Dalam mimpi, sesekali aku merasa bisa mengatur jalan cerita sendiri dengan keinginan dan imajinasi sendiri untuk menciptakan kisah yang tak jelas ujung serta pangkalnya. Bahkan ketika mimpi bersama bayangan buruk sekalipun aku tak terlalu khawatir atau cemas, hanya dengan santai aku mengucap “Ah, nanti juga aku bangun, maka kisah sedih ini akan selesai.”
Namun tidak kali ini, pada tidurku yang sebentar, aku secara membingungkan bermimpi sebuah tembok keraton putih dengan sayap bunga terbang yang ranum berhias selendang putri yang membawa semerbak harum ke tanah lapang, di sana aku menemukan kelebat cahaya hitam dan putih tengah berebut celah ingin masuk paling dulu.
Di tempat itu, aku merasa tengah menunggu dan mencari sesuatu tanpa tahu persis tentang apa yang kucari dan mengapa aku menunggu.
Singkat saja kisah mimpi malam ini. Aku menjadi penonton tunggal yang kebingungan dengan kejadian dalam anganku. Di sana, aku tak menemukan sosok lain selain diriku sendiri.
Tak sampai tiga jam aku sudah bangun dari tidur yang kurang nyenyak tadi, tapi sedikit lebih baik daripada tidak tidur sama sekali. Saat subuh datang mengetuk pagi, aku diam tak bergeming menatap langit-langit kamar dengan El yang masih meringkuk serius di sebelahku berbalut sarung dan sebuah selimut tebal entah milik siapa.
Di luar kamar terdengar suara jalan khas kakeh-kakek yang lama-kelamaan menjadi unik dan terbiasa aku dengar untuk hari-hari ke depan. Suara langkah kaki itu tentu saja adalah milik Mbah Kakung, rupanya ia sudah bangun dan segera mengambil seember air di sumur belakang.
Suasana pagi hening, tak ada bunyi gaduh kecuali bisik angin yang menggugurkan daun dan sesekali menimpa talang rumah.
“Seperti inilah kebiasaanku setiap hari, Nak. Mungkin besok-besok kau akan menghafalnya. Dulu waktu istriku, masih ada, ia selalu membangunkanku sebelum subuh tiba. Karena itu telah terjadi bertahun-tahun, jadilah sampai saat ini aku terbiasa bangun mendahului fajar.”
Aku mendengarkan satu persatu perkataan Mbah Kakung dengan saksama, sambil menyeduh teh manis untuknya dan untuk aku sendiri. Tak selah lama Bu Tinah masuk dengan membawa sepiring tempe kemul yang masih berasap. Dan diseberang pintu belakang terlihat sudah ada keramaian di basecamp putri. Aku tak tahu ternyata kegiatan mereka dimulai sepagi ini.
“Kelihatannya nanti siang akan cerah.” Celetuk Mbah Kakung tiba-tiba.
“Tahu dari mana, Mbah?”
“Semalam dan pagi ini udaranya dingin sekali, biasanya kalau begitu langit akan cerah siang harinya.” Betul sekali, di Nara juga begitu, “Aku yang sudah sangat lama tinggal di kaki gunung ini saja mengiyakan dinginnya malam dan pagi, entah bagaimana kalian para orang kota merasakannya.”
Saat masih berbincang-bincang, aku mendengar suara musik dari halaman belakang rumah. Karena perasaran, aku coba mengintipnya dari jendela rumah alih-alih sambil menyibakkan gorden bergambar bunga sulur.
Di luar, langit gelap dengan semu ungu di bagian timur tepat di atas jajaran perbukitan. Terlihatlah sosok gadis yang tengah mendengarkan musik dan duduk di sebuah batu berukuran sedang. Sebenarnya aku rasa di jaman yang sudah dua dekade terlampaui sejak pergantian dari orde lama ke reformasi, selera musiknya cukup berbeda dari kebanyakan orang.
Saat kami terbiasa mendengar Billie Eillish atau Lewis Capaldi, ia mendengarkan lagu Fix you milik Coldplay dengan selingan lagu Letto beberapa kali, lagu-lagu itu dulu sangat booming mungkin di tahun 2005 sampai 2006 yang sampai sekarang masih cukup sering didengarkan oleh orang-orang, salah satunya adalah gadis ini. Sudah ada dua puluh menit lebih ia di sana dan lagu yang diputar tetap itu-itu saja,
Aku bermaksud menghampirinya diam-diam, namun sepuluh langkah dibelakang sang gadis rupanya ia menyadari keberadaanku.
“Oh, hey.” Ucap sang gadis. Rupanya kejadian ini terasa agak canggung. Aku menyesali perbuatanku yang tiba-tiba berjalan kemari tanpa berpikir panjang lebih dulu. Memangnya mau ngapain aku ini? Keluhku dalam hati.
“Oh, iya,… Eoni.” Rupanya agak sulit mengucapkan namanya untuk lidahku yang sangat jawa ini.
Aku sungguhan ingin langsung balik kanan saat itu. Tapi di luar dugaan, Eoni menggeser duduknya, tanda mempersilahkanku untuk turut duduk di batu juga.
“Aku Eoni, tim forensik dari RS Andriyan.” Ia bilang, ia merasa harus memperkenalkan diri lagi secara langsung kepadaku karena perkenalan kami yang pertama kali tidak berjalan baik, “Bukannya manusia, semalam kau mengganggapku demit yang sedang cuci piring.” Tambahnya sambil tertawa ringan.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal dan tertawa renyah, “Nadif, dari tim arkeolog.” Sambil menjabat tangannya yang cukup kecil di genggamanku.
Perkenalan yang singkat, sisanya kami lebih banyak diam menatap matahari yang perlahan menampakkan sinarnya dari balik bukit ditemani tetes-tetes embuh yang perlahan menguap kembali ke atmosfer. Tentu saja masih ditemani musik spotify milik Eoni yang masih saja memutar lagu Coldplay yang berjudul Everglow.
Mata gadis di sebelahku terlihat menatap tajam ke satu penjuru; Laut. Dari atas sini terlihat hamparan laut di kejauhan yang sangat jauh namun masih terlihat garis pantainya di antara selaput kabut tipis yang menggambang memenuhi suasana. Melihat dari lagu yang ia dengar, tuturnya yang tenang tapi terus terang dan tatap mata yang seolah berbicara padahal ia sedang diam saja, aku rasa Eoni memiliki banyak kisah yang tidak ia ceritakan pada siapapun.
Cukup aneh menurutku, ia mempersilahkanku untuk duduk tapi tidak mengajakku berbincang. Sudah aku duga, wajahnya yang ceria tidak se-periang kelihatannya. Kini ia malah terasa misterus di dekatku.
“Beruntung sekali pagi ini cerah, kita bisa melihat kabut yang belum meninggalkan lembah.” Ia menunjuk tempat di bawah kami.
Aku mengangguk setuju, ingin menjawab tapi belum sempat. Masih berusaha menebak arah pembicaraan yang ia ciptakan.
Aku kurang tahu mengapa ini terjadi, meski seluruh lagit terlihat biru dengan sinar matahari yang menyilaukan, masih ada selaput awan yang tinggal di lembah-lembah yang ditunjuk Eoni, namun tidak di permukaan pada garis mata yang sejajar. Hal ini menguntungkan kami untuk bisa melihat bukit yang mengantre di sisi selatan dan sebuah pantai di utaranya.
“Apa kau bisa melihat sebuah mercusuar di pantai sana?” sebuah pertanyaan yang mengejutkanku.
Sebelum menjawab, aku memastikan dulu penglihatanku. Kukucek mataku berkali-kali agar penghilatanku semakin tajam, atau barangkali ada yang salah. Karena sejauh penglihatanku kali ini, tidak ada menara tinggi bernama mercusuar yang Eoni maksud.
“Eoni.” Panggil seseorang dari dalam rumah.
Kami berdua menengok ke sumber suara secara bersamaan. Di sana terlihat El yang berjalan kemari membawa gorengan dan secangkir teh manis.
“Mau?” Tanya El, tentu saja bukan padaku. Melainkan Eoni.
Ia terlihat mengangguk.
Aku mengeluh dalam hati, aku belum sempat menjawab pertanyaan aneh yang Eoni katakan tadi. El benar-benar mengganggu sekali.
"Eoni!” Seseorang kembali memanggil gadis ini, kali ini suara yang memanggilnya adalah perempuan. Aihh mengapa sepagi ini sudah banyak sekali yang mencarinya.
Gembi, itu jelas suaranya. Tak ada orang lain selain dia yang memiliki suara senyaring itu. “Aku sudah selesai mandi, Ni. Habis ini gantian, mau kau atau Maharani dulu?”
“Bebas, mandiku cepat. Mau kapan saja bisa.” Jawabnya sedikit berteriak.
Gembi terlihat masuk kembali ke dalam rumah, mungkin hendak bertanya pada Maharani.
“Tumben sekali Gembi sudah mandi sepagi ini. Apa tidak dingin?” Tanyaku membayangkan ngerinya air di bak mandi di jam enam pagi.
“Di basecamp kami ada water hiternya, bisa otomatis pakai air hangat.”
Aku dan El melotot, tidak adil. Kami yang wudhu saja merinding bukan main, ogah-ogahan untuk mandi. Tapi di rumah sebelah ternyata tersedia penghangat air otomatis. Ingin aku pindah rumah saja.