Aku menyalakan ponselku untuk menyadari bahwa dayanya sudah terisi penuh. Lalu aku menemukan satu pesan masuk di WhatsApp dari nomor yang tidak kukenali. Langsung saja kutekan notifikasi itu untuk mengetahui apa isinya dan siapa pengirimnya.
0812-xxxx-xxxx:
Sent you a picture
Biaya les piano Jason untuk bulan ini.
Terima kasih, Viola.
Astaga. Ternyata itu nomor telepon Joshua Yamaguchi Sanjaya. Aku dapat mengetahui fakta tersebut dari gambar yang dikirimkannya padaku. Gambar yang kumaksudkan adalah tangkapan layar berisi bukti transfer uang dari rekeningnya ke rekeningku (baca: aku memang sudah memberitahukan nomor rekening pribadiku pada Michael, asisten Joshua, tentu saja untuk keperluan administrasi).
Tapi seingatku, nominal yang kami sepakati tempo hari tidak setinggi ini, deh.
Kau tahu? Dia mentransferkan uang sejumlah dua puluh juta rupiah ke rekeningku. Itu berarti terdapat kelebihan 50% dari nominal yang telah kami iyakan pada siang hari itu. Mungkinkah dia keliru menuliskan angka? Tapi kurasa Joshua bukanlah orang yang teledor seperti itu.
Satu-satunya alasan paling masuk akal yang bisa kusimpulkan adalah: dia dengan sengaja memberikan dana lebih padaku, supaya aku benar-benar mengutamakan Jason sebagai murid pianoku dibandingkan dengan siapa pun.
Aduh, Joshua. Tanpa kau harus melakukan itu pun, aku akan tetap memprioritaskan Jason, kau tahu? Karena Jason-lah satu-satunya murid yang kumiliki saat ini, sekaligus satu-satunya sumber pendapatan ‘pasti’ yang takkan mungkin aku sia-siakan ataupun telantarkan begitu saja.
Namun, terlintas pula di otakku untuk menanyakan sebab-musabab dari ‘kelebihan biaya’ ini kepada Joshua. Sebab dari pengamatan sekilasku mengenai dirinya, aku dapat mengambil kesan bahwa Joshua itu tipe orang yang ‘senang menguji’ ketelitian, kecakapan, juga pengendalian diri orang lain. Itu terbukti dari konversasi kami tempo hari di dalam ruangannya yang super-sejuk di Chandelier Hotel itu. Dia mengoreksi setiap ucapan serta sikapku yang keliru. Dan itu sangat… sangat-sangat-sangat… menyebalkan!
Jadi, setelah menyimpan nomor kontak lelaki itu dengan nama ‘Joshua Yamaguchi Sanjaya’ ke phone book di ponselku, aku menahan napas selama beberapa detik. Aku mengetikkan balasanku untuk Joshua walaupun tanganku sedikit gemetar. Tidak di dunia nyata, tidak di WhatsApp, lelaki itu sangat ahli dalam membuatku gugup setengah mati! Sialan!
Viola Zefanya:
Terima kasih atas pembayarannya, Pak.
Tapi, bukankah kita sudah sepakat untuk biaya les piano Jason itu sejumlah Rp10.000.000 saja?
Ada kelebihan 50% yang kaukirimkan, dan tidak tahu harus kuapakan, Pak.
Itulah kenapa aku memberi tahumu sekarang.
Mohon maaf sebelumnya telah mengganggu waktumu untuk membaca pesanku ini.
Aku baru bisa kembali menarik napasku setelah mengirimkan pesan-pesan itu. Dan, oh sial! Ternyata Joshua langsung membacanya. Itu kuketahui dari centang duanya yang berubah warna dari abu-abu ke biru tak lama selepas aku menekan ikon send di sebelah kanan layar ponselku.
Aku menunggu dengan jantung yang berdetak kencang sekali. Rasanya aku bisa mati hanya karena menunggu balasan dari lelaki dingin yang kata-kata dan sikapnya selalu frontal itu.
Aku baru hendak mematikan ponselku dan menjadi tidak peduli tepat ketika pesan balasan dari Joshua masuk ke room chat kami. Aku langsung mengarahkan fokusku kepadanya.
Joshua Yamaguchi Sanjaya:
Temui aku di Chandelier pukul 2 siang ini.
Jangan terlambat, mengerti?
Hah?! Mataku terbelalak sejadi-jadinya saat membaca balasan dari Joshua. Dia memintaku menemuinya di tempat kerjanya? Untuk apa…?
Aku menengok ke arah nakas yang di atasnya tersimpan jam waker-ku yang masih berfungsi normal. Oh, bagus sekali! Bagus, bagus, bagus. Sungguh kabar yang benar-benar bagus, wahai Joshua Yamaguchi Sanjaya yang menyebalkan. Sekarang sudah pukul 1.16 siang. Sangat banyak sekali waktu yang tersedia untukku merapikan diri, bukan? Dan oh, ingat! Dia memintaku untuk tidak datang terlambat menemuinya di sana, bukan? Padahal lalu lintas Jakarta, seperti yang semua orang tahu, teramat sangat busuk sejak dahulu kala.
Cih, ini benar-benar hari keberuntunganku!
*
Tin tiin...!
Aku tersentak kaget karena suara klakson keras yang dibunyikan oleh Lexus hitam di sebelahku.
Tapi aku lebih kaget lagi ketika pengemudi mobil tersebut menurunkan kaca jendelanya yang terletak di sisi kursi penumpang bagian depan.
Dan Joshua-lah si pengemudi itu!
Sial, ternyata dia menungguiku dari dalam Lexus mewahnya yang terparkir di samping areal trotoar tepat di depan bangunan Chandelier Hotel kepunyaannya.
“Masuklah. Kau terlambat lima belas menit.”
“Maaf, tadi aku agak terjebak macet dalam perjalanan kemari,” balasku, berusaha tetap sabar di tengah teriknya matahari Jakarta yang menyengat sampai ke pori-pori kulitku.
Ketika aku mau membuka pintu kursi penumpang bagian belakang, Joshua melarangku.
“Aku bukan supir pribadimu. Duduklah di depan.”
“Baik, Pak.”
“Dan jangan panggil aku ‘Pak’. Kau bukan karyawanku yang bekerja di Chandelier. Panggil aku Joshua, mengerti?”
“Mengerti, Joshua.”
Dia mengangguk satu kali.
Kalau kau bukan orang kaya raya yang super-tampan, tinggi, wangi, menawan, cerdas, sekaligus merupakan paman dari murid kesayanganku Jason, sudah pasti kutinju wajahmu itu, wahai Joshua yang mengesalkan!
Akhirnya aku duduk di kursi penumpang sebelah pengemudi, dibatasi oleh persneling yang digunakan Joshua setiap kali dia mengaplikasikan perintah-perintah untuk mengendarai mobilnya.
Lexus hitam itu melaju dalam kebisuan. Yang terdengar hanyalah suara lalu lintas di luar sana yang tidak terlalu keras karena teredam oleh ruangan milik baja beroda ini. Tanganku rasanya gatal ingin menyalakan radio, tapi aku takut pada Joshua.
“Lusa nanti Jason berulang tahun.”
Itu kalimat pertama yang dikatakan Joshua setelah kebisuan panjang yang melelahkan di antara kami berdua.
“Benarkah, Pak—euh, maksudku, Joshua?” tanyaku, memandang ke arahnya. “Jason akan berumur 9 tahun, ya?”
“Benar. Dia memberitahukan umurnya padamu?”
“Iya, Joshua. Dalam sesi latihan piano kami yang pertama, minggu lalu.”
Sekilas, Joshua menengok ke arahku. Aku langsung deg-degan oleh ketajaman matanya yang menggentarkan hati itu.
“Kulihat Jason begitu menyukaimu,” ujar Joshua sambil terus menyetir dalam kecepatan aman. “Sebenarnya, dia sangat sulit akrab dengan orang lain, terutama orang yang baru dikenalnya. Dia tadinya juga pemurung. Tapi semua itu mendadak berubah setelah dia diajarkan piano olehmu. Ketika Jason bilang padaku ingin serius mempelajari piano, aku langsung memberikannya piano baru, beserta dengan semua alat musik yang sejenis. Aku hanya ingin dia senang.”
“Begitukah? Aku tidak menyangka Jason dulunya seperti itu,” balasku. “Dia anak yang ceria dalam pandanganku. Begitu bersemangat dalam belajar dan mampu menyerap pengetahuan-pengetahuan baru dengan sangat cepat sekali. Dan, tentu saja, kaulah paman yang terbaik. Belum pernah kulihat ada seorang paman yang begitu penuh perhatian dan penuh kasih seperti yang kaulakukan pada Jason. Aku benar-benar kagum pada hubungan kalian. Kuharap aku juga bisa seperti itu kelak kepada keluargaku.”
“Kau sudah memperlakukannya dengan baik, Viola, dan memunculkan perubahan-perubahan positif pada dirinya. Untuk itulah aku berterima kasih.”
“Aku juga berterima kasih banyak atas kepercayaan dan kesempatan yang kauberikan padaku, Joshua. Aku amat menghargainya.”
Semua kata-kata pujian dan terima kasih yang sangat sopan dan tulus ini begitu asing untuk disandingkan dengan pembawaan Joshua yang kukenal dingin dan apatis. Tapi sejujurnya, aku sangat menyukai sisi Joshua yang berbeda ini. Dia mengatakan sesuatu yang baik tentang diriku tanpa terdengar berlebihan, tanpa dramatisasi. Aku sangat suka itu. Dia begitu real, begitu apa adanya.
Belasan menit kemudian, Lexus Joshua berhenti di laman parkir sebuah toko kue yang tenar di Jakarta Selatan bernama Cake-Caine. Bagiku, itu sebuah strategi bisnis yang genius untuk memiripkan brand produk kue buatan mereka dengan zat adiktif rekreasional yang terlarang itu (baca: Cocaine). Walaupun tentu saja, kue-kue yang dijual di Cake-Caine pasti tidak mengandung Cocaine sedikit pun. Karena kalau mereka memasukkan zat haram tersebut ke dalam produk kue mereka, sudah pastilah izin usaha Cake-Caine dicabut paksa oleh pemerintah sejak dahulu kala.
Akhirnya, Joshua dan aku masuk ke dalam toko kue Cake-Caine seusai turun dari mobil. Udara sejuk nan melegakan yang menyambut kami saat masuk terasa kontras sekali dengan panas matahari di luar ruangan.
“Kau yang memilihkan kue ulang tahun untuk Jason,” todong Joshua yang berdiri di sebelahku. Nada bicaranya lebih mirip perintah ketimbang permintaan tolong.
“Aku?” tanyaku dengan bingung. “Maaf, Pak—euh, maksudku, Joshua—aku kan belum terlalu mengenal Jason sebaik dirimu. Jadi sudah pastilah aku tidak mengetahui bagaimana selera Jason. Maksudku, seperti apa rasa favoritnya, apa warna favoritnya, ataupun yang mana kartun favoritnya.”
“Jason tidak terlalu banyak memiliki variabel favorit,” sahut Joshua. “Yang kutahu, dia gemar menonton Barney di kamarnya.”
“Begitukah? Bagaimana kalau kuenya kita buat berwarna dasar ungu seperti Barney?”
“Ide bagus.”
“Jadi, Bapak dan Ibu sudah siap untuk memesan kue yang diinginkan?” tanya seorang gadis pelayan toko yang sedari tadi tidak kami gubris kehadirannya. Kendati demikian, dia tetap melayani kami dengan senyum yang betul-betul sampai ke matanya.
Aku memandang Joshua dengan tatapan yang seolah-olah bertanya ‘haruskah aku saja yang menjelaskan kepada pelayan ini soal kue ulang tahun Jason?’, dan Joshua menganggukkan kepalanya tanda mengiakan. Sial, kami sudah mampu berbicara dengan kontak mata dan bahasa tubuh satu sama lain. Seperti pasangan kekasih saja rasanya. Oh Tuhan… janganlah buat aku bermimpi terlalu jauh. Aku orang miskin dan dia sultan yang kaya raya. Tidak akan mungkin bisa bersatu.
“Tentu,” jawabku pada pelayan itu. “Kami menginginkan kue ulang tahun untuk anak-anak. Untuk obyek hiasannya, bisakah kau membuat bentuk grand piano dengan warna dasar ungu Barney? Untuk tutsnya biarkan tetap hitam dan putih, dan kau harus menyamakan urutannya dengan piano asli; ada delapan tuts putih dan lima tuts hitam. Peletakannya jangan sampai salah, supaya membentuk satu oktaf utuh, persis menyerupai piano sungguhan.”
Gadis pelayan Cake-Caine itu mengernyitkan dahinya. “Kami mengetahui tentang tuts hitam-putih dan urutannya itu, Bu, tapi… ungu Barney? Maksudmu, Barney si boneka dinosaurus besar yang senang menyanyi bersama kawan-kawannya?”
“Benar. Aku tidak tahu nama yang tepat untuk warna ungu Barney. Kau bisa cari tahu lewat internet nanti. Yang jelas, itulah yang kami kehendaki sebagai warna dasar kue ulang tahunnya. Bukan begitu, Joshua?”
Joshua cuma mengangguk satu kali sambil sibuk mengetak-ngetik pada layar iPhone-nya yang sudah memiliki dynamic island. Itu artinya, dia sudah memiliki seri terbaru dari brand ponsel kenamaan asal Amerika Serikat tersebut. Oh, betapa bodohnya aku—ya sudah pastilah dia mempunyainya, Joshua kan orang kaya!
“Baik, sudah kami catat pesanan kue yang Bapak dan Ibu inginkan. Maaf, kalau boleh tahu, siapa nama anak kalian, dan dia akan berulang tahun yang ke-berapa, ya?”
Kontan saja, aku dan Joshua langsung saling berpandangan. Gadis pelayan toko ini pasti mengira aku dan Joshua sepasang suami-istri romantis yang hendak membeli kue untuk ulang tahun putra tersayang. Sayangnya, dia keliru besar. Ah sial, aku merasakan kedua pipiku menghangat karena ucapan gadis itu. Pasti sekarang pipiku kelihatan mirip kepiting rebus. Sementara itu, Joshua kulihat hanya tersenyum tipis selama satu detik, lantas kembali melanjutkan fokusnya pada ponsel seakan-akan tidak pernah mendengar apa-apa.
“Euh, bukan,” sahutku cepat. “Kue ini untuk Jason, muridku, yang adalah keponakan dari Bapak Joshua yang ada di sebelahku ini.”
Gadis pelayan toko itu tersenyum sambil menunduk sedikit. “Begitu, ya? Maaf kalau begitu. Jadi… berapakah umur Jason ini?”
“Jason akan berumur 9 tahun pada lusa nanti,” tambahku. “Jadi kalian bisa menyiapkan lilin ulang tahunnya juga, bukan?”
“Tentu saja bisa. Akan kami siapkan lilin ulang tahunnya.”
“Baiklah. Terima kasih, kalau begitu.” Kemudian aku beralih pada Joshua. “Ada yang mau kautambahkan lagi mengenai kue ulang tahun ini, Joshua?”
Dan dia pun memasukkan iPhone-nya ke dalam saku celananya, beberapa detik setelah aku melemparkan pertanyaan itu.
“Buat saja serapi mungkin seperti yang sudah dikatakan dia,” kata Joshua pada si gadis pelayan toko, sembari menunjukku dengan gerakan wajahnya, “dan kirimkan kue itu ke alamatku besok. Paling lambat malam sebelum pukul delapan. Aku bersedia membayar ekstra jika kalian dapat menyelesaikannya lebih cepat dari itu.”
“Baik, Pak. Akan kami usahakan semaksimal mungkin, ya.”
Kemudian Joshua bertolak menuju kasir untuk menyelesaikan pembayaran kue ulang tahun Jason, sementara aku masih berurusan dengan gadis pelayan toko tadi untuk memberitahukannya alamat rumah Joshua. Benar-benar sebuah kerja sama yang baik, ya? Yup, aku tahu itu.
“Kita pulang sekarang?” tanyaku pada Joshua saat keperluan kami di Cake-Caine telah selesai.
“Belum. Kau harus temani aku mencari kado untuk Jason dan perlengkapan dekorasi ulang tahunnya.”
“Wow, kau yang sibuk ini ingin mendekorasi sendiri pesta ulang tahun Jason? Keren!”
Joshua menatapku dengan datar. “Kaubilang begitu seolah-olah ingin mengatakan aku tidak punya asisten untuk melakukan itu.”
“Euh, maaf. Aku tidak bermaksud begitu, Joshua.” Aku tidak bisa menahan tawaku. Dia terlihat jengkel, tapi tampak menggemaskan di mataku. Rasanya ingin kucubit pipinya sampai merah saking gemasnya. Hahaha, tapi tentu saja aku tidak berani.
“Gadis menyebalkan,” desisnya dengan ekspresi malas ke arahku. Lalu Joshua berjalan meninggalkanku untuk masuk ke dalam mobilnya.
Ah, sepertinya aku mulai menyukai lelaki satu ini.[]