Tiba-tiba rintik air turun dan membasahi tanah yang tengah kami jejaki. Awan yang berkumpul sejak tadi siang menepati janjinya pada langit untuk membawa hujan pergi ke tempat kami.
Semua orang menatapku, menunggu aba-aba untuk stop atau terus. Aku sebisa mungkin berusaha tetap tenang, aku tidak mau meninggalkan lubang tanggung yang tutupnya sudah sedikit bergeser itu adalah karena aku tak ingin ada orang lain yang memanfaatkannya.
Bisa saja malam nanti mereka mendatangi tempat kerja kami ini dan mengeluarkan alat yang tidak pernah kami duga untuk membukanya. Kita tidak tahu tengah ‘berperang’ dengan siapa. Aku tak mau kecolongan lagi.
Tapi aku juga tidak mungkin meneruskan kegiatan karena keadaan yang sudah gelap, hujan pula, dan kami pun sudah sangat kelelahan. Sangat lelah.
“Timbun lagi saja, ambil tanah satu genggam untuk menutupi, gunakan beberapa bolder dan letakkan di atasnya,” Aku ingat cara para ahli forensik melindungi asetnya yang masih terkubur, aku mencoba menerapkannya pada aset kami yang satu ini juga, “Hanya saja, tidak usah diberi tanda apapun, kita buat seakan tidak pernah terjadi apa-apa di sini. Esok kita lanjutkan lagi, jeda semalam tak mungkin membuat kita lupa dengan letak lubangnya.”
Tanpa menunggu lama, Guna, Sabang dan yang lain segera menjalankan usulanku. Sepertinya mereka sudah lelah dan ingin beristirahat setelah hari yang panjang ini.
Rintik masih membasahi kami saat tanah kembali menutup lantai bagian dalam candi, namun sebelum bolder-bolder diletakkan, entah inisiatif dari mana, aku mencoba untuk mengecek kembali lubang itu apakah sudah tertutup sempurna atau belum.
Namun saat aku menyentuh tanah dan menepuknya di beberapa bagian agar tanahnya semakin padat, sebuah pintu terbuka dan membuatku terperosok ke dalamnya, namun setengah bagian tubuhku masih berada dipermukaan. Kepala dan badaku masuk ke lubang yang ternyata lebar dan gelap ini.
Beruntung tanganku cekatan memegangi sisi lubang yang menecegahku terjerembab masuk ke dalam.
Sabang yang paling pertama melihat, segera menahan kakiku dan itu sangat membantu banyak. Semua orang terkejut bukan main. Mereka cepat-cepat datang dan mengangkat tubuhku yang kotor terkena lumpur.
Tutup berbentuk lingkaran yang seharian kami bombardir ini ternyata bukan lubang sesungguhnya, ada lubang yang lebih besar sedalam satu setengah meter yang bersembunyi dibaliknya.
“Kemarikan ponselmu, aku pakai senternya untuk melihat lubang.”
Dengan sinar seadaanya, kami menyelidik setiap sisi dari lubang yang semakin membingungkan kami. Aku dan Bonu sampai turun ke dalam lubang untuk mendapat hasil yang lebih jelas.
Tapi di dalamnya tidak ada apa-apa selain tanah berlumpur yang semakin lama semakin banyak karena air hujan membawa serta tanah di atas untuk berkumpul di sini.
Aku meraba-raba dinding sumur itu barang kali ada tombol atau tanda sesuatu yang bisa memberi kami sebuah petunjuk.
“Apa ada sesuatu?” Guna nampak menghawatirkanku yang sudah agak menggigil kedinginan. Ia terlihat tak seburuk keadaanku, mungkin karena bantuan lemak di tubuhnya yang melimpah.
Aku menggeleng, Bonu pun sama, ia tak menemukan apa-apa.
Kami pun pulang, meskipun tak ada hasil materi, setidaknya kami membawa kabar.
Berkeringat tapi kedinginan, setiap embusan nafas kami keluar seperti asap yang dapat dilihat wujudnya, udara dingin, kabut turun menyapa setiap genting di atap rumah. Tak banyak pembicaraan yang terjadi di jalan pulang, semua terfokus pada jejak dan langkah masing-masing.
Di teras basecamp ada beberapa rekan yang nampaknya menunggu kami. El segera menyambut Guna dengan meraih sepatu boots dan beberapa tas yang kotor terkena tanah. Maharani juga segera menyapaku, entah apa yang membuatnya begini, tapi sepertinya ia simpati melihat diriku yang kelelahan.
Kami meletakkan badan kotor kami di ubin yang sudah sedingin kulkas. Eoni mendatangiku dan membawakan handuk, namun aku menolaknya, “Badanku kotor, Eoni. Tanah semua.”
“Apa yang terjadi?” Tanyanya dengan raut muka yang khawatir, tapi aku suka. Ia mencemaskanku.
Bu Dhena menyuruh Aku, Guna dan Sabang mandi di basecamp saja dengan air hangat. Di sini ada penghangat air otomatis, sungguh membantu sekali.
Aku mandi paling terakhir, saat menunggu giliran aku sudah lebih dulu diinterogasi oleh Bu Dhena, Bu Nada dan rekan perempuan yang lain tentang apa saja kejadian yang baru menimpa kami, sampai-sampai kami pulang malam dan dalam keadaan dikepung tanah dan lumpur.
Aku ceritakan semuanya, tentang lubang, kesusahan, hujan dan sebuah sumur kosong.
~~~
Seusai mandi dan makan malam pembicaraan kami tidak lepas dari topik sumur misterius itu, semua percakapan itu tidak lepas dari langit-langit rumah yang dihuni oleh manusia penasaran dengan jawaban yang semakin dicari semakin tidak ditemukan.
Hingga pukul 10 malam, Aku, Guna dan Sabang masih di terjaga dan belum dipersilahkan menyapa kasur, bantal dan selimut. Kami belum bisa beristirahat karena besok ada logbook yang harus kami laporkan. Aku juga harus membuat report dan artikel untuk berita mingguan.
“Mau jahe seduh?” Eoni menawariku.
Aku mengangguk, itu akan membantu menghangatkan tubuhku.
Dengan nampan dan cangkir berasap ia menghampiriku di teras rumah. Langkah kaki gadis itu terlihat tertata dan hati-hati supaya minuman yang ia bawa tidak tumpah.
Ia duduk di sebelahku mengamati laptop dengan banyak jendela yang terbuka.
Tak banyak yang kami bicarakan, aku masih fokus pada kendali logbookku dan Eoni tak melakukan apa-apa, hanya duduk saja di sana dan tidak bergeming. Terkadang ia melamun sambil sesekali memegangi liotin yang tergantung di lehernya.
“Nadif, hujan ini sepertimu,” Ucapnya pelan dan tiba-tiba, “Seperti hujan, ia teduh dan cukup menenangkan. Sejauh yang aku lihat, kau selalu berusaha menjadi rata-rata air di manapun kau berada, berusaha menyeimbangkan keadaan entah sebaik atau seburuk apapun keadaan itu. Kau tidak pernah terlihat gegabah, dan selalu menanggapi sesuatu dengan cara yang berhati-hati seolah penuh perhitungan.”
Kulihat gadis itu baik-baik, ia berkata demikian tapi tidak menatapku. Ia mengamati milaran tetes hujan yang ada di depannya.
Terus terang aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku bersemu merah, aku tak pernah menilai diriku sedemikiannya. Beruntung tak ada siapapun yang ada di sini selain kami berdua, nampaknya Guna dan Sabang sudah duluan masuk rumah.
Sejenak, kami berdua diam dan membiarkan hujan yang berkata-kata.
~~~