POV ALUNA
Namanya Aubrey kelas 12 IIS C. Kabarnya setelah dia menjadi pemenang pertama, dia selalu menjadi orang nomor satu di sekolah yang ditunjuk sebagai perwakilan dari SMA Extraordinary untuk acara-acara di tingkat nasional. Misalnya, menjadi duta pariwisata perwakilan Jakarta Pusat.
Sesuai dengan tujuan diadakannya ambasador yang mencari ikon sekolah, pemenang juga akan mendapatkan peluang besar ketika ada pertukaran pelajar nantinya. Aubrey pun sudah merasakan saat dirinya ditunjuk untuk pertukaran pelajar ke Malaysia.
“Gosipnya sih enggak lama setelah itu, Kak Aubrey jadian sama Kak Joe pasangannya pas ambassador kemarin,” tambah Lily panjang lebar padaku usai jam pelajaran pertama.
Sambil menunggu guru yang selanjutnya datang, aku iseng menanyakan perihal kakak kelas. Tapi tak disangka, Lily begitu antusias saat menjawab pertanyaan dariku layaknya seorang fan yang menjelaskan tentang idolanya.
Kedua telapak tangan Lily saling bertaut. Matanya pun berbinar cerah seolah membayangkan adegan penembakan cinta antara Joe dengan Aubrey. “Romantis banget waktu Kak Joe nembak dia.”
“Masa, sih? Kok gue enggak tahu, ya?” Aku mengernyit.
“Ah, lo kudet amat sih.”
Kuteguk air mineral dari botol minum. “Ya maaf. Hidup gue di sini kan enggak jauh dari tiga cowok itu.”
Lily menoleh ke belakang, ke arah yang kumaksudkan. Lalu, dia menghela napas dan menatapku kembali. “Eh, serius nih. Gue mau nanya sama lo, Na.”
“Apa?”
“Lo jadian ya sama Kale?”
“Apaan, sih? Enggak, kok.” Aku membuang wajah ke sembarang arah.
“Ah, masih aja ngelak lo. Jelas-jelas lo ngasih bekal ke dia tadi. Dan tatapan Kale ke lo itu lho, ihh... beneran, ini enggak bisa dibiarin.”
“Apaan sih, Ly? Terus emang salah kalo gue ngasih bekal ke temen gue sendiri?” Aku khawatir dia akan membocorkan hubunganku dengan Kale. “Ngomongnya juga jangan keras-keras gitu napa, sih.”
“Jadi, beneran lo jadian sama Kale?”
Aku merasa semua mata tertuju pada kami. Bagaimana tidak kalau cara Lily melontarkan pertanyaan tersebut sudah seperti orang kebakaran rumah? Lantang sekali!
Napasku sesak. Aku sama sekali tidak berani melihat Kale sekarang. Suasana kelas pun menjadi terasa panas dan menegang. Karena seluruh siswa yang ada di 11 IIS A mengetahui jelas bahwa Kale menyukai Venya, bukan aku.
Segera saja aku berdiri. Aku benar-benar sesak di sini. Dan aku berlari keluar kelas. Iya, berlari. Persetan dengan larangan dokter kemarin.
“Mau ke mana?” teriak Lily.
Tak kugubris lagi teriakannya itu. Aku sudah tidak peduli. Sekarang aku hanya ingin menjauh.
***
Langkahku terus berderap berlari menuju toilet cewek yang berada di ujung lorong dekat UKS di lantai satu. Napasku sudah kacau. Megap-megap juga. anxiety-ku kambuh. Aku merasa seperti ikan yang terlempar dari pantai ke daratan.
Tubuhku merosot di dinding wastafel. Aku sudah tak kuat. Tapi pikiranku masih saja ribut tentang Lily yang tega banget ngomporin gitu. Kalau gini kan aku jadi tambah sulit bikin Kale suka sama. Boro-boro suka, deketin hatinya saja agar luluh susah. Ah, tapi kan kami ada di grup yang sama. Apa aku left saja, ya?
Apa sebaiknya aku membolos lagi? Aku tak mau mendengar kicauan dari teman-teman dulu. Bisa-bisa meledak kepalaku ini nanti. Oke kalau tidak ada yang orang ketiga dalam hubunganku dan Kale, itu bisa kuatasi mungkin. Tapi ini ada Venya, cewek yang disukai Kale dan juga cewek yang dijodohkan, entah siapa. Aku harus apa?
“Bodoh, bodoh, bodoh,” kuhentak-hentakkan kedua kaki dan mulai menangis. Kuraih ponsel di saku, lalu membuka aplikasi WhatsApp. SAYANGSNYA GUE! π€ adalah grup chat yang kubuat sejak kelas 10 beranggotakan diriku, Kale, Gema, dan Javier. Saat itu sampai kemarin hubungan mereka baik-baik saja. Tapi saat ini? Tidak ada yang tahu kalau akan seperti ini.
You left
Pada akhirnya, aku sendiri yang memutuskan untuk pergi. “Semua salah gue! Kenapa gue selancang itu sih kemarin? Tapi pikiran dan hati gue cuma ke Kale.”
Beberapa detik kemudian aku menyesal telah menggerutu keras-keras seperti itu, karena tiba-tiba terdengar suara flush dari salah satu bilik toilet, disusul suara pintu yang dibuka.
Ah, sial! Harusnya aku mastiin dulu tadi ada orang apa tidak. Ya tapi kan lagi nangis, mana sempat ngurusin gituan. Lagian juga ini masih jam pelajaran. Tapi bukannya pergi keluar dari toilet, aku malah terpaku di tempat.
“Hai,” sapa cewek cantik berperangai indo. Dia menyalakan keran dan mencuci tangannya. Sementara itu, mataku tertuju ke arahnya saking cantiknya. “Kayaknya gue belum pernah lihat lo deh. Anak baru, ya?”
“Hah? Enggak, kok.” Aku menyeka air mata. “Gue kelas 11, Kak. Tapi emang jarang terekspos di sekolah.” Sambil sesegukkan, aku berusaha bangkit dan berdiri sejajar dengannya. Mataku menyipit untuk melihat name tag-nya. “Oh, Kak Aubrey?”
Aubrey menghadapku dan mengulurkan tangan kanannya. “Aubrey, 12 IIS C.”
Senyumku terulas menyambut jabatan tangan cewek berambut panjang kecokelatan itu. Ternyata setelah ada hal yang membuatku sedih hari ini, ada juga yang membuatku senang. “Aluna, 11 IIS A.”
“Lagi kelas apa?”
“Oh, itu. Ng..., gue lagi cabut kelas, Kak. Jangan bilang ke Bu Susi, ya. Please....” Kedua tanganku merangkum pipiku sendiri.
Aubrey tertawa, membuatku semakin memberengut. “Nyantai aja sama gue. Temenin gue ke kantin, yuk! Lagi jamkos, nih.”
“Apa?”
“Gue traktir.” Aubrey menggandeng tanganku. “Lo pasti belum makan, kan? Muka lo pucet gitu.”
Pada kenyataannya memang aku tak pandai menyembunyikan sesuatu dari siapapun.
***
GEMA: Knp left?
JAVIER: Lo di manaaa? Knp left? Lo gak syg sama gue lg? βΉ
Dua chat WhatsApp datang bersamaan tak lama setelah aku keluar dari grup. Aku hanya membacanya saja tanpa niatan untuk membalas. Aku pun sudah mengatur untuk tidak memperlihatkan last seen dan mematikan centang biru.
“Hei, jangan bengong gitu,” kata Aubrey seraya menyodorkan nampan padaku. “Ayo, ambil menunya!”
Aku memasukkan ponsel saat benda tersebut kembali bergetar. Tapi kali ini panggilan masuk dari Kale dan aku sangat malas meresponsnya mengingat kelakuan cowok itu pagi tadi. “Thanks, Kak.”
Salmon segar, jus jeruk, dan buah apel menjadi menu pilihanku. Lalu, menyantapnya dengan lahap. Aku benar-benar lapar ternyata.
“Itu menu bagus untuk jantung, lho.”
Aku mengangguk sambil tersenyum. “Oh iya, Kak. Ng...,” aku menelan gumpalan salmon, “omongan yang Kakak denger di toilet tadi, jangan kasih tahu siapa-siapa ya.”
Kerutan halus tercetak jelas kening Aubrey. “Kale?” tanyanya. Aku mengangguk dengan cepat. “Namanya lumayan populer di sini, tapi gue enggak pernah tahu orangnya yang mana. Jadi nyantai ajalah. Toh, ngapain juga gue ngurusin yang bukan urusan gue.”
Ternyata Aubrey sebaik ini orangnya. Selain cantik, pintar, baik, dia juga supel. Lalu, bagaimana dengan aku nanti? Apa aku bisa kayak dia? Tapi kurasa tidak jadi pemenang utama itu enggak masalah, asal aku bisa ikutan ambassador tahun ini bersama Kale udah cukup, kok.
“Thanks, Kak.” Kusesap sedikit jus jeruk, lalu kulipat kedua tangan di atas meja. “Ng..., boleh nanya enggak, Kak?”
Aubrey meletakkan sendoknya. “Silakan.”
“Kakak kan pemenang Extraordinary School's Ambassador tahun lalu, kan?”
Aubrey mengangguk. “Iya.”
“Persyaratannya apa aja?”
“Aluna!” []
Gema pengingat yg baik emang. Gak kek kale ππ
Comment on chapter BUKU HARIAN UNA (BH 4)