Dahulu, aku selalu mendapat sebuah gulungan yang berisi jajaran huruf kuno, yang mungkin tak banyak orang dapat membacanya.
Gulungan-gulungan kertas itu sebagian aku kumpulkan, sebagian lain kuberikan kepada kawan lamaku; Juda.
Mungkin ada satu syair yang perlu kau dengar, Nak. Mbah Kakung mengeluarkan selembar kertas tua dan mulai membacakan isinya padaku.
aliran air bercampur tanah, berkumpul di satu pusat dalam waktu yang sama
seluruh teriakan ketakutan tidak ada yang sampai telinga
sebab suara tidak akan bisa mengalahkan sambitan badai
rumah, ladang, hewan serta gerabah dilahab tanpa diminta dan tanpa tersisa
tak ada yang tersisa sebab mereka butuh udara bukan limpahan air di rongga dada
air memakan segalanya baik yang diam maupun yang dibungkam
dalam semalam hiduplah mereke di danau sunyi
namun kelak, danau ini akan terbuka dan terambillah permata merah delima
namun kelak manusia akan lupa
saat nanti detik menjelma tahun
kuncup-kuncup telah muda berubah jadi pikun
semua raga ragu dengan beda antar warna dan suara
hingga segala tentang subuh dan pagi
hanya menjadi rotasi dari tepi ke tepi
atau dari tepi ke sepi.
-
sejak saat itu kami semua tahu bahwa bahasa tidak selalu membutuhkan perantara berupa suara
sebab di dalam air kami tak mendengarnya
suara tidak bisa mengalahkan partikel hujan yang mengisi cekung desa
dan menengelamkannya
“Kiranya, begitulah syair yang aku paham. Sisanya aku tak paham karena hurufnya hilang dan ada kertas yang robek. Tapi aku rasa ini cukup memberikan banyak penjelasan. Itulah syair kuno dibalik kisah hilangnya Kota Bibir Bulan. Sebuah lembah maju yang tersembunyi, yang pernah ada ratusan tahun lalu. Dan mungkin, reruntuhan bangunan yang tengah kau teliti saat ini adalah sisa dari kejayaannya di masa lalu.” Kata Mbah Kakung sambil melipat kembali kertas kuno yang baunya sangat berbeda dari kertas-kertas pada umumnya.
Aku menangis tertahan, tanpa suara, yang ada ditangan Mbah Kakung adalah warisan sejarah yang amat berharga, dengan ini aku tahu penyebab mengapa candi itu hilang dan terpendam, mengapa ia di bangun di tengah pegunungan sunyi dengan kemungkinan pemukiman yang mengelilingi.
Syair Mbah Kakung tadi adalah jawaban magis yang selalu kami cari-cari.
Aku menangis sesenggukan.
“Di lembar yang lain, ada juga kisah tentang sembilan bendera kematian,” tambahnya.
Aku menengok, tidak mengerti.
“Dif, mungkin ini akan terdengar tidak masuk akal, tapi biarkan lelaki tua ini menjelaskan kejadian yang sesungguhnya terjadi dan aku alami. Sejak aku menemukan gulungan ini, sejatinya aku menunggu kelompok manusia hutan itu mencariku namun aku tidak lagi bertemu mereka baik sore harinya atau seminggu setelahnya, aku menyimpan gulungan ini seorang diri tanpa ada siapapun yang tahu…”
Mbah Kakung kembali bercerita,
Dahulu, gulungan dalam bambu itu terus bersama Mbah Kakung muda hingga berminggu-minggu, berbulan-bulan, sampai Mbah Kakung lupa kalau ia menyimpan benda ini.
Sampai akhirnya ia teringat dan membuka kembali bambu itu, namun alangkah terkejutnya Mbah Kakung karena bambu itu tinggallah bambu.
Isi di dalamnya telah raib dimakan misteri, pasalnya tutupnya terjaga dan ia menyimpan itu di tempat yang tidak mungkin dijangkau oleh orang lain. Ia tanyakan pada orang seisi rumah dan tidak ada yang tahu.
Keesokan harinya Mbah Kakung diminta untuk membetulkan aliran sumber air lagi, dan saat itu, Mbah Kakung bertemu dengan kelompok orang yang sama dengan yang ia temui beberapa waktu yang lalu, hanya saja jumlah mereka lebih sedikit. Ia tidak bertemu orang yang mirip dengan sang kakek.
Kali ini ia berani untuk berbicang dan berbasa-basi. Ia ingat sekali dengan nama dua pasang manusia kembar yang ia temui saat itu, mereka adalah Ying dan Yui, sementara kembaran yang satunya adalah Yaya dan Yua.
Yui dan Yua adalah nama yang ia pakai untuk menamai cucunya saat ini.
Kata Mbah Kakung, Yua adalah yang paling cantik di antara semuanya.
Mbah Kakung tidak membahas apa-apa tentang bambu atau gulungan, mereka pun tidak menanyakannya, setidaknya itu adalah kabar baik, karena seperti yang kita tahu bahwa Mbah Kakung menghilangkan gulungan itu.
Namun, di jalan pulang, ia melihat kain putih bersimpah darah di tempat-tempat yang tidak bisa ditentukan, kadang berdekatan, kadang pula sangat jauh di sepanjang jalan pulang.
Tentu Mbah Kakung muda bertanya-tanya mengapa hal demikian terjadi. Di tengah-tengah kebingungannya secara tiba-tiba orang yang dulu ia bilang mirip dengan sang kakek menemuinya dan mengajaknya berkenalan.
“Wujuda… namaku Juda.” Ternyata kalau dari dekat, ia tidak terlihat setua itu.
Mbah Kakung pun memperkenalkan namanya.
Mereka berbincang agak lama, Mbah Kakung juga sempat mempersilahkannya untuk mampir ke rumah atau ke kebun. Juda terlihat baik-baik saja dengan pertemuan yang tidak lama itu.
Juda hanya berpesan, “Aku tahu kau membawa sebuah gulungan bambu yang kau temukan dua purnama lalu, dan aku ingin kau menyimpannya baik-baik. Aku tidak ingin kau mengembalikannya padaku, hanya saja, setiap kali kau punya cerita tentang tulisan yang ada di sana aku akan sangat senang jika kau memberitahuku. Tulisan di kertas gulungan akan berubah sewaktu-waktu, hanya saja benda itu tidak aman jika aku yang menyimpannya. Banyak orang di kampungku yang berusaha mengambilnya dariku. Dan aku kerap menghilangkan isinya. Kau pasti paham maksudku.”
Mbah Kakung muda mengangguk, meskipun degup dadanya sudah bergerak diluar kendali. Sebab, ia sendiri juga sedang menghilangkan isi gulungan itu.
Selepas pertemuan itu, Mbah Kakung pulang dan bertanya dengan ayahnya di rumah tentang orang-orang asing yang ia temui di hutan. Ayahnya bilang bahwa kemungkinan Mbah Kakung berjumpa dengan Orang Dalam, sekelompok orang yang tinggal di sebuah suku di dalam hutan dan merasa asing dengan peradaban. Mereka adalah orang-orang yang tidak bisa mengucapkan “selamat datang” pada dunia modern. Mereka punya peradaban majunya tersendiri.
Hanya sebatas informasi itu yang ia dapat. Tak ada pesan, larangan atau anjuran ketika esok Mbah Kakung bertemu dengan Orang Dalam itu lagi.
Di hari yang lain, Mbah Kakung iseng ingin membuka bambu itu kembali, dan alangkah terkejutnya ia, sebab di dalam bambu itu tergeletak sebuah gulungan yang sudah seminggu hilang entah kemana.
Namun ada yang aneh pada gulungan itu, lembarannya lebih panjang dan narasi yang tertulis di dalamnya sudah berbeda dari gulungan sebelumnya.
Kali ini. gulungan itu bercerita tentang sembilan bendera kematian. “Bendera-bendera itu digunakan untuk mendapatkan izin dari Yang Mereka Percaya agar dapat menemukan hati candi. Hati candi itu adalah penuntun mereka untuk mendapatkan berkat dalam menjalani roda kehidupan.” Begitu yang Mbah Kakung lihat dari isi gulungan.
Rupa-rupanya candi itu memang sudah hilang sejak lama dan para Orang Dalam berusaha untuk mencarinya lagi. “Mungkin candi itu adalah sarana mereka menyembah sesuatu, semacam tempat ibadah atau meditasi. Dan mereka kehilangannya, bisa jadi sebuah bencana besar menyebabkan tenggelamnya candi yang mereka cari-cari.”
Sembilang bendera kematian adalah jalan untuk menemukan pusaka atau benda purba yang Orang Dalam percaya memiliki kekuatan spiritual.
Masing-masing dari bendera kematian itu menorehkan darah segar dari sembilan makhluk hidup yang berbeda, sebagai lambang pengorbanan.
Ada ayam hutan, anjing, babi, kalkun dan makluk lain yang berdarah merah dan bertulang keras.
Begitu Mbah Kakung tahu tentang ini, keesokan harinya ia menunggu Juda di pinggir kebun kentangnya.
“Mari, kita bicara di tempat yang lebih sepi.” Pinta Juda. Mbah kakung mengiyakan dan mereka pergi ke tepi telaga yang airnya sudah tak penuh lagi.
Di sana, Mbah Kakung menceritakan semua hal yang ia baca dari gulungan seingat dan sebisanya. Pertemuan antara Juda dan Mbah Kakung itu tidak terjadi sekali dua kali, tapi setiap Mbah Kakung mendapati tulisan baru pada gulungan atau menyelesaikan cerita kemarin.
Awalnya hanya itu, namun lama kelamaan Mbah Kakung sering menemui Juda hanya untuk sekedar bersua atau menceritakan hal sepele. Dari sini Mbah Kakung mulai tahu tentang apa itu Orang Dalam dan pilihan mereka menjauhi dunia ramai dan berisik milik manusia pada umumnya.
“Kami merasa lebih baik, tinggal tanpa kalian,” Kata Juda, ‘kalian’ yang ia maksud adalah kita semua. “Kami punya peradaban yang terjaga dan kami inginkan, tak terjamah dan tak tersentuh. Kami bisa membuat dunia kekuasaan kami sendiri, memang sangat terdengar egosentris, namun pemimpin kami cerdas, dan kami mempercayakan kehidupan kami padanya.” Begitu menurut Juda.
Namun saat Mbah Kakung bertanya di mana kampung tempat Juda dan Orang Dalam lain tinggal, Juda menolak menjelaskan.
Mbah Kakung merasa istimewa bertemu dengan Orang Dalam itu, namun ia belum berani menceritakan pada siapapun. Hari-hari itu, pertemuan itu, berlangsung cukup lama hingga Mbah Kakung berhenti melakukannya sebab ia harus merantau jauh, sementara gulungan itu tetap tinggal di kolong tempat tidurnya.
Setahun sekali Mbah Kakung pulang dan menengok bambu di kolong tidurnya.
Bambu itu masih di sana, tidak bergeser walau se-senti. Tapi bambu itu hanyalah bambu, tak isi yang membuatnya berarti. Bahkan saat ia sekali meluangkan untuk menemui Juda di pinggir telaga, ia sudah tidak datang.
Hingga kini telaga itu kering, ia belum pernah bertemu dengan Juda lagi.
***BAB SELANJUTNYA TERKUNCI - DAPAT DI BACA LANJUTANNYA DI "KARYA KARSA" DENGAN JUDUL YANG SAMA***
TERIMA KASIH KARENA TIDAK MENYERAH UNTUK MEMBACA KISAH INI SAMPAI DENGAN SEKARANG,
SALAM HANGAT,
LITTLE MAGIC.