Bel istirahat berbunyi dengan lantang, seluruh pengisi kelas XII IPS 1 berhamburan keluar kecuali Ana dan Evi. Mereka sibuk merancang tugas dari Ninda, yaitu membalas perbuatan Naila. Ana dan Evi akan mempermalukan gadis itu di kantin, dengan embel-embel tidak sengaja. Setelah mendapatkan ide, mereka malah membahas tentang penampilan Naila yang baru.
“Bagus banget tuh cewek, ketika kita mau ngerjain, dia dandan, ini akan lebih menarik, bukan?” ujar Ana.
“Kok gue merinding, gimana kalo kita dihukum?” Ini merupakan pertanyaan yang kesekian kalinya Evi lontarkan kepada Ana.
Ana menghela napas pendek. “Buatlah hidup lo berkesan, dihukum satu kali enggak apa-apa kali. Lagian kita bisa ancam dia untuk bungkam, lo tenang aja.”
Ana dan Evi beranjak dari bangkunya, menuju kantin. Selama diperjalanan, seperti pagi tadi orang-orang yang berada di sepanjang koridor membicarakan Naila yang bepenampilan cantik. Setelah viral karena kesialannya kini gadis itu viral dengan perubahanya. Taktik yang bagus untuk mencari perhatian dan menjadi pupuler di sini.
Mereka duduk di bangku biasanya. Evi melihat Regan duduk menyendiri, memisahkan diri dari Gema dan Rama. Perselisihan kemarin ternyata nyata, yang sebelumnya ia anggap akting.
“Gue pikir kemarin Regan sama Gema itu bohongan, ternyata beneran. Kenapa ya?” tanya Evi menumpas keheningan di bangkunya.
“Maksudnya?” Ana bingung dengan pertanyaan Evi.
“Lo belum tahu? Makannya jadi orang gaul dong, kata si Rere kemarin Gema sama Regan baku hantam. Tepatnya saat kita di perpustakaan, ya, gue pikir mereka hanya becanda aja gitu.” Evi tiba-tiba menepuk Mang Kido, penjual bakso yang sedang mengantarkan pesanan ke bangku di sampingnya. “Mang aku pesan yo, biasa aja paket Pak Jaya. Jangan terlalu pedas, tapi kecapnya tambahin dikit. Lo mau pesan?”
“Enggak deh.” Mang Kido pergi dari hadapan mereka. “Kok lo malah makan sih, kan kita mau ngebully, mau numpahin dua jus ke wajah Naila,” bisik Ana.
“Yaelah, orang dianya juga belum datang, kalem aja. Mending lo beli jusnya, gue mau meluncur dulu ke Instagram,” suruh Evi seenak jidat membuat Ana sedikit terbelalak lalu menggelengkan kepalanya kesal.
Ana berlalu dari hadapan Evi yang langsung senyum-senyum sendiri menatap layar ponselnya. Ana membeli jus mangga dan jus jeruk setelah itu kembali ke bangkunya bersamaan dengan Mang Kido yang menyajikan bakso di bangkunya.
Baru saja Evi hendak mengaduk baksonya agar bumbu yang menyelimuti atasnya merata, Ana menggebraknya membuat Evi menatapnya sebal. “Apa?”
“Tuh, ratu caper datang.” Ana menunjuk Naila yang berjalan dari arah kelas sebelas—mungkin dia sudah di WC.
Sebenarnya Evi tidak yakin untuk rencana ini, hatinya mendadak dag-dig-dug dengan rencana ini. Apalagi penampilan Ninda menjadi sorotan banyak orang, dan menuai komentar positif.
“Hai, cewek caper.” Naila terhenti saat Ana menghalangi jalannya. “Gillla, saat orang-orang membicarakan kesialanmu, sekarang lo hadir dengan penampilan yang berbeda. Lo belajar drama darimana? Plot twist yang menakjubkan. Namun sayangnya, perubahan lo yang sekarang tidak mampu untuk memaafkan kesialan lo atas teman gue dan rasa patah hati gue.”
Orang-orang di sini mulai menyorot ke arah mereka bertiga. Seolah-olah mereka menunggu adegan selanjutnya dari sebuah teater. Sementara Regan yang duduk menyendiri terdiam, ia bingung sendiri untuk bertindak. Pasalnya dalang dari pembicaraan mereka adalah pacarnya sendiri.
Evi berusaha untuk kelihatan garang, jujur saja hatinya jedag-jedug. “Ya Tuhan!” hatinya menjerit.
Di sisi lain seseorang mematung melihat aksi yang akan dilakukan Ana dan Evi terhadap Naila. Selama ini, hanya telinganya saja yang dipenuhi huru-hara seperti ini. Toh, dia menyibukan diri di ruang organisasi atau berkumpul dengan teman satu ekskulnya di basecamp.
“Ka-kamu mau ngapain?” tanya Naila dengan nada bergetar.
“Hah.” Ana membelalak. “Ternyata lo bisa ngomong, gue pikir lo bisu.” Ana tersenyum sinis, “Api dibalas api. Lo pahamkan maksud gue.” Ana memutar menoleh ke sampingnya. Ia mengedipkan salah satu matanya ke arah Evi, yang entah apa sebabnya ia sedikit tersentak.
Sedangkan di bawah atmosfer yang sama, di belahan tempat yang berbeda seorang perempuan berlari secepat mungkin dengan mata sudah berkaca-kaca. Ia tidak peduli, orang-orang yang memenuhi sepanjang koridor menatapnya aneh. Diizinkan memasuki sekolah dengan pakaian bebas seperti ini, dirinya sudah sangat bersyukur.
Matanya membulat saat melihat sosok yang dicari-carinya sudah berada diujung dua tombak rakitannya. Cekatan, ia berlari dan menyalip dua tombak yang siap menerjang sosok yang di carinya. Tangannya merentang, menghalangi sosok itu. Dan….
BRASH!
Dua jus berbeda rasa mendarat tepat di kepalanya dan punggungnya. Sementara Naila menyilangkan kedua tangannya di depan wajah, bersiap-siap menangkis jus itu.
“NINDA!” Ana dan Evi benar-benar sangat terkejut dengan kehadiran Ninda yang menghalangi aksi yang didalanginya.
Bukan hanya Ana dan Evi yang terkejut, seisi kantin yang menyaksikan kejadian ini terkejut bukan main, bahkan mereka langsung berdiri saling menyusul saking terkejutnya. Regan terbelalak atas kehadiran Ninda.
Bukannya, semua ini rencana Ninda? Hatinya bercakap-cakap.
“Nin-da, a-apa yang lo laku-kan.” Ana gelagapan tidak mengerti akan ulah yang dilakukan oleh Ninda.
Yang dilindungi hanya bisa menatap Ninda tidak percaya, salah satu orang yang menjatuhkannya mengagalkan rencananya sendiri. Naila tidak mengerti, kenapa Ninda menangis dibalik senyumnya yang sangat sulit ia deskripsikan, apa makna dari tangis dan senyumnya itu.
Ninda memeluk Naila dengan begitu erat. Lagi-lagi orang yang berada di sekitarnya terkejut, apa yang sebenarnya terjadi.
“Naila?” Kezia yang baru nongol segera mendekati Naila yang tengah dipeluk Ninda, tentunya dengan ekspresi heran.
“Gue minta maaf,” lirih Ninda membuat Naila tambah heran.
Melihat apa yang dilakukan Ninda kepada Naila, membuat Ana geram sendiri sampai ia menarik tubuh Ninda untuk menjauh dari Naila. Lalu menatapnya tajam.
“Lo ini apa-apaan sih! Kok lo malah lindungi dia, bukannya lo yang menginginkan semua ini?!” ujar Ana tajam.
Kezia memeluk Naila yang masih tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sini. Kenapa Ninda tiba-tiba saja menggagalkan rencananya dengan menjebloskan diri.
“Jawab Nin!” Ana mendesak.
“Karena dia saudara gue!” jawab Ninda dengan begitu tegas, membuat orang-orang di sini tambah tidak percaya.
Pernyataan Ninda berhasil membuat efek kejut yang luar biasa di dada Naila. Apa maksudnya? Bukankah paman dan tantenya bilang bahwa orang tuanya telah meninggal, kalau begitu bagaimana Ninda mengetahuinya? Deretan pertanyaan tiba-tiba timbul di benak Naila.
“Gue baru tahu, bahwa bokap gue udah punya keluarga sebelum gue. Dan gue juga baru tahu, bahwa gue bukanlah anak dari bokap gue yang sekarang. Tapi dia telah memberi gue kebahagiaan. Gue mengutuk diri sendiri, apa yang membuat dirinya bahagia, malah gue hina seperti ini. Nai, ayah kamu sedang menunggumu,” lirih Ninda berhasil membuat seisi kantin hening.
Naila terkejut bukan main, apakah ia tidak salah dengar? Ayahnya masih hidup. Perlahan kedua bola matanya berkaca-kaca, ia menghampri Ninda yang tersenyum dibalik tangisnya. Kezia menatap keduanya dengan begitu haru, Regan masih membeku di tempat begitu juga Rama dan Gema yang masih menatapnya tidak percaya.
Naila memeluk Ninda dengan tubuh yang sudah bergetar. Ia tidak tahu harus apa sekarang, mendengar fakta bahwa ayahnya belum tiada adalah sesuatu yang sangat luar biasa.
“Aku ingin bertemu dengannya,” ujarnya dalam peluk.
Ninda melepaskan peluknya, lalu mengangguk dan menggenggam tangan Naila. Keduanya berjalan meninggalkan kantin, melunturkan tatapan aneh orang-orang yang berada di sini.
“Ninda!” Ana greget. Tanpa sengaja tatapannya, menangkap sosok itu. Sosok yang selalu ia dambakan. Dia menatapnya kecewa.
“Gue ikut!” sahut Regan membuat orang-orang menatapnya heran.
Rama ambigu, ingin sekali ia ikut bersama Regan. Tapi, di sisi lain ia tidak mau membuat Gema menuduh yang bukan-bukan. Laki-laki pencinta game online itu seketika tidak acuh, dan kembali fokus dengan game yang sedang dimainkannya. Rama terdiam, berharap pertemanannya kembali membaik.
Ninda memesan mobil online, cukup menunggu beberapa menit mobil pesanannya datang. Ninda menuliskan alamat tujuannya yaitu rumahnya sendiri, tapi ketika sampai mobil ayahnya tidak ada.
“Mas, ke perumahan Mandalawangi, nanti aku tambah ongkosnya.” Naila menatap heran kepada Ninda. Sementara Regan, sejak bergabung dia masih bergeming.
“Pak Randi sama ayah adalah saudara, kan? Skenario Tuhan memang indah, Pak Randi mau bekerja sama dengan perusahaan ayah, mendadak ingatannya pulih. Ya ayah hilang ingatan setelah mengalami kecelakaan, lalu menikah dengan ibu gue yang sedang ngandung gue. Ayah selalu di teror oleh mimipi-mimpi yang mungkin masa lalunya. Dari sana ayah menelusuri masa lalunya. Ayah sempat tidak peduli dengan hilang ingatannya, yang mungkin ia takut akan masa lalu yang bisa menyakiti keluarga gue.”
Naila menganggukkan kepalanya mendengar cerita dari Ninda. “Apa kamu sekarang tersakiti?”
Sontak Ninda membeku sejenak. “Enggak, gue merasa tersakiti saat gue mengetahui orang yang gue bully adalah kebahagiaan ayah-gue.” Ninda mendadak ragu dengan ungkapan ‘ayah gue’ pasalnya Prasetya bukanlah ayah kandungnya.
“Kamu enggak perlu ragu, kita adalah saudara.” Tanpa sengaja Naila melihat Regan memperhatikannya dari cermin mobil. “Hm, aku harap kamu enggak salah paham. Kejadian kemarin, memang kesalahanku. Aku bangga dengan Regan, dia orangnya baik, meskipun sebelumnya aku pikir dia jahat. Nin, kamu maafin Regan ya, yang soal kemarin?”
Regan mengalihkan pandangannya, seolah tugasnya itu hanya menjadi cikcak putih saja. Menyimak.
“Dan yang membuatku berubah begini juga Regan, dan sekali lagi kamu jangan salah paham.”
Ninda tersenyum. “Enggak apa-apa, gue minta maaf atas semua yang pernah gue lakuin ke lo, Nai.”
Naila menganggukkan kepalanya. “Eh, Pak, stop!”
Ketiganya turun dari mobil, Ninda memberikan satu lembar seratus ribu membuat sang sopir terperangah hendak menolak. Tapi, Ninda tidak peduli malah ia telah menyusul Regan. Sementara Naila telah masuk ke dalam rumahnya.
“Naila?” kejut Randi.
Prasetya dan Tira langsung berdiri dan memutar tubuhnya. Bahkan Prasetya, langsung memeluknya. Yang dipeluk terdiam cukup lama, beginikah rasa peluk sang ayah? Beginikah kasih sayang sang ayah? Dan beginikah rasa bahagia saat di cium sang ayah? Betapa merindingnya Naila merasakan semua itu. Selama hidupnya, ini merupakan kali pertama Naila merasakan kebahagiaan yang tidak akan ada tandingnya.
“A-ayah.” Suaranya parau, Naila mengeratkan pelukannya. Tidak peduli dengan air mata yang terus berderai sampai membasahi pakaian ayahnya.
“Anakku sayang,” timpal Prasetya yang juga telah berderai air mata.
Tira yang berdiri di sampingnya tertegun, mengabaikan tangis bahagia yang membanjiri pipinya. Sementara Randi dan istrinya terdiam, tapi tidak melunturkan ekspresi sinis dari wajahnya.
Sedari tadi Regan menahan Ninda untuk masuk ke dalam, bahkan Regan menyuruh Ninda untuk tidak bersuara sedikitpun. Bukan seperti ini yang Ninda inginkan, dari awal Ninda hanya ingin menyaksikan suasana haru berlapis kebahagiaan untuk ayahnya. Hanya itu.
“Sudah-sudah, sekarang bukan waktu yang tepat untuk memadu kasih sayang. Mana uangnya, kami udah menjaga Naila sampai sebesar ini, tentunya membutuhkan uang yang sangat banyak.” Randi terus memanjakan nama uang.
Prasetya hendak memberikan kartu rekening kepada Randi, cekatan Regan masuk ke dalam tanpa mengajak Ninda. Ingin sekali Ninda memukul pacarnya itu, sayangnya ini bukan waktu yang tepat.
“Tunggu!” Orang-orang yang berada di sini terkejut atas kemunculan Regan. “Om Randi bukanlah orang baik, setiap harinya Naila selalu diperbudak di rumah ini. Sabil dan ibunya pun selalu memperlakukan Naila seperti asisten rumah tangga.”
“Heh, apa maksud kamu bocah ingusan! Naila coba ceritakan bagaimana hubungan kita dalam keluarga ini,” sanggah Randi. Naila membeku kebingungan, haruskah ia berkata jujur atau dusta agar pamannya baik-baik saja.
“Kalau Naila yang jawab, mungkin dia akan berdusta demi kebaikan kalian. Tapi, aku punya bukti untuk membuktikan ucapanku.”
Randi dan istrinya seketika bungkam. Sementara Prasetya, Tira, Ninda, juga Naila menatap heran ke arah Regan. Apa yang akan dibuktikan oleh Regan? Dan, ya. Mungkin Naila akan berdusta kepada semua orang yang berada di sini untuk kebaikan keluarga pamannya.
“Ini adalah video saat malam kemarin, meskipun sedikit terhalang oleh gorden bagiku ini bukti yang kuat untuk menjebloskan kalian ke ruang tahanan.” Regan menyodorkan ponselnya yang menayangkan video.
Dalam video itu menunjukkan keluarga Randi yang tengah memukul Naila karena pulang malam, belum lagi tindakan istrinya yang mendorong pelipisnya, dan Sabil yang mendorong tubuhnya sampai terpojok ke sofa.
Kamu itu jadi anak enggak tahu diri! Jam segini baru pulang malah dengan laki-laki lagi! Sekali lagi kamu melakukan ini, akan aku usir dari rumah ini!
Noh kerjaan dapur numpuk! Kamu pikir hidup ini gratis!
Nih kerjain PR gue yang benar, besok dikumpulkan! Selamat begadang, babe!
Meskipun tidak jelas dalam hal penggambaran, tapi telinga pendengar di sini masih baik-baik saja kendati suara yang terekam terdengar samar. Wajah Randi dan istrinya memucat, kehadiran Regan di sini merupakan prahara bagi mereka.
“Dan aku punya bukti lagi.” Dalam hati, Regan tertawa penuh dengan kemenangan. Saat Naila menceritakan kehidupannya kemarin, ia rekam tanpa sepengetahuan Naila. Randi dan istrinya semakin memucat kebingungan harus berbuat apa sekarang.
Tira menutup mulutnya tidak percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan. Mereka benar-benar keteraluan, dan benar saja kata Regan, mereka bisa dilaporkan ke pihak berwajib atas dasar kekerasan pada anak dan perempuan.
“Kamu benar-benar keteraluan! Kamu adik macam apa, menyiksa darah dagingku! Aku akan melaporkanmu, Randi!”
“Ayah, kurasa ayah enggak perlu melaporkan mereka. Aku mohon. Maafkan mereka, lagi pula aku baik-baik saja kok,” mohon Naila.
Yang awalnya pucat, kini wajah mereka kembali normal. Naila memang anak yang baik, sejahat apa pun sikap keluarga Randi kepadanya ia tidak akan tega jika sampai dijebloskan ke penjara.
“Ini merupakan permintaan pertama anakku, jadi baiklah aku akan memaafkan kalian. Tapi, awas saja jika kalian kembali mengusik keluargaku. Tidak akan ada lagi kata maaf bagi kalian.” Prasetya menggandeng Naila meninggalkan rumah ini, disusul oleh Tira yang juga merangkul Ninda dan Ninda memegang tangan Regan.
Aku salut dengan kamu, Gan.
O0O
Ana berlari meninggalkan Evi yang semenjak kejadian tadi membeku. Ana mengejar David yang berlalu ke ruang osis, ia menahan cowok itu.
“Vid?”
David masih bergeming.
“Apa yang gue lakuin tadi, itu bukan keinginan gue! Gue hanya bantuin Ninda, Vid!” jelas Ana.
David melepaskan genggaman Ana. Ia memutar tubuhnya menatap Ana penuh kekecewaan. “Gue gak peduli. Mau itu keinginan lo atau bukan. Gue sengaja memberi jeda untuk membalas apa yang lo rasakan kepada gue, tapi, semenjak kehadiran Naila, gue semakin berpikir saat denger berita-berita tentang pembullyan lo kepada Naila. Awalnya sih gue enggak percaya, tapi setelah melihatnya tadi, gue cuma ingin mengingatkan. Lo gak boleh berharap lagi sama gue.”
“Vid, tapi gue serius, itu keinginan Ninda!” seru Ana.
David tersenyum. “Lantas apa yang membuat lo patah hati?”
Ana terdiam cukup lama. “Gue patah hati karena gue lihat lo dekat sama Naila,” ungkapnya.
“Berarti pembullyan yang lo lakukan enggak sepenuhnya perintah Ninda, tapi keinginan lo juga. Gue kecewa sama lo, An!” pungkasnya.
David masuk ke ruangan osis meninggalkan Ana yang membatu. Perasaannya benar-benar hancur mendapatkan penuturan dari David. Apa yang diucapkan David benar, ia sangat senang saat mendapatkan tugas dari Ninda, karena ia juga bisa melampiaskan kekesalannya kepada Naila. Karena cewek itu dekat dengan David.
“Gue akan tetap berusaha untuk lo, Vid!” tutur Ana membuat David kembali menoleh.
“Lo enggak akan bisa, karena sekarang gue jatuh cinta sama Naila.”
Ana terdiam lantas disusul dengan tawa sumbang. “Hah? Lo kecewa sama gue? Dan lo jatuh cinta sama Naila? Lo tau Vid, lo adalah cowok paling jahat sekarang. Jangan sampai apa yang lo sembunyiin dari dunia ini, juga menyakiti Naila. Kalau sampai itu terjadi, lo dan gue enggak jauh beda!”
“Apa maksud lo?”
“Regan bilang lo punya rahasia.”
O0O