Semalam hati Regan berderit sakit mendengar serangkai cerita dari Naila. Dia harus menutupi semua kejahatan keluarganya. Mengubah penampilan, bersandiwara menjadi seorang pendiam, dingin, datar, dan bertahan dari orang-orang yang menjatuhkannya. Semalam juga, Regan meminta maaf kepada Naila, tentang sikapnya juga sikap Ninda.
Malam itu juga merupakan malam yang sangat indah, Regan menghabiskan waktu bersama Naila dengan belanja dan masak bareng untuk ibunya. Tak lupa, Regan juga memberikan hadiah kepada Naila berupa kalung dengan huruf “N” sebagai aksesorisnya.
Lagi-lagi kehadiran Naila berhasil membuat ibunya tersenyum, malam itu merupakan kali kedua ia melihat Naila tampil cantik ditambah dengan senyumnya yang manis. Risma, mendandani Naila dan memintanya agar selalu berpenampilan cantik saat di sekolah. Awalnya Naila menolak, tapi setelah dibujuk oleh Regan akhirnya Naila bersedia.
Sekarang Regan langsung ke sekolah, karena pacarnya sakit. Pulang sekolah berniat untuk menjenguknya, ia takut penyebab sakitnya Ninda gara-gara kejadian kemarin. Mengingat banyak kejadian yang merupakan bencana terbesar bagi pertemanan juga percintaannya. Tidak pernah terpikirkan bagaimana suasana hari ini saat di kelas.
Baru saja memijaki koridor kelas, samar-samar pendengarannya menangkap sesuatu yang membuat dirinya bahagia. Mereka membicarakan penampilan baru dari Naila, pasti dia sangat cantik seperti kemarin atau mungkin lebih cantik. Setidaknya dengan mengubah penampilan, ejekkan yang sering dia makan akan berkurang atau bahkan lenyap bak ditelan bumi.
Regan memasuki kelasnya. Bukan hanya orang-orang yang berkemul di sepanjang lorong, tapi teman sekelasnya pun sedang membicarakan penampilan Naila yang berubah drastis. Namun, ada saja di antara mereka yang beranggapan bahwa perubahan yang dilakukan Naila hanya untuk cari perhatian saja atau untuk ketenaran saja.
Baru saja Regan duduk, Rama yang baru datang langsung menghampirinya dengan ekspresi tidak percaya.
“Gan, Naila yang kita bully berubah jadi cantik. Gila, kenapa cantiknya tidak dari awal dia datang. Gue nyesel, bully dia.” Rama tiba-tiba larut dalam imajinasinya, sementara Regan tidak peduli dengan apa yang diucapkannya, malah ia mencari yang dulu menjelma sebagai temannya.
“Btw, dia mana, lo gak bareng?” tanya Regan membuat dahi Rama berkerut.
“Gema? Gue gak tahu. Kalo dia lihat Naila, pasti dia juga klepek-klepek. Lo udah lihat?” Rama menatap penuh ke arah Regan.
“Belum,” jawabnya singkat.
“Payah, eh si Ninda kemana?” Rama menerawangkan tatapannya, mencari sosok Ninda yang biasanya di mana ada Regan di situ ada Ninda. Namun, sekarang enggak ada.
“Dia sakit, nanti pulangnya gue jenguk.”
Semenjak mendengar orang-orang menilai penampilan Naila, Regan penasaran dengannya. Meskipun semalam ia sudah menikmati wajah cantik Naila sampai malam hari. Namun tetap saja, ia sangat penasaran untuk penampilannya sekarang ini.
Gema baru datang, sepertinya dia terlambat, karena dari raut wajahnya menunjukkan sebuah kelelahan—mungkin akibat dihukum terlebih dahulu. Sebelum Regan berubah, ia dan keduanya sering dihukum karena terlambat datang ke sekolah. Di saat orang-orang mengeluh karena letih, mereka bertiga malah tertawa mengubah hukumannya menjadi sebuah permainan. Memang menarik, bukan?
Namun sayangnya, kemarin adalah akhir dari semuanya. Entah apa yang mereka junjung tinggi sampai bercerai-berai seperti ini. Entah itu emosi atau gengsi untuk mengatakan deretan kalimat penyesalan.
O0O
Ninda turun menghampiri ibunya yang tengah membantu Bi Ika di dapur. Tanpa menyapa, ia langsung duduk dan bersarapan. Mengetahui Ninda hadir di tengah-tengah mereka, Tira menghampiri buah hatinya.
“Gimana keadaanmu?” tanya Tira.
“Baikkan. Oh iya, katanya ayah pulang telat ya, Bu?” Ninda mengungkapkan kalimat yang di dengarnya semalam, guna mengisi pembicaraan pagi ini.
“Darimana kamu tahu?”
“Maaf, Bu, semalam aku menguping pembicaraan kalian. Lagian aku penasaran juga,” terang Ninda membuat Tira menggelengkan kepalanya pelan.
“Iya, ayah kamu akan pulang telat. Katanya ia ada meeting tentang kerja sama antar perusahaan. Apalagi yang kamu dengar semalam?”
Ninda menghabiskan terlebih dahulu makanan yang masih berada di mulutnya. “Ayah tidak menemukan jawaban saat di Bogor.”
“Kalo misalkan ayah, udah punya keluarga sebelum menikah dengan ibu bagaimana?” Ninda terdiam sebentar, menyerap kata-kata yang Tira lontarkan kepadanya.
“Ya, enggak apa-apa. Kalau ayah udah menumbuhkan rasa cinta di keluarga ini, tidak mungkin untuk pergi begitu saja. Cinta sejati tidak akan mati, cinta sejati tidak akan menuntunya untuk pergi,” jawab Ninda.
Tira tersenyum dan kembali membantu Bi Ika, sedangkan Ninda sibuk dengan sarapannya yang sesekali mengetik sesuatu di ponselnya. Baru pukul delapan pagi, masih ada waktu dua jam lagi untuk kedua temannya beraksi. Saat Ninda hendak kembali ke kamarnya, tiba-tiba suara mobil berhenti membuat dirinya urung.
“Mas Prasetya?” gumam Tira sambil menghampiri pintu rumah, sedangkan Ninda membeku di tempat.
Saat pintu terbuka, Tira terkejut bukan main. Wajah Prasetya begitu tidak semangat, kemelut rasa khawatir mulai menyerbu hatinya, hingga menimbulkan gerakan refleks dari tangannya yang terulur ke wajah suaminya itu.
Melihat wajah Tira yang begitu khawatir kepadanya, tiba-tiba Prasetya memeluk Tira dengan begitu erat sambil berteriak histeris membuat seisi rumah keheranan apa maksud dari teriakkan Prasetya yang menyenangkan itu.
“Ada apa?” tanya Tira saat Prasetya melepaskan pelukannya.
“Aku sudah ingat siapa diriku.” Prasetya menjeda cukup lama. “Aku Prasetya, pemilik Perusahaan Garuda. Dan—” Raut wajah Prasetya mendadak murung, tidak tega mengatakan fakta selanjutnya, bahkan ia sempat memalingkan wajahnya dari Tira.
Tira turut senang mendengar berita ini, tapi ia juga heran dengan raut wajah suaminya saat ini. “Dan? Apa?” Prasetya masih bungkam, begitu juga Ninda dan Bi Ika yang seketika bergeming setelah tersenyum senang.
“Dan kamu udah punya keluarga,” tebak Tira membuat hening sekitar. Seolah-olah telinga mereka kedap suara, ungkapan itu mengejutkan semuanya.
Prasetya menganggukkan kepalanya hati-hati. “Perusahaanku diambil alih oleh adikku, dan yang meminta kerjasama adalah adikku. Dia sangat terkejut hingga dia melarikan diri dari hadapanku, data diri dia sudah aku amankan. Dan alasanku, pulang aku ingin kita pergi bersama menemui adikku.”
Tira menghela napas pendek, refleks kedua sudut bibirnya terangkat lalu menganggukkan kepalanya.
Melihat hal itu Ninda melancarkan niat untuk kembali ke kamarnya. Ia tidak percaya dengan semua ini, hatinya tak karuan, takut ayahnya akan meninggalkan keluarganya. Meskipun, tadi ia telah berucap dengan yakin bahwa ayahnya tidak akan pernah meninggalkan keluarganya. Namun, setelah mendengar berita menggemparkan ini, semuanya seolah melemah.
“Ninda, kamu mau ikut?” seru Prasetya saat mendapati Ninda menaiki tangga untuk ke kamarnya.
“Hm, kayaknya tubuhku masih lemas. Aku istirahat saja, Yah,” jawab Ninda setenang mungkin.
Tira bersiap-siap di kamarnya, sementara Prasetya sangat cerewet kepada Tira agar mempercepat aksinya. Prasetya takut Randi—adiknya—kabur. Kenapa? Pasalnya dia sangat ketakutan sampai melarikan diri dari hadapannya, sudah dapat dipastikan adegan seperti itu menyimpan rahasia.
“Ayo, Yah,” ujar Tira sembari menenteng tasnya.
“Maaf, untuk ini aku cerewet banget, karena aku takut dia kabur dari rumahnya.” Prasetya masuk ke mobil, begitupun Tira yang hanya menganggukkan kepalanya, mengerti.
Hati Ninda tidak tenang, sebenarnya ia ingin sekali bertemu keluarga ayahnya. Ninda ingin menyaksikan momen haru sang ayah yang telah belasan tahun tidak bertemu dengan keluarganya. Fiks! Dalam sedetik Ninda berubah pikiran, ia ingin menyaksikan momen itu. Dengan secepat kilat ia memesan ojek online dengan alamat tujuan asal, sambil menunggu ojek online Ninda mengganti pakaiannya tanpa mandi dan membanyakkan aroma parfum.
Tak perlu menunggu lama, ojek pesanannya datang. Mobil ayahnya masih kelihatan, dan kabar baiknya mobil itu menepi di sebuah pom bensin. Ninda telah bekerja sama dengan ojek online, untuk membatalkan pemesanan sistem aplikasi, dan Ninda juga sudah mengiming-iming ojek tersebut dengan ongkos lebih.
Ninda menerawangkan tatapannya saat memasuki kompleks perumahan. Suasananya yang segar, serta rumah yang berderet rapi dengan situasi sekitar bersih membuat Ninda tersenyum sekilas. Ninda menatap jam tangannya, masih ada waktu lima belas menit lagi sebelum kedua temannya beraksi untuk membalaskan dendam kepada gadis mistis tak tahu diri itu.
Akhirnya Ninda menghentikan ojek tersebut dengan jarak yang cukup jauh dari parkir mobil ayahnya. Dari kejauhan, Ninda melihat ayahnya langsung masuk begitu saja ke sebuah rumah. Cekatan Ninda memberikan dua lembar uang seratus ribuan, dan meminta ojek tersebut jangan dulu kemana-mana. Toh, Ninda hanya ingin menyaksikan momennya saja, tidak lebih.
Ninda setengah berlari dan tertahan di penyangga pagar rumah itu. Momen haru yang ia duga hancur seketika, ternyata ayahnya malah berdebat dengan adiknya—mungkin. Ibunya terus berceloteh agar tidak membuat keributan.
“Kalian mau kemana? Mau kabur?” tanya Prasetya membuat Randi dan istrinya terkejut saat keluar dari rumahnya.
“Eh, Mas Pras,” kejut istrinya Randi yang bernama Mia.
“Kalian enggak bisa kemana-mana, apa yang kalian sembunyikan. Mana Nara?”
Ninda mengerutkan dahinya saat ayahnya berkata Nara, apakah itu nama istrinya? Sementara ibunya terus mengelus tangan ayah untuk tetap tenang.
Randi tersenyum sinis kepada Prasetya. “Nara udah meninggal, gantung diri semenjak lima tahun kamu hilang. Dia depresi berat, karena kamu enggak pernah pulang. Dan sekarang, kamu kembali dengan orang lain, laki-laki macam apa kamu ini!”
Hati Ninda menggebu kencang saat ayahnya dihina seperti itu, yang ia kenal ayahnya itu penuh kasih sayang. Dan dengan lihai, laki-laki bertubuh lebih pendek dari ayahnya berbicara seperti itu. Ingin sekali ia menampar laki-laki itu sekarang juga, tapi dia urung. Toh tujuan awalnya bukan untuk itu.
Prasetya terdiam pikirannya terus melintasi waktu dengan ribuan adegan di dalamnya. “Apa yang kamu lakukan pada Nara?”
“Hei, kamu enggak dengar Nara udah meninggal.” Randi tampak kesal.
“Lalu anakku—”
“Anakmu? Dia lagi sekolah,” jawab Randi.
Lagi-lagi Ninda terkejut, ayahnya sudah mempunyai anak dari istrinya yang dulu. Ninda semakin mempertajam telinganya, agar gelombang suara yang keluar dari mulut mereka diterima dengan baik.
“Kamu jangan senang dulu, biaya anakmu sekolah dan keperluan lainnya seperti mengurus jenazah istrimu, menguras habis dompetku,” ujar Randi dengan tawa mengerikan di ujung kalimatnya.
“Kamu benar-benar biadab! Setelah merebut perusahaanku, kamu juga menghitung biaya hidup keluargaku!” Prasetya telah berapi-api, tidak mengerti kenapa adiknya menjadi seperti ini.
Randi melebarkan senyumnya. “Hidup ini perlu uang, dan menghidupi selama tujuh belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Ya itu pun, kalo anakmu ingin kembali.”
“Di mana anakku!” seru Prasetya yang perlahan mulai terkikis rasa sabarnya.
“Naila sekolah di Ganesha High School.”
Tira terkejut. “Itu sekolahnya Ninda.”
Bagaikan petir di siang bolong, Ninda membatu di tempat, tubuhnya sangat lemas, bahkan hampir ambruk. Orang yang menjadi landasan kebencian dan ajang balas dendam adalah anak kandung ayahnya, rasa bersalah seketika terlahir membuat bulu-bulu di tubunya meremang. Beginikah balasan untuk ayahnya? Apalagi ia telah menyuruh temannya untuk membully Naila. Sekilas Ninda menatap jam tangannya. Pukul sepuluh kurang lima menit, yang artinya lima menit lagi istirahat berlangsung. Mengetahui hal itu, ia berlari menuju ojek itu dan meminta untuk mengantar ke GHS.
O0O