Read More >>"> Take It Or Leave It (||Kehidupan Baru||) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Take It Or Leave It
MENU
About Us  

Maka nikmat Tuhan-Mu yang manakah, yang akan kamu dustakan?

***

"Iya, Bun….”

BUGH!

“Astaghfirullah,” ringis Aisyah. Gara-gara terlalu fokus menelpon, dia sampai tidak melihat lubang di depannya, alhasil Aisyah kini terjatuh dan handponenya terlempar entah kemana. 

Untung saja dia berada di tempat yang sepi. Jika ramai, mau taruh dimana mukanya dilihat jatuh seperti ini. Aisyah segera bangkit, mencari keberadaan handponenya, semoga saja benda pipih itu tidak lecet apalagi sampai rusak.

“Cari ini?” 

Tubuh Aisyah membeku, mendengar suara dari arah belakang. Sepertinya pikirannya salah, dia ternyata tidak sendiri di tempat ini, yang lebih membuatnya sekarang ingin menghilang, suara itu bukan suara perempuan melainkan laki-laki. Bagaimana jika orang yang saat ini mengajaknya bicara melihat dia terjatuh dengan gaya yang tidak aesthetic tadi? Aisyah menarik napas pasrah sebelum berbalik badan.

“Hp saya,” cicit Aisyah seperti anak kecil. Sungguh dia kini teramat malu, apa lagi ketika laki-laki di hadapannya sekarang tersenyum simpul, entah itu senyum ikhlas atau senyum mengejek.

“Lain kali, hati-hati. Untung cuma jatuh, nggak nyungsep. Nih!” 

Aisyah melongo, Aisyah tidak salah dengar ‘kan? Dari ucapan laki-laki tersebut, seolah dia ingin melihat Aisyah nyungsep bukan hanya jatuh. Wah, luar biasa. Dengan gerakan cepat Aisyah segera mengambil ponsel yang ada di tangan laki-laki tersebut, mengucapkan terima kasih dan segera berlalu. 

Setelah merasa jaraknya dengan laki-laki tersebut sudah lumayan jauh, Aisyah segera memeriksa handponenya dan alhamdulillah masih terselamatkan dari kelecetan. Ia segera menelpon kembali sang bunda, karena memang tadi perbincangannya belum selesai sebelum insiden memalukan itu terjadi.


“Aisyah baik-baik saja, kok, Bun. Tadi Hpnya nggak sengaja jatuh, makanya mati,” ucap Aisyah sedikit berbohong. Jika ia jujur, dapat dipastikan sang bunda di seberang sana akan panik dan mungkin akan menyusulnya ke asrama. Lebay memang, tapi begitulah kenyataannya. 

"Iya, Bun. Udah ya, Aisyah tutup telponnya. Acaranya masih berlangsung, nanti Aisyah telpon lagi. Assalamu'alaikum Bunda." Aisyah segera kembali ke tempat duduknya setelah mematikan panggilan. Begitulah bundanya, setiap dua jam sekali pasti akan menghubunginya. 

Aisyah menarik napasnya berat, dia segera mematikan hanpondenya. Dia bukan tidak ingin berbicara dengan sang bunda, dia malah senang setiap hari di telpon. Akan tetapi bisakah tidak untuk dua jam sekali? terutama minggu-minggu ini dia sedang sibuk mengikuti kegiatan perkenalan Asrama. Ia, ayahnya kembali memasukkannya ke dalam asrama. Sebuah tempat yang berada di bawah naungan kampus tempat Aisyah kuliah. 

"Maafin Aisyah, ya, Bun, Kecemasan Bunda cukup meresahkan." Aisyah bergumam sembari memasukkan handponenya ke dalam tas. 

"Kenapa lagi, Sya?"

"Biasa, Me."

"Bunda, telpon lagi?" 

Aisyah mengangguk sembari tersenyum. 

"Enak ya jadi kamu, Sya. Tiap hari ditanyain kabar sama Bunda." 

Kini Aisyah menoleh ke belakang, kebetulan hari ini dia duduk berdekatan dengan ke tiga teman kamarnya, Meimei, Aulia dan Nur. Meski baru satu minggu hidup dalam satu kamar yang sama, namun Aisyah sudah merasa mereka berempat sepertinya akan cocok menjadi teman kamar. 

"Tapi tidak di telpon dua jam sekali juga, Nur," sanggah Aulia. Aisyah ingin menengahi namun suara Ustadz Ramdan membuatnya urung.

"Berhubung malam nanti, adalah malam terakhir untuk masa perkenalan ma'had, jadi setelah sholat Isya nanti setiap regu akan menampilkan satu pertunjukkan, temanya bebas ya. Ingat Ini juga akan di nilai oleh tim panitia. Jadi sore ini kalian kami bebaskan untuk berkumpul dengan kelompok masing-masing, silahkan dirembukkan dari sekarang!" 

Aisyah menatap sekeliling, orang-orang mulai berkumpul dengan regunya masing-masing. Mereka terlihat senang mendengar pengumuman itu. Namun tidak dengan dirinya. Menampilkan sebuah pertunjukkan itu sama dengan ditonton oleh banyak orang, dan Aisyah tidak suka itu. 

Mental Aisyah untuk tampil di depan banyak orang sangatlah kecil. Sejak masih sekolah dia memang lebih memilih ikut di kegiatan yang tidak terlalu menampakkan keberadaannya. Semoga saja dia tidak ditunjuk oleh teman-temannya nanti. Meskipun begitu dia tetap ikut berkumpul membentuk lingkaran dengan teman regunya yang lain. 

"Aisyah, mau ikut nggak?"

"Ah?" Aisyah cukup terkejut, mendengar pertanyaan yang begitu tiba-tiba. 

"Astaga! Berarti dari tadi kamu nggak dengar ya?" Aulia menepuk keningnya, jadi dari tadi percuma saja dia bicara panjang lebar pada Aisyah. 

"Berhubung kita yang satu regu ini lumayan banyak. Jadinya yang tampil itu perwakilan. Apa Aisyah mau ikut?" Faiz angkat bicara. Dia yang kebetulan satu tahun lebih dahulu tinggal di asrama kini bertugas menjadi ketua kelompok bagi para junior.

Aisyah menggeleng pelan, untuk saat ini dia memang belum siap untuk tampil di hadapan banyak orang. Terdengar lucu bukan? Di saat seorang yang sudah bersetatus menjadi mahasiswa, namun belum memiliki mental yang cukup untuk sekedar tampil di hadapan banyak orang. Tapi, begitulah kenyataan yang Aisyah rasakan sekarang. 

"Aisyah, emang orangnya pendiam, ya?" Faiz kembali angkat suara. Meimei, Aulia dan Nur yang memang tahu sifat asli dari Aisyah sontak terawa. Aisyah hanya bisa menunduk malu, andai mereka tahu gimana bar-barnya seorang Aisyah jika bersama orang yang memang dia anggap dekat. 

Faiz dan yang lain semakin dibuat bingung. Apakah ada yang lucu dari pertanyaan yang ia ucapkan?

"Kok, malah ketawa?"

"Kak Faiz belum kenal Aisyah aja, makanya bilang pendiam. Nanti kalau udah kenal dekat, beeeh bakal tahu kalau sebenarnya Aisyah itu sangat cerewet." 

Aisyah rasanya ingin memakan bulat-bulat ke tiga teman kamarnya ini. Tapi, tidak heran, sih, mereka bilang seperti itu. Awal bertemu mereka, Aisyah hanya bisa menyimak kegaduhan yang mereka buat, Namun itu hanya beberapa jam, sebelum dia merasa nyaman dekat dengan mereka. Tapi setelah itu malah mereka yang di buat melongo dengan apa yang Aisyah lakukan. 

"Wah, berarti harus kenal lebih dekat lagi, nih!"  Faiz mulai menggoda, seketika suara riuh dari teman-teman regunya bermunculan. Sudahlah, yang Aisyah lakukan hanya butuh diam, maka mereka akan capek sendiri.

Aisyah sebelumnya tidak pernah membayangkan akan berinteraksi langsung dengan lawan jenis, ketika Ayahnya mengatakan dia akan masuk asrama lagi, dia sudah memikirkan bahwa kehidupannya akan sama seperti dulu ketika di pesantren. 

Namun ternyata sedikit berbeda, di sini santriwan dan santriwati masih bisa bertemu meski masih memiliki batasan. Ternyata memang benar, dunia perkuliahan akan sedikit berbeda dengan dunia anak SMA. Sekarang, keadaan yang akan membuktikan bagaimana dirinya bisa menjaga diri dan marwahnya sebagai seorang muslimah.

"Sst! Balik ke kamar ayo!" Meimei menarik tangan Aisyah, dia tahu Aisyah masih tidak nyaman dengan keributan yang seperti ini. Dia hanya butuh waktu. iya, hanya waktu. 

***

"Allahuakbar, Allahuakbar!!...." 

"Aul! Cepet woi! Sudah Iqamat itu!" Aisyah terus saja menggendor kamar mandi yang masih setia tertutup. Percuma, Aulia pasti lagi mandi di dalam. Beginilah jadinya, karena dia tidak mendengar apa yang Meimei sama Nur katakan. Sekarang apa yang harus dilakukannya?

"Eh, eh, eh, tunggu!!" Aisyah segera berlari ketika melihat Fira, teman samping kamarnya hendak masuk ke kamar mandi.

"Kak Ra, Aisyah nitip wudhu bentar ya, berhubung Kak Ra lagi halangan." Aisyah menatap Fira memelas. Jika tidak ingin masbuk dan kena hukuman Aisyah harus bergegas. 

"Ya udah, tapi cepat ya. Soalnya sebelum orang selesai sholat semua sudah kumpul di aula." Aisyah mengangguk mantap. Ia segera masuk ke kamar mandi. Untung saja, jika tidak ada Fira mungkin kali ini dia akan kena hukuman. 

Dengan napas masih ngos-ngosan, Aisyah segera menggelar sajadah yang dari tadi ia tenteng. Bayangkan saja lari dari lantai dua asrama menuruni anak tangga yang berputar-putar, setelah itu kembali naik ke lantai dua menuju mushola. Sepertinya lift sangat dibutuhkan dalam keadaan seperti ini.

Aisyah menarik napas lega, Ia sangat bersyukur Imam sholat maghrib kali ini memakai surah Ar-rahman sebagai ayat pada rakaat pertamanya, membuat Aisyah tidak jadi masbuk. Ingatkan Aisyah untuk berterima kasih pada imam sholat tersebut. 

حُوْرٌ مَّقْصُوْرٰتٌ فِى الْخِيَا مِ ۚ فَبِاَيِّ اٰلَآ ءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ ۚ 

Aisyah tertegun mendengar lantunan ayat yang sangat merdu dari imam sholat kali ini. Surah yang begitu ia suka, dilatunkan dengan suara yang begitu lembut dan sangat enak di dengar. Membuat pikiran Aisyah berkelana kemana- mana.

Andai saja....

"Astaghfirullah…" Aisyah segera menyadarkan dirinya, dia sudah terlalu jauh menghayal sampai dia lupa kalau dia belum takbir untuk sholat. 

"Sholat yang khusuk, Sya. Resapi ayatnya bukan suaranya, ok!" Aisyah memejamkan mata sejenak, menarik napas sebelum dia memulai untuk takbir. Dia tahu, caranya sholat memang belum sepenuhnya benar, namun setidaknya dia berusaha untuk tidak memikirkan apapun ketika dia sedang berhadapan dengan sang penciptanya. Bukankah Allah sangat cemburu jika hambanya memikirkan hal lain ketika bertemu dengan-Nya? 

*** 

Penampilan dari tiap-tiap regu silih berganti, meramaikan malam terakhir masa perkenalan ma’had. Aisyah memilih duduk di barisan paling belakang, rasanya ia ingin berlari ke kamar untuk mengganti jilbab yang dia pakai, karena menurutnya terlalu mencolok ditengah malam yang gelap seperti ini.

Namun ternyata, duduk di barisan paling belakang merupakan pilihan yang kurang tepat yang Aisyah ambil, karena ternyata beberapa santriwan memilih duduk bebas di bawah pohon yang tidak terlalu jauh dari tempat Aisyah duduk.

“Kak Rey, boleh pinjam gitarnya? Soalnya mau dipakai buat tampil sekarang.”

Aisyah menoleh ke belakang, mencuri pandang kepada dua orang berbeda jenis yang sedang mengobrol. 

“Boleh, Nih!” Santriwan yang di panggil Kak Rey itu tersenyum sembari memberikan gitar yang dia pegang. Tunggu, bukannya itu laki-laki yang tadi siang melihatnya terjatuh? Oh, jadi namanya Rey. 

Aisyah menggeleng keras, untuk apa dia pikirkan, tidak ada manfaatnya juga. Namun, walapun begitu Aisyah tetap saja masih memperhatikan mereka.

“Terima kasih, kak. Nanti kalau sudah selesai, saya langsung kembalikan.” 

Ungkapan terima kasih santriwati itu hanya dibalas senyum dan anggukan. 

Aisyah masih memperhatikan mereka, ketika tanpa sengaja santriwan yang bernama Rey tersebut menoleh ke arahnya. Seketika Aisyah gelagapan, karena tertangkap basah diam-diam memperhatikan. Refleks Aisyah mengubah posisi duduknya, pura-pura kembali fokus melihat pertunjukan.

“Ya Allah, malu banget,” lirih Aisyah sembari memukul pelan keningnya. Bisa-bisanya dia terciduk seperti tadi. 

“Semoga muka aku nggak kelihatan tadi.” Aisyah tak henti-hentinya menyalahkan kecerobohanya itu. Sampai ia kembali mendengar suara dari tempat yang tadi.

“Nggak mau nyumbang lagu, Rey?”

“Nggak Ustadz.”

“Kenapa?” 

Aisyah menggeser posisi duduknya sedikit, entah kenapa dia menjadi manusia kepo saat ini, apa mungkin karena efek bosan? Atau karena tadi dia sempat bertemu dengann laki-laki itu? Entahlah, tapi yang jelas percakapan di belakangnya itu terasa lebih menarik daripada pertunjukan di depan sana.

“Nanti ada yang naksir sama suara saya, Ustadz.” 

“Idiih, pedenya,” sinis Aisyah, tanpa sadar kembali menoleh ke belakang, dan lagi-lagi retina cokelatnya beradu pandang dengan tatapan santriwan yang tadi di panggil Rey. Aisyah langsung menunduk, dan memilih maju ke barisan depan. 

“Astaga, kenapa bisa samaan, sih?!” rutuk Aisyah.

“Kamu ini, ada-ada saja.” 

Meskipun sudah berpindah tempat duduk, Aisyah masih bisa mendengar percakapan di belakang meski tidak sejelas yang tadi. Dia merasa tawa dari santriwan yang bernama Rey itu tertuju pada dirinya.

“Jangan sampai dia kira aku suka lagi sama dia. Tidak ya Allah, yang tadi itu nggak sengaja beneran, deh!” 

“Woi! Kenapa? Kayak orang habis lihat hantu saja.” 

Aisyah menoleh, sejak kapan Memei ada di dekatnya?

“Kamu… dari tadi duduk di sini Mei?” Bukannya menjawab Aisyah malah balik bertanya. 

“Wah, parah kamu Sya. Aku baru selesai tampil, loh! Kamu nggak nonton? Udah kemana?” 

Aisyah nyengir, dia benar-benar tidak memperhatikan pertunjukan dari tadi. Meimei hanya menggeleng menghadapi kelakuan Aisyah yang terkadang tidak bisa ditebak.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
CINTA SI GADIS BUTA
4383      1071     5     
Romance
Kemalangan yang dialami oleh seorang gadis yang bernama Reina. Reina, seorang gadis cantik dan juga baik hati di diagnosa oleh dokter terkena penyakit glaukoma. Dokter memperkirakan kalau dirinya masih dapat melihat dalam waktu 1 tahun. Tetapi, nasib baik tak lagi mau berpihak kepadanya. Kedua matanya buta hanya dalam 4 bulan setelah dia memeriksakannya. Dia hanya bisa pasrah menerimanya. Kehidu...
2 Desember Aku Muslim
399      262     0     
Short Story
Kisah hijrah seorang peneliti muda
Photograph
1139      558     1     
Romance
Ada banyak hal yang bisa terjadi di dunia dan bertemu Gio adalah salah satu hal yang tak pernah kuduga. Gio itu manusia menyenangkan sekaligus mengesalkan, sialnya rasa nyaman membuatku seperti pulang ketika berada di dekatnya. Hanya saja, jika tak ada yang benar-benar abadi, sampai kapan rasa itu akan tetap ada di hati?
The Last tears
578      338     0     
Romance
Berita kematian Rama di group whatsap alumni SMP 3 membuka semua masa lalu dari Tania. Laki- laki yang pernah di cintainya, namun laki- laki yang juga membawa derai air mata di sepanjang hidupnya.. Tania dan Rama adalah sepasang kekasih yang tidak pernah terpisahkan sejak mereka di bangku SMP. Namun kehidupan mengubahkan mereka, ketika Tania di nyatakan hamil dan Rama pindah sekolah bahkan...
Without End
1140      476     1     
Mystery
Di tahun akhir masa SMA nya, atas ajakan dari sahabat baiknya, ia ikut kencan buta dan bertemu dengan pria tampan dengan perilaku yang sangat sopan. Ia merasa bahwa pria tersebut memiliki sisi lain dan tak bisa tak menjadi tertarik, hingga mengantarkan dirinya sendiri terjebak ke dalam lubang yang ia gali sendiri. Kebahagiaan, ketakutan, perasaan terbelenggu, tercekik, sesak nafas, dan ha...
Tell Me What to do
441      310     1     
Short Story
Kamu tau, apa yang harus aku lakukan untuk mencintaimu? Jika sejak awal kita memulai kisah ini, hatiku berada di tempat lain?
Bukan Bidadari Impian
72      58     2     
Romance
Mengisahkan tentang wanita bernama Farhana—putri dari seorang penjual nasi rames, yang di jodohkan oleh kedua orang tuanya, dengan putra Kiai Furqon. Pria itu biasa di panggil dengan sebutan Gus. Farhana, wanita yang berparas biasa saja itu, terlalu baik. Hingga Gus Furqon tidak mempunyai alasan untuk meninggalkannya. Namun, siapa sangka? Perhatian Gus Furqon selama ini ternyata karena a...
Lily
1191      557     4     
Romance
Apa kita harus percaya pada kesetiaan? Gumam Lily saat memandang papan nama bunga yang ada didepannya. Tertulis disana Bunga Lily biru melambangkan kesetiaan, kepercayaan, dan kepatuhan. Lily hanya mematung memandang dalam bunga biru yang ada didepannya tersebut.
Si 'Pemain' Basket
3288      957     1     
Romance
Sejak pertama bertemu, Marvin sudah menyukai Dira yang ternyata adalah adik kelasnya. Perempuan mungil itu kemudian terus didekati oleh Marvin yang dia kenal sebagai 'playboy' di sekolahnya. Karena alasan itu, Dira mencoba untuk menjauhi Marvin. Namun sayang, kedua adik kembarnya malah membuat perempuan itu semakin dekat dengan Marvin. Apakah Marvin dapat memiliki Dira walau perempuan itu tau ...
Jalan Yang Kau Pilih
1291      518     3     
Romance
Berkisah tentang seorang ayah tunggal yang mengurus anaknya seorang diri. Ayah yang sebelumnya seorang militer kini beralih profesi menjadi seorang pemilik kafe. Dia bertemu dengan wanita yang adalah wali kelas anaknya. Terlebih lagi, mereka adalah tetangga dan anaknya menyukai wali kelasnya itu.