POV ALUNA
“Itu bekal pasti buat Kale,” tebak Javier yang berada di sisi kananku, sedangkan Gema berada di sisi yang lain. Kami tengah berjalan menuju kelas. Obrolan tadi tentunya masih meninggalkan tanda tanya besar bagi Javier dan Gema. Tapi sesuai permintaanku yang meminta untuk tidak mengungkitnya di depan Kale, jadi mereka diam.
Lagipula tentang kondisi jantungku ini tidak perlu dibesar-besarkan. Aku masih kuat.
“Iya, tapi kayaknya sia-sia gue bikinin ini buat dia.” Aku tersenyum kecut. “Faktanya keberadaan gue masih kalah dengan keberadaan Venya.”
“Wah, ini enggak bisa dibiarin.” Javier menggeleng-geleng. “Gue bilangin ya ke Kale.”
“Eh, jangan. Itu mah malah mempermudah gue dong namanya. Udah enggak apa-apa, kok. Biar aja gue yang nyelesein semuanya. Lagian juga gue bakal lebih puas kalo hasil sendiri.”
“Eh, kenapa, Gem? Kok berhenti?” Suara Javier terdengar hingga aku yang sudah beberapa langkah di depan mereka pun berbalik badan.
Gema menatapku tajam. “Gue perhatiin dari tadi omongan lo ngelantur, Na. Enggak kayak biasanya. Jujur aja sebenernya lo kenapa?”
Aku menghela napas, lalu mendadak dadaku terasa sedikit sakit. Ah, kenapa harus sekarang, sih?
“Eh, lo kenapa?” Javier ternyata menyadari kelakuanku. Dia memang paling tanggap. Dia langsung menangkap tubuhku yang hampir terhuyung ke samping.
“Una sakit?” tanya Gema. Dia ikut memegang keningku.
“Oh, eh, apaan sih, Gem?” Aku menepis lengannya dari keningku. “Gue enggak apa-apa. Cuma tiba-tiba agak sakit di sini barusan,” aku menunjuk letak yang sakit, “tapi sekarang udah baikkan.” Aku memeluk Javier sebentar, lalu berbisik, “Jav, help!” Aku mengembuskan napas sambil diam-diam mencengkram seragam Javier bagian belakang. Mungkin cowok itu tahu, tapi masa bodohlah. Aku tidak mau Gema mencecarku lagi dengan pertanyaannya.
Setelah tenang, aku kembali menatap Gema. Untungnya Javier tidak bertanya lagi padaku. Dia menatapku tanpa jeda. Apa mungkin dia syok? Uh, sepertinya aku perlu berbicara empat mata dengannya nanti.
“Gue cuma 30 hari doang kok pacaran sama Kale,” lanjutku pada keduanya. “Setelah itu udah, semua keputusan ada di dia.”
Ponsel di sakuku bergetar. Aku segera mempercepat langkah, memberi jarak dengan mereka. Mom menelepon. “Ya, Mom. Ada apa?”
“Kamu pulang jam berapa hari ini?”
“Sore kayak biasa. Kenapa?”
Mom berdecak di seberang sana. ”Kamu enggak apa-apa? Obatmu masih ada kamar. Mom sekarang ke sana, ya!”
“Hah? Emang iya? Aku belum cek tas lagi.”
“Iya. Ini Mama pegang, lho. Ya udah, tunggu ya. Mama ke sana.”
“Eh, enggak usah, Mom. Aku baik-baik aja, kok. Lagian juga Mom bukannya tadi udah berangkat?”
“Iya, tadi ada yang tertinggal di rumah.” Mom menghela napas. ”Kamu seharian di luar. Mom takut terjadi sesuatu sama kamu.”
“Mom, maaf banget ya, tapi aku harus masuk kelas sekarang. Bye, Mom.” Tanpa menunggu sahutan dari Mom, aku langsung mematikan sambungan telepon. Semoga jantungku kuat hari ini. Jangan sampai ada serangan lagi seperti tadi.
“Aluna...,” lengkingan cewek beradu dengan ketukan pantofelnya terdengar ke seantero sekolah. Ya setidaknya sampai suaranya terdengar olehku.
Aku berbalik badan, dan melihat Lily tengah berlari ke arahku. Langkahnya lebih cepat daripada Javier dan Gema. Senyumku pun selalu mengembang saat melihat cewek berambut pendek itu yang selalu bersemangat, seolah dia tak pernah kehabisan bensin.
Lily melebarkan kedua tangannya, siap memelukku. “Gue kangen gila sama lo tahu enggak?”
Kubalas pelukan Lily. “Gue juga kangen sama lo, Ly. Eh, kenapa lo enggak jadi atlet lari aja, sih.”
“Yeee, baru ketemu juga, udah nyuruh-nyuruh gituan,” gerutu Lily. “Lagian ke mana aja sih lo tiga hari ini?”
Aluna melanjutkan langkahku. “Enggak enak badan aja.”
“Enggak enak badan sampe tiga hari? Lo sakit apa, Na? Pasti karena nolongin gue kemarin, ya? Lo sampe pingsan gitu soalnya.”
Aku tersenyum. “Oh, enggak kok. Sakitnya dua hari. Hari ketiganya cabut sama Kale.”
“Ih, dasar!” Lily mendelik. “Sejak kapan sih Kale jadi ngajak-ngajak cewek cabut? Enggak bener tuh anak. Harus gue omelin!”
“Udah, udah. Jangan ngomel terus. Enggak capek apa? Lagian juga gue yang minta ikut, kok.” Kuggenggam jemari Lily. “Jadi, ada cerita apa aja kemarin?”
Setelah itu, Lily bercerita tentang kejadian kemarin. Katanya seluruh anak kelas sebelas dihebohkan dengan hadiah yang akan diterima oleh pemenang Extraordinary School's Ambassador tahun ini, berupa hadiah hiburan. Pemenang utama akan berlibur ke Korea selama enam hari lima malam dan pemenang kedua mendapat uang sebesar enam juta. Pengumuman tersebut sudah terpasang sehari yang lalu di majalah dinding.
Walau kenyataannya 100 siswa di SMA Extraordinary School angkatan kelas sebelas termasuk golongan mampu semuanya, tapi tak menutup kemungkinan untuk para siswa untuk mengasah skill-nya. Termasuk aku. Ini adalah kesempatan yang bagus untukku agar Kale semakin dekat denganku.
Aku mendapati Kale tidak masuk ke dalam kelas, melainkan berdiri di luar kelas memandang langit. Matahari pun sudah menampakkan dirinya di balik awan, menjadikan bumi hangat.
Kugigit bibir. “Ly, lo kenal pemenang Ambassador tahun lalu enggak?” tanyaku pelan.
“Tahu. Kenapa? Lo mau ikutan? Sama siapa?” Lily menanggapinya dengan suara cemprengnya, lalu kuberi isyarat melalui lirikan mata. “Kale?”
Aku mengangguk bersemangat, tapi rupanya ada yang mengamatiku dari tadi. Javier dan Gema langsung berteriak, “Enggaaakkk!” dari belakang, membuat kami terlonjak kaget.
Aku langsung memukul keras-keras lengan Javier dan Gema bergantian. Untung saja tidak mengalami serangan mendadak karena terkejut. Kalau iya, bisa kacau semua rencana yang telah direncana olehnya. “Ah, gue benci lo berdua! Pergi sana!” teriakku, lalu kutarik tangan Lily. “Ayo, Ly, kita duluan aja!”
“Lele!” teriak Lily ketika kami sudah berada di dekatnya. Dia bertelak pinggang dan memasang wajah marah tepat di depan Kale.
“Enggak usah teriak kali. Gue enggak budek,” jawab Kale sekenanya. Pandangannya mengarah padaku yang tengah menatapnya dalam diam. Pikiranku lagi kacau, Le. Help!
“Lo tuh ya, berani-beraninya ngajak temen gue cabut! Gue laporin ke Bu Susi baru tahu rasa lo!”
“Ly, sekarang bukan waktunya bahas itu!” Aku mengatakannya sambil tetap menatap lekat Kale. “Gue lagi marah, nih!” Lalu, kusodorkan kotak bekal yang sedari tadi kubawa. “Nih, bekal buat lo! Tadinya gue mau romantis ngasihnya, tapi mood gue udah rusak sama kalian!” []
Gema pengingat yg baik emang. Gak kek kale ππ
Comment on chapter BUKU HARIAN UNA (BH 4)