Bukti cinta dari seorang lelaki bukan hanya lewat ucapan.
Namun, bagaimana ia berani memintamu kepada Ayah dan Ibumu untuk ia lamar.
***
Menjalani aktivitas kuliah dibarengi dengan kegiatan asrama memang tidak mudah, dan hal itu bisa dilalui oleh Aisyah dan teman-temannya hampir satu tahun ini. Memang benar, jika manusia mengejar kehidupan akhirat maka kehidupan dunia akan mengikuti. Namun, sebaliknya, jika manusia hanya mengejar kehidupan dunia, maka akhirat akan tertinggal jauh bahkan bisa dilupakan.
“Sya,” panggil Nur disela kegiatan mereka yang sedang mengerjakan tugas. perempuan mungil yang bernama Aisyah itu hanya menoleh sejenak.
“Aisyah Fatma Azizan!”
“Hmm?” Aisyah yang memang sedang serius memperhatikan layar laptop hanya menjawab seadanya.
“Mau nanya boleh?”
“Hmm?”
“Kok, dari tadi hmm…hmmm terus? Kamu pikir aku Nisa Sabyan apa!”
Jemari Aisyah berhenti mengetik, gadis dengan pipi cabi itu akhirnya menoleh, menatap Nur.
“Mau nanya apa, Nur?”
Nur akhirnya tersenyum karena bisa mengalihkan fokus Aisyah yang sudah hampir dua jam di depan laptop.
“Ada niatan mau nikah muda?”
Aisyah terlihat berpikir sejenak.
“Kalau Allah kasih aku jodoh cepat, ya, nikahlah!” setelah menjawab Aisyah kembali sibuk dengan laptopnya. Lagian, pertanyaan Nur ada-ada saja. orang lagi serius dengan tugas, malah dikasih pertayaan masalah nikah.
“Iiih! Serius aku, ini!”
“Kita masih kecil, sudah bahasa nikah aja!”
“Apa salahnya? Lagian, kecil dari mana coba? Umur kayak kita ini sudah banyak yang nikah, kok, Sya.”
Aisyah mengangkat tangan, merenggangkan otot-ototnya yang mulai terasa kaku karena terlalu lama dibawa serius. Tugas yang tiada henti berdatangan membuatnya harus duduk berlama-lama di depan laptop demi sebuah ketuntasan. Jika tidak dikerjakan dengan cepat dan tepat waktu, maka tugas yang lain akan menumpuk dan akan semakin membuat Aisyah kewalahan.
“Memangnya kalau aku mau nikah, kamu mau nyariin calon apa? Nggak, ‘kan?” ucap Aisyah tanpa berpikir. Dia mengira setelah menjawab seperti itu Nur akan diam, namun ternyata perkiraannya salah. Jawabannya malah membuat peluang besar untuk Nur.
Nur berhenti mencoret-coret kertas yang ada di depannya. Dia menatap Aisyah sumringah setelah mendengar ucapan gadis minimalis itu.
“Benar? Kalau gitu mau nikah sama Abang Harun, nggak, Sya?” Aisyah menoleh menatap Nur dengan alis yang terangkat sebelah, dan selanjutnya ia tertawa.
“Loh, kenapa ketawa?”
“Jangan ngandi-ngandi, deh! Udah ngerjain tugas lagi sana!”
Nur kalau bercanda memang suka berlebihan. Aisyah menggeleng meredakan tawanya.
“Ngandi-ngandi gimana? Ck… nggak bisa diajak serius ini anak satu.”
Aisyah tidak menggubris, karena dia memang berpikir bahwa Nur hanya sekedar bercanda untuk menghilangkan kepenatan mereka karena tugas. Mereka masih semester 2, baru memasuki satu tahun menjadi seorang mahasiswa. Bagaimana bisa Nur berpikir untuk memintanya menikah dengan abangnya. Aisyah memang tahu sosok abang dari teman satu kamarnya itu, tapi dia hanya sebatas tahu bukan kenal.
“Aku serius, Nur. Tapi nggak saat ini juga kali, kan, masih kuliah.”
“Abang dari kemarin titip salam, tapi aku bingung mau nyampaiinnya, kek, gimana.” Nur tidak peduli dengan jawaban Aisyah, dia hanya ingin menyampaikan keinginan sang kakak yang dari kemarin mendesaknya.
“Nur, sebentar, ya. Kalau ngajak bercanda bentaran dulu. aku lagi serius, nih!” Aisyah masih tak mau menganggap apa yang Nur ucapkan adalah sebuah kebenaran.
Decakan kesal terdengar dari Nur, dia berlari masuk ke kamar namun tak berapa lama kembali lagi dengan membawa handponenya.
“Assalamu’alaikum, Bang!” Aisyah menoleh sejenak, Nur sepertinya sedang melakukan video call dengan Bang Harun. Tunggu, sepertinya bukan Bang Harun saja, namun terdengar masih banyak suara orang di dalam panggilan tersebut.
“Udah aku bilangin, tapi orangnya nggak percaya, Abaaang. Coba bilang sendiri, nih!” Aisyah yang tengah fokus menatap layar laptop, dibuat terkejut karena tiba-tiba Nur mengarahkan layar handponenya ke depan mukanya.
“Astaghfirullah!” Refleks Aisyah mundur, untung saja dia menggunakan jilbab yang sopan, maksudnya lengkap tanpa harus takut rambutnya terlihat. Karena biasanya jika di dalam asrama, dia hanya memakai jilbab sesuka hati dan semau diri.
“Assalamu’alaikum, Aisyah. Apa kabar?”
Lirikan tanda tanya tertuju pada Nur, namun Aisyah segera memberikan senyum lalu menjawab salam dari Bang Harun.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh, Bang. Alhamdulillah Aisyah baik. Abang sekeluarga di sana gimana?”
Bukan ingin sok akrab, tapi memang mereka sudah terbiasa berbasa basi dengan keluarga teman satu kamar mereka, menanyakan kabar atau hanya sekedar bersenda-gurau. Namun ini kali pertama bagi Aisyah berbicara lewat telpon dengan Bang Harun, biasanya dia dan yang lain hanya telponan dengan Ibunya Nur.
“Alhamdulillah, Abang sekeluarga baik. Bagaimana? Nur sudah menyampaikan niat baik Abang, kan?”
“Ah?” Aisyah benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya, membuat Bang Harun di seberang sana terkekeh. Menyadari akan ekspresinya, Aisyah mencoba kembali bersikap normal.
“Maksud, Abang?” Sebenarnya Aisyah sudah bisa menebak, namun dia hanya ingin memastikan bahwa apa yang ada di dalam pikirannya itu sama dengan apa yang Bang Harun maksudkan.
“Apa Aisyah bersedia, Abang khitbah?”
Aisyah bungkam. Jadi, Nur tidak main-main dengan ucapannya?
“Abang tahu, Aisyah pasti terkejut. Tidak usah buru-buru memberi jawaban. Tanya ke Ayah dan Bunda dulu, kalau bersedia, Abang akan datang ke rumah sama keluarga.”
Bibir Aisyah rasanya kelu, dia tidak tahu kata-kata apa yang cocok untuk menjawab pertanyaan seperti yang dilontarkan Bang Harun kepadanya. Dan sekarang dia harus apa?
“Kalau sudah ada jawaban, kasih tahu Abang, iya.”
Aisyah hanya mengangguk kikuk, dia benar-benar masih belum percaya kalau bang Harun ingin melamarnya.
***
“Aisyah, ayo!” Dengan gerakan malas Aisyah kembali menarik selimut yang Nur tarik. Siang hari ini dia benar-benar tidak berniat untuk beranjak dari tempat tidur. Seharusnya di jam seperti ini dia sudah harus duduk manis di dalam kelas, berusaha meresapi setiap materi yang semakin hari membuatnya semakin pusing. Namun karena dosen yang mengajarnya sekarang sedang memiliki kesibukan yang tidak bisa diganggu-gugat, pada akhirnya kuliah diliburkan dengan konsekuensi lusa besok mereka harus siap untuk mengganti jam kuliah yang tak terpakai siang ini.
Jadwal kuliah yang jarang sekali kosong seperti ini, Aisyah manfaatkan untuk tidur siang sejenak. Karena memang dia termasuk mahasiswa yang memiliki tugas yang bisa dibilang banyak. Memang setiap jurusan memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda, dengan porsi tugas yang beragam bentuk dan rupa. Tapi, sebanyak apapun tugas, selelah apapun tubuh berjuang. Semangat tidak boleh luntur apalagi gugur, lelah boleh namun menyerah jangan, ngeluh boleh tapi putus asa dilarang.
“Aisyah Fatma Azizan! Ayo temenin ke Abang sebentar!”
“Nur… Sama Aulia aja, ya,” lirih Aisyah. Selain mager, Aisyah memang sengaja. Bisa dipikirkan, siapa yang tidak akan canggung untuk bertemu setelah apa yang Bang Harun ucapkan kemarin. Ditambah, Aisyah sama sekali belum memberikan jawaban apapun sampai saat ini.
“Maunya sama kamu, Sya… Ayo!”
Aisyah menarik selimutnya, menyembulkan kepala dengan malas. Anak yang satu ini jika sudah menginginkan suatu hal, maka sulit untuk beralih ke yang lain. Namun kali ini Aisyah benar-benar lagi mager tingkat kingdom, ditambah lagi dia harus menyiapkan tenaga untuk kuliah nanti sore, plus dia lagi berusaha menghindar, takutnya nanti tiba-tiba dimintai jawaban. Kan, parah.
“Mau tidur bentar doang, ya. Nanti sore aku ada kuliah.” Aisyah masih mencoba membujuk Nur, kenapa bukan Aulia atau Mei-mei saja yang Nur ajak. Setahu Aisyah, dua manusia itu saat ini tidak memiliki jadwal kuliah.
“Cuma bentar, kok. Serius! Nggak nyampai lima menit. Aulia sama Mei-mei juga mau ada kursus sekarang di lantai dua.” Nur masih tetap memaksa Aisyah untuk menemaninya. Apakah Nur tidak paham yang namanya grogi dan malu? Atau Nur memang benar-benar sengaja, agar Aisyah bertemu dengan Abangnya. Otak Aisyah benar-benar tidak bisa berpikir positif sekarang.
“Perasaan dari kemarin kalau ketemu Abang, sendiri doang. Kenapa sekarang malah mau ditemenin?” Aisyah menatap curiga, Nur yang sedang memperbaiki cadarnya di depan cermin terdiam sejenak, namun segera menghampiri tempat tidur Aisyah.
“Soalnya sekarang barang yang dibawain Abang lumayan banyak, aku nggak kuat buat angkut sendiri ke atas, please… kali ini aja. Ya, ya, ya…”
Aisyah menarik napas pasrah, kalau sudah seperti ini, dia tidak mungkin menolak.
“Baiklah.”
Nur tersenyum girang, melihat Aisyah menyerah dan segera bangkit dari tempat tidurnya. Dengan malas Aisyah menyambar jilbab yang memang tergantung tidak jauh dari tempat tidurnya.
“Ayo, turun!” ajak Aisyah, setelah selesai memakai kaos kaki. Walaupun hanya ke lantai bawah, namun dia harus tetap memakai kaos kaki. Karena kebanyakan perempuan sering lupa kalau kaki mereka juga termasuk ke dalam aurat. Apalagi sekarang, dia akan menemani Nur bertemu dengan Abangnya, Abang berarti cowok, kan?
“Nggak cuci muka dulu?”
Lirikan heran dari Aisyah membuat Nur memasang tampang cengirnya.
“Cuma ke bawah doang, kan? Lagian Cuma mau ketemu sama Abang aja.” Aisyah harap dia hanya akan mengambil barang Nur yang dibilang banyak tadi, semoga tidak ada percakapan atau pertemuan yang lama.
“Ya, udah ayo!” daripada Aisyah lebih dulu berubah pikiran, Nur segera mengajaknya turun. Aisyah dengan langkah terpaksa mengikuti Nur dari belakang. Sampainya di lantai dua ternyata benar, Aulia dan Mei-mei sudah duduk menyender di tembok bersama teman mahasantri yang lainnya, sepertinya sedang menunggu seseorang.
“Mau kemana?” Mei-mei bangkit, menghampiri Aisyah dan Nur yang baru saja sampai di lantai dua.
“Nah kebetulan, ada Mei-mei di sini. Tolong temani Nur, ke bawah ketemu sama Abang, ya. Aku mager turun soalnya.”
“Oh, Bo…”
Tatapan Nur yang tajam sembari menggeleng pelan, membuat Mei-mei tak melanjutkn ucapannya. Dia mengangguk paham.
“Hm… Aduh, maaf banget, Sya. Kayaknya aku nggak bisa, soalnya tutor kami sebentar lagi datang.”
Nur tersenyum penuh kemenangan, sementara Aisyah membuang napas pasrah. Sepertinya yang harus membantu Nur memang dia.
“Ya udah, yuk kita turun, biar aku cepat tidur lagi,” ucap Aisyah yang langsung diangguki oleh Nur.
“Cepat juga ternyata.”
“Cepat? Maksudnya?”
Mei-mei gelagapan, sepertinya dia salah bicara di depan Aisyah.
“Nggak… maksudku, Abang tumben cepat banget datangnya.”
Aisyah masih menatap Mei-mei menyelidik, dia mencium bau-bau sesuatu yang mencurigakan. Apa ini ada sangkut pautnya dengan ucapan Nur sama Bang Harun yang kemarin? Nggak, Aisyah nggak boleh berperasangka buruk.
“Emang pernah ketemu sama Abang….”
“Ayo, ah! Kasian Abang nunggu lama!” Nur segera menarik lengan Aisyah untuk menuruni tangga kembali.
“Aku tunggu ceritanya, Nur!” teriak Mei-mei dari atas.
“Bentar-bentar!” Aisyah menghentikan langkahnya, dia semakin dibuat penasaran dengan ucapan dari dua manusia yang sering membuatnya penasaran. “Ini ada apa, sih? Nunggu? Cerita apa? Siapa? Apa, sih, Yang kalian bicarakan?!”
“Nanti aja ceritanya, kasian Abang.”
Ok, Aisyah menurut. Dia kembali berjalan keluar gerbang, terlihat sosok laki-laki tinggi memakai kemeja biru, berdiri di dekat berugak tempat biasa para tamu menunggu, Aisyah menyipitkan mata melihat ke depan ternyata yang dilihat juga sedang melepas pandang ke arah mereka.
Ternyata wajah Bang Harun tidak berbeda dengan yang dilihatnya ketika video call kemarin. Dasar Aisyah, memangnya muka orang bisa berubah apa.
“Assalamu’alaikum, Bang.”
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh.”
Aisyah mengikuti Nur mendekati Abangnya. Ini pertama kalinya Aisyah melihat Bang Harun secara nyata. Meski tak memperhatikan wajah Bang Harun dengan lama, tapi Aisyah tahu Bang Harun memiliki wajah yang meneduhkan, dengan postur tubuh yang tinggi dan tegap.
“Kenalin, Bang. Yang ini namanya, Aisyah.”
Aisyah menunduk sopan, tersenyum memberi hormat. Meski sedikit bingung, Aisyah tetap menunjukkan rasa hormatnya. Bukankah kemarin mereka sudah melakukan video call? Kenapa seolah Nur memperkenalkannya sebagai orang yang pertama kali bertemu dengan Bang Harun. Memang benar, sih, ini pertama kali mereka bertemu secara langsung, tapi bukankah video call kemarin juga dianggap sebuah pertemuan, karena memang sama-sama menampakkan wajah masing-masing.
“Kamu tumben, kan, Sya, lihat Abang aku?”
Aisyah menggeleng, namun langsung mengangguk. Dia tidak ingin karena gelengannya, pembahasan yang kemarin kembali di bahas, bukannya Aisyah ingin menggantung jawaban, tapi karena dia benar-benar belum tahu hendak memberikan jawaban apa kepada Bang Harun. Dia juga belum memberi tahu ke dua orang tuanya perihal masalah ini.
“Salam kenal, Bang….” Aisyah melirik Nur, apakah dia juga harus memanggil Bang Harun dengan sebutan itu? Pasalnya Nur pernah cerita kalau panggilan Harun hanya digunakan oleh keluarganya saja, sedangkan Aisyah sendiri belum bertanya lebih jauh, siapa nama asli dari bang Harun.
“Panggil saja Bang Harun, Sya.”
Aisyah tersenyum kikuk sembari mengangguk.
“Kemarin kamu nggak ikut turun, sih, jadinya telat kenalan sama Abang.” Nur pura-pura lupa atau bagimana perihal kejadian kemarin? Atau memang Aisyah saja yang terlalu geer, mungkin saja kemarin Nur dan Bang Harun hanya bercanda mengenai hal itu.
“Hehe, maaf.”
“Ya, sudah kalian duduk dulu.”
Nur melangkah mendekati berugak, menyeret lengan Aisyah agar ikut duduk bersamanya.
Kenapa harus duduk?
Batin Aisyah bertanya, namun meskipun begitu Aisyah tetap mengikuti kemana Nur menyeretnya.
“Nih, Abang udah beliin apa yang kamu pesan.”
Dengan wajah girang Nur menerima plastik ukuran sedang dari Bang Harun. Aisyah melirik ke arah motor sejenak, mencari keberadaan barang yang tadi Nur katakan lumayan banyak. Aisyah mendekat, dengan hanya gerakan bibir tanpa suara dia bertanya, seolah mengatakan mana barang yang Nur katakana lumayan banyak itu. Namun karena Bang Harun terus mengajak mereka mengobrol, Aisyah mencoba melupakan rasa penasarannya.
Dia hanya diam menyaksikan kehangatan obrolan antara abang dan adek di dekatnya ini, tanpa sengaja pandangannya menangkap sosok yang tengah menatap ke arah tempat mereka duduk, hanya sejenak, tidak lama. Namun mampu membuat Aisyah menjadi penasaran.
“Aisyah…”
Suara lembut Bang Harun menyadarkan Aisyah dari rasa penasarannya.
“Eh, ya, Bang?”
“Kamu kenapa?”
Aisyah hanya menggeleng, dia kembali pura-pura menyimak apa yang mereka obrolkan meski pada nyatanya pikiran dan perasaannya sedang tak bersama raganya.
Waktu hampir berjalan satu jam lamanya dan azan sholat Ashar sebentar lagi berkumandang. Namun mereka belum juga selesai dengan perbincangannya, Aisyah yang memang notabennya adalah manusia pendiam jika bertemu dengan orang yang baru dikenal, hanya berbicara ketika ditanya, selain itu dia memilih diam dan mendengarkan saja.
Ternyata lima menit yang Nur maksud adalah hampir dua belas kali kelipatan lima, dengan begitu pelan Aisyah menoel-noel lengan Nur, mengingatkan gadis itu kalau setelah asar ini dia ada jam kuliah, malah mata udah terasa kayak lampu lima watt yang tidak pernah diganti selama lima tahun, saking redupnya.
“Kapan balik?” Aisyah bertanya lirih, ketika ada kesempatan dirinya untuk membuka suara.
“Tunggu Abang pulang dulu.”
Manik mata Aisyah melebar sempurna, menunggu Bang Harun pulang? Terus kapan dia punya waktu untuk bersiap-siap ke kampus.
“Nur, aku ada kuliah setelah sholat asar, nggak lupa, kan? Tadi juga kamu cuma bilang lima menit.” Aisyah berusaha mengingatkan. Bukannya dia tidak ingin menemani lebih lama lagi, tapi dirinya juga masih memiliki kepentingan bahkan kewajiban yang akan dia lakukan.
Nur tidak menggubris, dia terus saja berbicara dengan Bang Harun. Aisyah menunduk kecewa, sepertinya memang dia yang harus berpamitan duluan. Bukankah tadi Nur cuma memintanya untuk menemani hanya lima menit? Berarti tugasnya sudah selesai, dan memang kelihatannya Aisyah juga tidak ada gunanya masih berada di sana.
“Maaf, Bang. Sepertinya Aisyah balik ke kamar lebih dulu, nggak apa-apa, kan? Soalnya sebentar lagi Aisyah ada kuliah.” Aisyah berusaha sepelan mungkin untuk menjelaskan, takutnya nanti dia menyinggung perasaan Bang Harun, dia bukannya ingin tidak sopan, tapi memang karena keadaannya yang lagi mendesak. dan mengharuskannya untuk pergi. Nur juga tidak membantunya untuk berbicara, padahal dia yang berperan penting atas keikutsertaan Aisyah sampai bisa duduk bersamanya di sini.
"Iya, nggak apa-apa, Sya. Abang juga mau balik ke pesantren."
Aisyah mengangguk lalu bangkit dari tempat duduk.
"Nur, nggak apa-apa, ya, aku balik duluan?"
Nur mengangguk.
“Aisyah…”
Langkah kaki Aisyah terhenti saat Bang Harun Kembali memanggilnya.
“Iya, bang?”
“Abang masih menunggu jawaban Aisyah.”
Aisyah tergugu, tadi dia sempat lupa dengan hal tersebut, namun sekarang dia kembali mengingatnya, gara-gara Bang Harun secara tidak sadar menagih jawabannya. Aisyah hanya tersenyum kikuk, lalu kembali berpamitan, bergegas kembali ke kamar.
***