendok dan garpu dengan piring atau mangkuk memenuhi indra pendengaran mereka kemudian. Sesekali mereka mengobrol dan dan bercanda di sela-sela makan.
"Apakah akan ada yang berubah pada Satria setelah kejadian ini?" Tiba-tiba Angel menyeletuk asal sambil menahan senyum. Dengan gaya seorang reporter, ia mengarahkan sendoknya ke dekat Mentari seolah itu mic. "Bagaimana menurutmu, Mentari?"
Mentari menelan makanannya dulu sebelum menjawab. "Harapan saya, dia nggak suka bolos kelas lagi."
"Hmm, sudah tentu itulah harapan Mentari. Saya rasa semuanya sudah menebak inilah yang Mentari harapkan pada Satria."
Yang lain tertawa, begitu juga dengan Mentari. Cewek itu menoleh pada Satria, yang kemudian menoleh padanya juga, dia tertawa.
***
Mentari berhenti tepat di ambang pintu kelasnya. Cewek berbaju putih abu-abu itu melongok ke dalam, belum ada satu pun manusia di sana. Namun, ada tasnya Satria. Cowok itu entah ada gerangan apa berangkat lebih pagi. Dirinya pun tanpa direncanakan melakukan hal yang sama. Mentari berangkat naik bus yang memang berangkat lebih pagi dari biasanya, sedangkan untuk Satria, ia tidak tahu.
Ia penasaran apakah Satria punya tujuan tertentu kenapa datang pagi-pagi sekali. Mentari melihat ke luar kelas, tak terlihat Satria di mana pun. Mungkin cowok itu sedang ke toilet. Dengan langkah pelan, Mentari berjalan ke bangkunya.
Lima menit duduk di sana, Satria tidak juga muncul. Ia baru saja akan bertanya melalui chat pada cowok itu ketika matanya menangkap ponsel Satria yang ternyata ada di laci meja. Beberapa detik kemudian, terdengar lagkah kali dari arah pintu. Refleks Mentari menoleh ke sana.
Satria berhenti berjalan ketika matanya bersitatap dengan Mentari. Cowok itu tersenyum hangat. Dari jarak beberapa meter itu, Mentari dapat melihat kantung mata Satria dengan jelas. Rambut cowok tersebut basah, begitu juga dengan wajahnya.
“Kamu habis cuci muka? Apa mandi?’’ tanya Mentari disusul tawa renyah.
‘’Cuci muka, Ri. Ngantuk,’’ jawab cowok itu.
“Emang semalem nggak tidur?”
“Tidur tapi nggak selama biasanya.”
Mentari menyipitkan mata. “Emang kamu ngapain? Jangan bilang belajar? Ya, bagus sih kalo belajar, tapi nggak harus begitu juga, Sat.’’
“Ah, sayangnya bukan belajar,” jawab Satria sambil berjalan mendekati Mentari. Ia kemudian duduk di sebelah cewek itu, di kursinya Angel. “Tapi buat lagu.”
Mentari memasang wajah seolah kecewa. “Apa judulnya?”
“Bus dan Bekal. Spesial buat kamu.”
Jawaban Satria itu sontak membuat Mentari tertawa keras. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya merasa tak percaya dengan apa yang dikatan cowok itu. Ditatapnya Satria dengan pandangan menyelidik. “Yang bener aja, Sat.”
“Ih, beneran. Aku terinspirasi dari kamu yang hampir nggak pernah absen bawa bekel dan berangkat juga pulang naik bus. Karena kamu sangat berjasa dalam hid—“
“Sat, udah,” potong Mentari sambil tertawa.
“Ri, aku serius. Kamu kan banyak bantu aku, jadi apa salahnya aku buat lagu buat kamu,” jelas cowok itu dengan raut wajah serius. Kali ini sukses membuat Mentari berhenti tertawa dan berubah kaget.
“Iya?” tanya cewek itu.
‘’Iya, Ri. Nih, tapi belum selesai, sih. ’’ Satria mengeluarkan secarik kertas dari kantong bajunya, lalu menyerahkannya pada Mentari.
Mentari melihat tulisan di kertas itu sebentar, lalu menatap Satria.
‘’Kenapa?’’ tanya Satria.
Sambil menahan senyum, Mentari menggeleng. Ia kembali melihat baris-baris tulisan di kertas yang diberikan Satria. Tidak lama, ia kemudian mengembalikannya pada Satria.
‘’Nggak bisa bacanya. Tulisanmu ceker ayam banget,’’ katanya, lalu tertawa.
Satria berlagak seolah tersakiti. Cowok itu memegang dadanya dengan sikap dramatis yang dibuat-buat. “Ya, udah, nanti aku kasih versi rekamannya aja, ya. Spesial buat tetangga favorit.”
“Makasih, drummer-nya Quwela,” balas Mentari dengan wajah berseri.
TAMAT
semangat terus ya
Comment on chapter The Drummer