Read More >>"> Gurun Pujaan Hujan (Seperti Hujan (Bagian 2)) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Gurun Pujaan Hujan
MENU
About Us  

Tiba-tiba rintik air turun dan membasahi tanah yang tengah kami jejaki. Awan yang berkumpul sejak tadi siang menepati janjinya pada langit untuk membawa hujan pergi ke tempat kami.

Semua orang menatapku, menunggu aba-aba untuk stop atau terus. Aku sebisa mungkin berusaha tetap tenang, aku tidak mau meninggalkan lubang tanggung yang tutupnya sudah sedikit bergeser itu adalah karena aku tak ingin ada orang lain yang memanfaatkannya.

Bisa saja malam nanti mereka mendatangi tempat kerja kami ini dan mengeluarkan alat yang tidak pernah kami duga untuk membukanya. Kita tidak tahu tengah ‘berperang’ dengan siapa. Aku tak mau kecolongan lagi.

Tapi aku juga tidak mungkin meneruskan kegiatan karena keadaan yang sudah gelap, hujan pula, dan kami pun sudah sangat kelelahan. Sangat lelah.

“Timbun lagi saja, ambil tanah satu genggam untuk menutupi, gunakan beberapa bolder dan letakkan di atasnya,” Aku ingat cara para ahli forensik melindungi asetnya yang masih terkubur, aku mencoba menerapkannya pada aset kami yang satu ini juga, “Hanya saja, tidak usah diberi tanda apapun, kita buat seakan tidak pernah terjadi apa-apa di sini. Esok kita lanjutkan lagi, jeda semalam tak mungkin membuat kita lupa dengan letak lubangnya.”

Tanpa menunggu lama, Guna, Sabang dan yang lain segera menjalankan usulanku. Sepertinya mereka sudah lelah dan ingin beristirahat setelah hari yang panjang ini.

Rintik masih membasahi kami saat tanah kembali menutup lantai bagian dalam candi, namun sebelum bolder-bolder diletakkan, entah inisiatif dari mana, aku mencoba untuk mengecek kembali lubang itu apakah sudah tertutup sempurna atau belum.

Namun saat aku menyentuh tanah dan menepuknya di beberapa bagian agar tanahnya semakin padat, sebuah pintu terbuka dan membuatku terperosok ke dalamnya, namun setengah bagian tubuhku masih berada dipermukaan. Kepala dan badaku masuk ke lubang yang ternyata lebar dan gelap ini.

Beruntung tanganku cekatan memegangi sisi lubang yang menecegahku terjerembab masuk ke dalam.

Sabang yang paling pertama melihat, segera menahan kakiku dan itu sangat membantu banyak. Semua orang terkejut bukan main. Mereka cepat-cepat datang dan mengangkat tubuhku yang kotor terkena lumpur.

Tutup berbentuk lingkaran yang seharian kami bombardir ini ternyata bukan lubang sesungguhnya, ada lubang yang lebih besar sedalam satu setengah meter yang bersembunyi dibaliknya.

“Kemarikan ponselmu, aku pakai senternya untuk melihat lubang.”

Dengan sinar seadaanya, kami menyelidik setiap sisi dari lubang yang semakin membingungkan kami. Aku dan Bonu sampai turun ke dalam lubang untuk mendapat hasil yang lebih jelas.

Tapi di dalamnya tidak ada apa-apa selain tanah berlumpur yang semakin lama semakin banyak karena air hujan membawa serta tanah di atas untuk berkumpul di sini.

Aku meraba-raba dinding sumur itu barang kali ada tombol atau tanda sesuatu yang bisa memberi kami sebuah petunjuk.

“Apa ada sesuatu?” Guna nampak menghawatirkanku yang sudah agak menggigil kedinginan. Ia terlihat tak seburuk keadaanku, mungkin karena bantuan lemak di tubuhnya yang melimpah.

Aku menggeleng, Bonu pun sama, ia tak menemukan apa-apa.

Kami pun pulang, meskipun tak ada hasil materi, setidaknya kami membawa kabar.

Berkeringat tapi kedinginan, setiap embusan nafas kami keluar seperti asap yang dapat dilihat wujudnya, udara dingin, kabut turun menyapa setiap genting di atap rumah. Tak banyak pembicaraan yang terjadi di jalan pulang, semua terfokus pada jejak dan langkah masing-masing.

Di teras basecamp ada beberapa rekan yang nampaknya menunggu kami. El segera menyambut Guna dengan meraih sepatu boots dan beberapa tas yang kotor terkena tanah. Maharani juga segera menyapaku, entah apa yang membuatnya begini, tapi sepertinya ia simpati melihat diriku yang kelelahan.

Kami meletakkan badan kotor kami di ubin yang sudah sedingin kulkas. Eoni mendatangiku dan membawakan handuk, namun aku menolaknya, “Badanku kotor, Eoni. Tanah semua.”

“Apa yang terjadi?” Tanyanya dengan raut muka yang khawatir, tapi aku suka. Ia mencemaskanku.

Bu Dhena menyuruh Aku, Guna dan Sabang mandi di basecamp saja dengan air hangat. Di sini ada penghangat air otomatis, sungguh membantu sekali.

Aku mandi paling terakhir, saat menunggu giliran aku sudah lebih dulu diinterogasi oleh Bu Dhena, Bu Nada dan rekan perempuan yang lain tentang apa saja kejadian yang baru menimpa kami, sampai-sampai kami pulang malam dan dalam keadaan dikepung tanah dan lumpur.

Aku ceritakan semuanya, tentang lubang, kesusahan, hujan dan sebuah sumur kosong.

~~~

Seusai mandi dan makan malam pembicaraan kami tidak lepas dari topik sumur misterius itu, semua percakapan itu tidak lepas dari langit-langit rumah yang dihuni oleh manusia penasaran dengan jawaban yang semakin dicari semakin tidak ditemukan.

Hingga pukul 10 malam, Aku, Guna dan Sabang masih di terjaga dan belum dipersilahkan menyapa kasur, bantal dan selimut. Kami belum bisa beristirahat karena besok ada logbook yang harus kami laporkan. Aku juga harus membuat report dan artikel untuk berita mingguan.

“Mau jahe seduh?” Eoni menawariku.

Aku mengangguk, itu akan membantu menghangatkan tubuhku.

Dengan nampan dan cangkir berasap ia menghampiriku di teras rumah. Langkah kaki gadis itu terlihat tertata dan hati-hati supaya minuman yang ia bawa tidak tumpah.

Ia duduk di sebelahku mengamati laptop dengan banyak jendela yang terbuka.

Tak banyak yang kami bicarakan, aku masih fokus pada kendali logbookku dan Eoni tak melakukan apa-apa, hanya duduk saja di sana dan tidak bergeming. Terkadang ia melamun sambil sesekali memegangi liotin yang tergantung di lehernya.

“Nadif, hujan ini sepertimu,” Ucapnya pelan dan tiba-tiba, “Seperti hujan, ia teduh dan cukup menenangkan. Sejauh yang aku lihat, kau selalu berusaha menjadi ­rata-rata air di manapun kau berada, berusaha menyeimbangkan keadaan entah sebaik atau seburuk apapun keadaan itu. Kau tidak pernah terlihat gegabah, dan selalu menanggapi sesuatu dengan cara yang berhati-hati seolah penuh perhitungan.”

Kulihat gadis itu baik-baik, ia berkata demikian tapi tidak menatapku. Ia mengamati milaran tetes hujan yang ada di depannya.

Terus terang aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku bersemu merah, aku tak pernah menilai diriku sedemikiannya. Beruntung tak ada siapapun yang ada di sini selain kami berdua, nampaknya Guna dan Sabang sudah duluan masuk rumah.

Sejenak, kami berdua diam dan membiarkan hujan yang berkata-kata.

~~~

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Love Arrow
376      243     2     
Short Story
Kanya pikir dia menemukan sahabat, tapi ternyata Zuan adalah dia yang berusaha mendekat karena terpanah hatinya oleh Kanya.
Kutunggu Kau di Umur 27
3321      1580     2     
Romance
"Nanti kalau kamu udah umur 27 dan nggak tahu mau nikah sama siapa. Hubungi aku, ya.” Pesan Irish ketika berumur dua puluh dua tahun. “Udah siap buat nikah? Sekarang aku udah 27 tahun nih!” Notifikasi DM instagram Irish dari Aksara ketika berumur dua puluh tujuh tahun. Irish harus menepati janjinya, bukan? Tapi bagaimana jika sebenarnya Irish tidak pernah berharap menikah dengan Aks...
SI IKAN PAUS YANG MENYIMPAN SAMPAH DALAM PERUTNYA (Sudah Terbit / Open PO)
4030      1532     8     
Inspirational
(Keluarga/romansa) Ibuk menyuruhku selalu mengalah demi si Bungsu, menentang usaha makananku, sampai memaksaku melepas kisah percintaan pertamaku demi Kak Mala. Lama-lama, aku menjelma menjadi ikan paus yang meraup semua sampah uneg-uneg tanpa bisa aku keluarkan dengan bebas. Aku khawatir, semua sampah itu bakal meledak, bak perut ikan paus mati yang pecah di tengah laut. Apa aku ma...
The Hallway at Night
3754      1921     2     
Fantasy
Joanne tak pernah menduga bahwa mimpi akan menyeretnya ke dalam lebih banyak pembelajaran tentang orang lain serta tempat ia mendapati jantungnya terus berdebar di sebelah lelaki yang tak pernah ia ingat namanya itu Kalau mimpi ternyata semanis itu kenapa kehidupan manusia malah berbanding terbalik
Premium
GUGUR
3481      1677     9     
Romance
Ketika harapan, keinginan, dan penantian yang harus terpaksa gugur karena takdir semesta. Dipertemukan oleh Kamal adalah suatu hal yang Eira syukuri, lantaran ia tak pernah mendapat peran ayah di kehidupannya. Eira dan Kamal jatuh dua kali; cinta, dan suatu kebenaran yang menentang takdir mereka untuk bersatu. 2023 © Hawa Eve
Love is Possible
104      98     0     
Romance
Pancaroka Divyan Atmajaya, cowok angkuh, tak taat aturan, suka membangkang. Hobinya membuat Alisya kesal. Cukup untuk menggambarkan sosok yang satu ini. Rayleight Daryan Atmajaya, sosok tampan yang merupakan anak tengah yang paling penurut, pintar, dan sosok kakak yang baik untuk adik kembarnya. Ryansa Alisya Atmajaya, tuan putri satu ini hidupnya sangat sempurna melebihi hidup dua kakaknya. Su...
Buku Harian
614      381     1     
True Story
Kenapa setiap awal harus ada akhir? Begitu pula dengan kisah hidup. Setiap kisah memiliki awal dan akhir yang berbeda pada setiap manusia. Ada yang berakhir manis, ada pula yang berakhir tragis. Lalu bagaimanakah dengan kisah ini?
Salted Caramel Machiato
9048      3721     0     
Romance
Dion seorang mahasiswa merangkap menjadi pemain gitar dan penyanyi kafe bertemu dengan Helene seorang pekerja kantoran di kafe tempat Dion bekerja Mereka jatuh cinta Namun orang tua Helene menentang hubungan mereka karena jarak usia dan status sosial Apakah mereka bisa mengatasi semua itu
Peri Untuk Ale
3627      1887     1     
Romance
Semakin nyaman rumah lo semakin lo paham kalau tempat terbaik itu pulang
Di Antara Mereka
3730      1655     3     
Romance
Mengisahkan seorang cewek dan cowok yang telah lama bersahabat Mereka bernana Gio dan Mita Persahabatan mereka di tahun ke dua tidaklah mudah Banyak likaliku yang terjadi hingga menyakiti hati Keduanya sempat saling menjauh karena suatu keterpaksaan Gio terpaksa menjauhi Mita karena sang Ibu telah memilihkan kekasih untuknya Karena itu Mita pun menjauhi Gio. Gio tak dapat menerima kenyataan itu d...