Sebelum pulang, Joshua mengajakku makan malam di Mulan’s Recipe, sebuah restoran yang menyediakan Chinese Food, dan tentu saja, aku belum pernah makan di sana sebelum ini. Sebab aku terlalu miskin bahkan untuk sekadar membeli ice lemon tea buatan mereka.
Aku memang sudah sangat lapar. Terang saja, karena seusai memesan kue ulang tahun untuk Jason di Cake-Caine siang tadi, Joshua langsung mengemudikan Lexus hitamnya—tentu saja dengan aku juga berada di dalamnya—ke Gandaria City. Kami mencari perlengkapan dekorasi untuk pesta ulang tahun Jason yang akan digelar dua hari mendatang. Bukan pekerjaan sulit untuk menemukan semua benda-benda yang diperlukan untuk dekorasi, seperti confetti, topi ulang tahun, balon warna-warni, boneka Barney mulai dari ukuran besar sampai kecil untuk ditaruh di spot-spot yang sudah Joshua pikirkan matang-matang, bahkan sampai hiasan-hiasan komplementer untuk memeriahkan suasana pesta ulang tahun anak berumur sembilan. Semua itu sudah beres. Tidak butuh waktu lebih dari satu jam untuk menangani urusan perlengkapan dekorasi.
Yang paling memakan banyak sekali waktu adalah pembelian kado ulang tahun. Joshua sangat gila, demi apa pun itu! Dia seperti ingin membeli satu mall Gandaria City untuk dihadiahkan kepada Jason pada hari ulang tahunnya lusa nanti.
Bagaimana tidak, Joshua dan aku memasuki toko mainan yang sangat besar bernama Toy’s Kingdom. Di sana, Joshua membeli sebuah mobil kecil yang bisa dikendarai oleh anak kecil—mirip boom boom car yang ada di Timezone itu, kau tahu, kan? Dan oh, apa kau penasaran dengan harga mobil-mobilan versi anak sultan itu? Delapan juta rupiah, dan Joshua membayarnya saat itu juga. Cash, tanpa repot-repot berpikir ini atau itu. Mobil-mobilan gila itu akan dikirimkan oleh petugas toko ke alamat rumah Joshua lusa nanti, tepat pada hari ulang tahun Jason yang pastinya amat membahagiakan.
Kau pikir sesi pencarian hadiahnya sudah tamat sampai di situ? Oh, tentu saja tidak, Kawan!
Selanjutnya, Joshua mengajakku bertandang ke toko baju anak-anak. Dia memasukkan semua pakaian anak lelaki yang menurutnya bagus ke dalam troli belanja yang aku dorong. Kemeja, kaus, celana pendek, celana jeans, jaket, topi-topi yang lucu, serta sepatu berbagai warna berikut dengan kaus kaki bermotif tokoh-tokoh kartun terkenal; semuanya itu dilemparkan Joshua begitu saja ke dalam troli belanja kami. Kemudian dia membayar belanjaan itu di kasir dengan cara menggesekkan kartu kreditnya yang berwarna hitam (baca: black card!) ke mesin pembayaran yang tersedia di sana. Totalnya? Hampir enam juta rupiah! Rasanya aku bisa migrain gara-gara melihat nominal-nominal tidak murah yang dikeluarkan Joshua dengan entengnya sedari tadi.
Untunglah belanjaan berisi baju-baju itu tidak harus kami bawa sendiri hari ini. Akan ada petugas toko yang mengantarkannya juga ke rumah Joshua pada lusa nanti.
“Kau sudah lelah?” tanya Joshua yang terlihat biasa saja, tidak kelelahan sama sekali, padahal kami sudah lebih dari dua jam mondar-mandir untuk memilih dan membeli kado ulang tahun Jason.
“Belum, kok,” dustaku. “Kau mau kita pulang sekarang?”
“Nanti. Ini masih kurang,” jawab Joshua dengan cuek. “Kau lihat kios iBox yang di sana itu? Aku berpikir untuk membelikan iPhone 14 Pro Max untuk Jason. Kasihan dia. Aku baru ingat dia cuma memiliki iPad keluaran tahun lalu yang sering dia gunakan untuk menonton Barney di kamarnya. Dia pasti butuh ponsel yang baru agar tidak bosan. Iya, kan?”
APA??? Dasar makhluk sinting! Ini sudah kelewatan. Benar-benar di luar nalar. Cukup sudah, hentikan semua ini, jiwa kemiskinan dalam diriku sudah meronta-ronta sejak berjam-jam yang lalu!
“Euh... maaf, Joshua. Apakah kau sedang mengigau hari ini?” tanyaku, masih keheranan dengan jalan pikiran makhluk kaya raya satu ini. “Maksudku, uhm, Jason itu baru akan berumur sembilan tahun, bukan? Apa yang akan dia lakukan dengan iPhone 14 Pro Max yang hendak kaubelikan untuknya? Apakah menurutumu itu tidak terlalu pemborosan, ya?”
“Begitukah?” Joshua mengedikkan bahunya. “Mungkin aku akan membelikannya ketika nanti dia memintanya saja.”
“Ya, lebih baik begitu,” tukasku. Sembari mengutuk diri sendiri dalam hati atas kemiskinanku yang menyedihkan.
Jadi, di sinilah kami sekarang, setelah usai berlelah-lelah ria di Gandaria City dalam rangka mempersiapkan pesta ulang tahun yang memesona bagi Jason yang manis itu.
Aku dan Joshua duduk berhadapan di satu meja yang sama, di dalam Mulan’s Recipe yang dipenuhi dengan hiasan lampion merah menyala khas Negeri Tirai Bambu yang digantung di sana-sini.
Joshua memesankan makanan cukup banyak. Seperti hendak memberi makan satu keluarga.
Aku mengambil nasi ayam hainan dan dimsum yang terlihat luar biasa lezat, dengan segelas ice lemon tea yang dibubuhkan selembar daun mint di permukaan esnya. Sementara itu, Joshua menikmati mie goreng seafood dan seporsi nasi tim yang masih panas dan menggugah selera. Dia memilih air mineral sebagai minumannya. Dia sangat memerhatikan kesehatan tubuh, rupanya.
Gigitan pertama pada sepotong dimsumku membawa kenangan yang manis sekaligus menyakitkan perihal masa laluku. Aku ingin makan dengan tenteram tanpa beban pikiran apa pun, tapi nyatanya aku tidak bisa.
Aku sangat merindukan orangtuaku. Dimsum adalah makanan kesukaan kami bertiga. Tapi semuanya sudah berakhir sejak lama sekali. Dan tidak akan bisa kembali, sebanyak apa pun aku meminta ataupun berharap.
“Kenapa kau? Tidak suka dengan menunya?” tanya Joshua. Dia sudah menyelesaikan makannya.
Aku terkejut dan langsung menyeka mulutku dengan tisu. Apakah dia melihat ekspresiku sedari tadi? Oh, tidak, pasti aku kelihatan seperti seorang gadis dengan mata kosong lantaran teringat pada kedua orangtuaku yang baik.
“Tidak… tidak apa-apa. Aku hanya… sudah kenyang,” jawabku sambil tersenyum tipis padanya.
Dia tidak menyahut. Tapi kulihat pandangan matanya tajam ke arahku, seakan-akan mencurigaiku atas sesuatu yang tidak dia tahu.
Sejurus kemudian, aku mendengar lagu Yue Liang Dai Biao Wo De Xin berkumandang dari speaker milik restoran yang tenang ini. Aku sangat menyukai lagu ini. Ini adalah lagu Mandarin pertama yang dapat kumainkan dengan lancar di piano. Melodinya sederhana, syahdu, penuh dengan tanda dinamika piano[1] dan pianissimo[2], tetapi mampu menenangkan hatiku, sekaligus membawa memori yang indah perihal keluargaku.
Pada saat itulah aku menoleh ke arah kanan, dan menemukan seorang lelaki yang berasal dari masa laluku.
Oh, benarkah itu dia? Apakah mataku keliru melihat?
Tapi itu memang dia. Dia duduk di sana, tampak rapi dengan setelan pakaian orang kantoran, dan dia duduk bersama orang-orang lain yang kuterka sebagai rekan kerjanya.
Lalu dia membalas tatapanku. Sepasang mata kami saling bertemu pada satu momen ini, dan kami sama-sama menunjukkan keterkesiapan yang serupa. Aku hendak melambai padanya, tapi tanganku tidak mampu kugerakkan. Jadi aku hanya mengulum senyum tipisku dan mengangguk sopan. Dia membalasku dengan senyumnya yang masih semanis dulu, sembari melambaikan sebelah tangannya dengan ekspresi yang bersahabat.
Saat aku mengalihkan tatapanku ke arah Joshua, dia terlihat aneh. Rahangnya mengeras. Seperti orang yang sedang menahan amarah. Dan arah pandangannya tepat tertuju ke arah seseorang yang barusan bersepandang denganku. Joshua tampak sangat marah, matanya yang tajam seolah-olah penuh dengan kilatan rasa benci. Oh Tuhan, ada apa sebenarnya di antara mereka berdua? Apakah mereka saling mengenal?
“Joshua… apa kau… apa kau baik-baik saja?”
“Kita pulang sekarang,” jawabnya, ketus dan dingin. Kemudian Joshua bangkit untuk membayar tagihan kami di meja kasir.
Aku berjalan mengikutinya dengan langkah-langkahku yang serasa bagaikan melayang, dan tatkala aku menengok ke samping, kudapati tatapan mata Reynald tidak beralih sedetik pun dari diriku.
Iya, dia Reynald Putra Dewa, kakak kelasku sewaktu kami masih di SMA. Bertahun-tahun yang lalu.[]
[1] Lembut.
[2] Sangat lembut.