Pesta ulang tahun Jason bukanlah jenis pesta yang dihadiri puluhan atau ratusan anak-anak. Ini adalah pesta untuk kalangan kerabat dekat dengan suasana yang manis. Ini menggetarkan hatiku dengan cara yang begitu lembut.
Aku melirik jam yang melingkari pergelangan tangan kananku. Sudah pukul 10 di Sabtu pagi yang cerah; ini seharusnya adalah waktu bagi Jason dan aku untuk berlatih piano di ruangan menakjubkan yang mengapung di atas kolam renang, yang sejak tadi pagi aku sudah berada di dalamnya bersama Joshua dan pekerja-pekerjanya yang sibuk menata dekorasi ulang tahun Jason. Joshua ingin memberikan Jason kejutan yang mengesankan pada hari ulang tahunnya kali ini.
Dan sekaranglah saat kejutan itu bakal terjadi.
“Jason sudah menuju kemari?” tanyaku pada Joshua yang berdiri di sebelahku.
“Pelayanku bilang dia sedang sarapan beberapa saat yang lalu. Mungkin sekarang sudah dalam perjalanan ke ruangan latihan ini.”
“Begitu, ya? Baiklah.”
Untuk membuat kejutan ini sukses, Joshua sudah memerintahkan pekerja-pekerja di rumahnya untuk menutupi dinding kaca transparan ruangan latihan ini dengan gorden putih panjang pada keempat sisi dindingnya. Tentu saja supaya Jason tidak keburu melihat dekorasi ulang tahun super-keren yang dirangkaikan khusus untuknya ini.
“Pak Jo, Jason sudah berjalan ke tempat ini bersama Noona dan staf perawatnya,” tutur seorang lelaki setengah baya yang bekerja di rumah Joshua.
Joshua mengangguk. “Oke. Viola, bersiaplah di posisimu. Aku dan yang lain akan menyambut Jason dan juga Noona.”
“Oke, Joshua.”
Lalu aku duduk di kursi piano, jari-jemariku bertengger di atas tuts hitam-putih dalam posisi siap untuk memainkan lagu Happy Birthday to You dengan irama vivace[1].
Pintu ruangan dibuka dan confetti ditembakkan ke udara, disambut dengan tiupan terompet kertas dan ucapan “Selamat ulang tahun, Jason!” dari semua orang yang hadir.
Aku langsung memainkan lagu Happy Birthday to You dengan semangat. Dinamika yang kumainkan langsung berada di forte[2], bahkan ke fortissimo[3], dengan aksentuasi yang mengentak-entak untuk memeriahkan orang-orang yang menyanyi dengan gembira dalam rangka mengucapkan selamat ulang tahun bagi Jason murid kesayanganku.
“Waaahhh? Ada apa ini…?” teriak Jason, tampak amat terkejut bercampur girang lantaran diberi kejutan spektakuler oleh pamannya yang sangat menyayanginya.
“Hey, Bung, selamat ulang tahun!” sambut Joshua dengan antusias. Kedua tangannya memegangi alas dari kue ulang tahun custom yang sudah kami pesan sejak tiga hari yang lalu. Warna dasar kue itu ungu Barney, dan obyek yang menjadi highlight-nya tentu saja sebuah grand piano dengan tuts-tuts hitam-putihnya yang dibuat dari potongan KitKat super-lezat.
“Ada Kak Viola juga…?” seru Jason. “Wah, menyenangkan sekali ulang tahunku hari ini. Terima kasih banyak, semuanya…!”
Lalu seorang nenek yang duduk di kursi roda membelai kepala Jason dengan sepenuh kasih.
“Jason, ayo buat harapanmu dulu. Sehabis itu, kautiup lilin ulang tahunmu itu, ya, Sayang.”
“Okey-dokey, Noona.”
Oh, jadi wanita sepuh bersuara lembut bak beledu inilah yang Joshua maksud sebagai Noona?
Orang-orang memandang pada Jason sambil tersenyum penuh arti tatkala bocah sembilan tahun itu mengumandangkan harapannya dengan yakin dan lantang.
“Tuhan-ku yang baik, terima kasih telah mengabulkan permintaan-permintaanku. Agak terlalu lama, sih, sebenarnya. Tapi tidak apa-apa. Aku tetap sangat bahagia, kok,” ujar Jason sambil memejamkan matanya. “Dalam usiaku yang sekarang sudah sembilan tahun ini, aku ingin berterima kasih pada-Mu karena telah mengirimkan Noona yang baik hati dan penyabar untuk menemani aku. Terima kasih juga telah mengirimkan Unjo—alias Uncle Jo—yang menyayangiku dan tidak pernah membiarkan kami kelaparan dan kekurangan sesuatu apa pun. Terima kasih juga telah mengirimkan orang-orang luar biasa yang ada di sekitarku untuk menjagai aku, merawat rumah kami, merawat Noona, bahkan memasak makanan-makanan lezat yang bisa kami nikmati setiap hari.”
Aku ingin menangis mendengar kata-kata yang manis, sopan, dan tulus itu berhamburan keluar dari mulut seorang bocah sembilan tahun yang cerdas dan baik hati. Oh, Jason, betapa aku jatuh hati pada sikapmu yang luar biasa itu.
Kemudian Jason kembali melanjutkan doanya, “Terakhir, aku sangat berterima kasih pada-Mu karena telah mengirimkan Kak Viola sebagai guru pianoku. Akhirnya, setelah sekian lama, aku memiliki hal yang aku sukai dan tidak perlu takut kesepian lagi. Semoga Tuhan tidak cepat-cepat mengambil apa yang sedang aku alami sekarang ini, oke? Tapi apa pun itu, Tuhan, aku berterima kasih banyak pada segala kebaikan-Mu. Kiranya Tuhan memberkati kami semua yang ada di ruangan ini pada saat ini. Terima kasih banyak sudah mau mendengarkan doaku ini ya, Tuhan-ku yang baik. Amin!”
Semua orang turut mengatakan ‘amin’ dan langsung bertepuk tangan meriah saat Jason meniup api di atas lilin berangka 9-nya hingga padam. Kulihat mata mereka berkaca-kaca seperti hendak menangis, kecuali Joshua. Aku terharu dan tersentuh melihat semua pekerja yang mengabdikan diri di rumah ini, yang kentara sekali bahwa mereka benar-benar menyayangi Jason dengan sepenuh hati mereka, dan Jason pun demikian pada mereka. Ternyata, rumah mewah yang sedang aku datangi ini tidak hanya kebanjiran harta-benda yang fana saja, melainkan pula cinta yang nyata. Bukankah itu lebih berharga daripada segalanya?
Aku terkagum sekagum-kagumnya pada mereka semua.
*
Jason sangat gembira sekali ketika sesi pemberian hadiah tiba.
Menariknya (sekaligus mengagumkannya), Joshua memberikan masing-masing pekerjanya satu hadiah yang dia beli sendiri dengan uang pribadinya, dan sudah dibungkus dengan rapi menggunakan kertas kado bermotif kartun-kartun terkenal—untuk selanjutnya mereka berikan hadiah-hadiah tadi kepada yang berulang tahun, yakni Jason. Demi Tuhan, Joshua, bisakah kau berhenti membuatku terpesona? Maksudku, hei, kau adalah manusia tampan dengan semua predikat terbaik, kau tahu? Kau adalah paman yang terbaik bagi Jason, kau juga seorang atasan yang terbaik yang tidak mau memberatkan pekerja-pekerjamu jika mereka diharuskan membeli kado sendiri untuk mereka hadiahkan kepada Jason. Oh, Joshua, bagaimana bisa semua kriteria lelaki idaman dirampas hanya oleh satu orang yang spesifik? Kau begitu sempurna. Dan itu membuatku semakin merasa kecil berada di dekatmu.
“Wow, Unjo! Kau menghadiahkanku boom boom car yang keren banget ini…?” tanya Jason dengan begitu sukacita.
“Itu hasil patungan antara aku dengan guru pianomu, Jason,” balas Joshua. “Harganya mahal. Kalau beli sendiri, uangku pasti tidak akan cukup.”
Aku ingin bersuara untuk mengatakan yang sebenarnya—bahwa aku tidak ikut andil apa pun atas hadiah boom boom car yang mahal sekali itu, tapi Joshua keburu menatapku dengan tajam, seolah-olah mengancamku tanpa suara: “Diamlah, atau kau mati di tanganku!”. Jadi, aku cuma menutup mulutku rapat-rapat demi nyawaku yang berharga.
“Wow, terima kasih banyak, Unjo. Terima kasih banyak juga, Kak Viola!” seru Jason dengan bersemangat.
“Sama-sama, Jason,” sahutku dan Joshua, berbarengan. Bedanya, Joshua mengatakannya dengan percaya diri, sedangkan aku dengan pelan dan canggung, semata-mata karena aku merasa malu lantaran aku tidak keluar uang sepeser pun untuk hadiah pemberian Joshua itu. Dasar Joshua menyebalkan, kenapa dia harus berbohong segala sih? Huh!
Oh iya, aku jadi teringat sesuatu gara-gara sesi pemberian kado ini. Langsung saja kuambil benda itu dari goodie bag yang kubawa dari rumah dan sedari tadi kusimpan di dekat kaki depan grand piano milik Jason.
“Ini, Jason. Harganya memang murah, tidak sebandaing dengan segala hal yang sudah kaumiliki sekarang. Tapi, kurasa ini berguna untukmu dalam belajar piano,” kataku sembari menyerahkan goodie bag berisi kado pribadi dariku untuk Jason.
“Kado lagi? Kau betul-betul baik, Kak,” seloroh Jason dengan senyum lebarnya yang secerah awan pagi ini. “Kali ini, apa lagi isinya, Kak?”
“Itu hanya beberapa buku yang di dalamnya berisi partitur lagu-lagu klasik untuk pianis pemula, juga sebuah metronome yang berguna untuk melatih kepekaan dirimu terhadap tempo dan irama musik. Hanya itu yang dapat kuberikan untukmu, Jason,” balasku.
“Wow, hebat sekali, aku sangat suka ini… terima kasih! Tapi… apakah aku bisa menjadi semahir dirimu kalau aku mempelajari semua lagu-lagu ini?” tanya Jason, tetapi sembari sibuk membuka-buka halaman buku pemberianku, dan dia berhenti pada satu repertoar terkenal yang berjudul Canon in D. “Sepertinya aku familier dengan judul lagu yang ini. Kau bisa mengajariku memainkannya nanti?”
Aku tertawa kecil dan mengelus puncak kepalanya. “Tentu, Jason, tentu. Kau pasti akan bisa kalau kau rajin berlatih.”
“Aku janji akan rajin berlatih, Kak!”
“Aku suka semangatmu,” sahutku.
Ketika kulirik Joshua, dia tengah tersenyum tipis ke arah kami, kemudian dia berlalu pergi begitu saja.
*
Setelah menuntaskan makan siang bersama di ruang makan keluarga Joshua Yamaguchi Sanjaya yang seluas restoran bintang lima, aku berbincang-bincang dengan Noona di dalam kamarnya yang bernuansa putih menenangkan.
“Jason terlihat senang sekali berada di dekatmu, Viola.”
Aku tersenyum pada Noona yang wajahnya tetap tampak cantik sekalipun dirinya sudah memasuki usia senja. Rambutnya sudah seluruhnya putih, tapi keramahan dan kehangatan sikapnya sangat bisa kurasakan sejak detik pertama kami mengobrol berdua.
“Aku juga senang bisa dipercaya oleh Joshua untuk menjadi guru piano bagi Jason, Noona. Dia anak yang ceria, cerdas, dan ramah kepada siapa pun. Aku teramat menyukai kepribadian Jason,” balasku dengan jujur.
Ada keheningan yang sejenak menggantung di udara, bersamaan dengan wajah Noona yang mendadak menjadi sendu. Dan perasaanku mengatakan bahwa ada hal tidak menyenangkan yang akan kuketahui dari Noona sebentar lagi.
Benar saja dugaanku, sebab sejurus kemudian, Noona berkata padaku, “Aku mengerti kenapa Jason sangat bahagia atas kehadiranmu, Viola.”
“Maksud Noona?”
Noona menggerakkan kursi rodanya untuk mendekati aku yang tengah duduk di sisi ranjang milik Noona yang berukuran queen size. Lalu Noona menyentuhkan sebelah tangannya yang kurus ke pipiku. Aku memejamkan mataku sejenak karena Noona dengan begitu lembut mengusap-usap pipiku seperti seorang nenek yang tengah memanjakan cucunya.
“Viola… kau begitu mirip dengan almarhumah Clarissa, ibunya Jason.”
Mataku langsung terbuka lebar dan wajahku memamerkan rasa heran yang sangat kentara.
“Be-benarkah itu, Noona?”
“Benar, Viola. Kau sangat mirip dengan Clarissa, ibunya Jason, keponakanku yang telah meninggal dunia dua tahun lalu dalam kecelakaan mobil yang begitu nahas.”
Terdapat nada patah hati yang begitu besar dalam penuturan Noona mengenai ibunda Jason. Aku baru mengetahui fakta ini. Dan dadaku rasanya sesak membayangkan Jason sudah kehilangan ibunya dalam usianya yang masih sangat kecil.
“Sejak dua tahun lalu setelah ibunya berpulang, Jason menjadi anak yang pemurung. Dia bisa tinggal di kamarnya selama hampir 24 jam sehari dan hanya keluar kamar untuk mandi dan makan. Dia hampir tidak pernah mau keluar rumah kalau Joshua tidak membujuknya dengan susah payah. Dia juga enggan berkomunikasi dengan orang selain aku dan Joshua. Dia sangat menutup diri dan berduka untuk waktu yang lama,” papar Noona dengan nada suara yang begitu rendah dan sedih.
“Tapi, Viola. Semua itu berubah sejak dia bertemu denganmu di Chandelier Hotel,” imbuh Noona. Suaranya terdengar agak lebih cerah ketimbang sebelumnya. “Aku ingat, malam itu, sepulang dari sana, Jason langsung bercerita dengan semangat berkobar-kobar padaku tentang dia bertemu denganmu, seorang wanita yang sangat mirip wajahnya dengan Clarissa, ibunya. Dia juga bercerita betapa hebatnya kau dalam memainkan piano. Dia berulang kali meminta Joshua untuk mengundangmu ke rumah kami, sebab dia ingin sekali belajar piano denganmu, Viola. Dia ingin dekat denganmu, karena hanya kau yang bisa mengobati rasa rindunya yang teramat sangat terhadap Clarissa yang sudah tiada.”
Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku masih terjebak dengan kenyataan pahit bahwa Jason sudah tidak memiliki ibu, sama sepertiku.
“Apakah aku boleh minta bantuanmu, Viola?” tanya Noona dengan suaranya yang selembut sutra.
Aku tidak mau mengecewakan wanita baik hati ini, jadi aku mengangguk dengan mantap.
“Tentu saja boleh, Noona. Apa yang dapat kulakukan untukmu?”
Noona tersenyum, hangat dan teduh. “Berjanjilah padaku untuk terus bersama Jason. Kau satu-satunya orang yang bisa membuatnya ‘kembali hidup’. Ketahuilah, Viola, usiaku sudah tidak akan lama lagi…”
“Noona tidak boleh bicara seperti itu,” sanggahku dengan lembut.
“Tidak, Viola. Dalam hidup ini, kita perlu bersikap realistis, bukan? Aku hanya mencoba menjadi realistis, Viola,” ujarnya. “Aku sudah tua, aku juga sudah penyakitan. Bahkan untuk mengurus diriku sendiri saja, aku sudah tidak bisa. Kapan pun waktu yang dikehendaki-Nya, aku bisa saja berpulang ke pangkuan Sang Bapa. Oleh karena itulah, aku meminta bantuanmu untuk mendampingi Jason. Kau membawa pengaruh yang besar dan amat positif bagi kehidupan Jason, Viola. Kau benar-benar hadiah yang Tuhan kirimkan baginya.”
Aku merasakan mataku menghangat dan berkaca-kaca. Tapi aku menguatkan diriku sedapat mungkin. Dan aku melanjutkan mendengarkan kata-kata Noona hingga selesai.
“Berjanjilah padaku satu hal ini, Viola. Kau akan terus berada di dekat Jason untuk mendampingi dia. Apakah kau mau menerima permintaanku ini, Viola?” tanya Noona. Kedua tangannya yang keriput dan halus sudah menggenggam sepasang tanganku yang kaku bagaikan beku akibat suhu dingin.
“Aku… aku berjanji, Noona,” balasku setelah beberapa detik bungkam untuk meredakan gejolak emosi dalam diriku lantaran rasa sedih atas kisah Jason dan penuturan Noona. “Aku akan terus bersama Jason. Kalau itu bisa membuatnya menjalani hidup dengan lebih baik, aku bersedia untuk mendampingi tumbuh-kembang anak itu, Noona.”
“Terima kasih banyak, Viola. Kau benar-benar baik hati. Bahagia sekali rasanya aku bisa bertemu dengan gadis baik sepertimu,” kata Noona, kemudian dia memelukku dengan sayang.
Setelah sekian lama, akhirnya aku dapat kembali merasakan pelukan seperti ini lagi. Pelukan yang sama hangatnya dengan pelukan ibuku dahulu.[]
[1] Cepat, riang, gembira.
[2] Kuat.
[3] Kuat sekali.