Hingga sang pemilik rumah dijemput, kami belum selesai memindahkan barang-barang milik rekan perempuan. Barang mereka tidak banyak tapi juga tidak bisa dikatakan sedikit, apalagi isi tas Gembi yang sudah kadung dibongkar di rumah pak kadus. Jadi kami membantu membawa printilan barang-barangnya.
Mungkin benar kata orang-orang, ketika perempuan bepergian untuk jangka waktu yang cukup lama, maka ia akan membawa seisi rumah. Lihatlah Gembi, ia bahkan membawa tiang penggantung baju. Ia bilang beberapa bajunya tidak bisa disetrika karena terbuat dari bahan polyester, apabila disetrika, kain akan menempel dan baju pun bisa rusak, tapi kalau diletakkan begitu saja nanti bisa kucel, maka jalan terbaik untuk menyimpannya adalah digantung.
“Iya, aku paham tentang itu, Bi. Hanya saja kau kan bisa pakai gantungan baju yang ada di rumah sana. Enggak perlu bawa sendiri juga dari rumah.” Keluhku.
“Memang tahu dari mana kalau di rumah yang bakal aku tempati ada tiang gantungan bajunya?” Gembi merasa lebih berpengalaman dalam urusan pindah rumah.
“Setiap rumah pastilah ada tempat buat gantung baju, tidak harus bentuknya tiang. Di tempat jemuran kan bisa buat gantung baju-baju.” Jawabku asal.
“Tentu beda lah, Bang Nadif. Buat jemuran sama buat gantungan baju di dalam…” Sejak dari rumah pak kadus sampai basecamp putri, Gembi tak berhenti berbicara panjang lebar tentang perbedaan dua hal yang ia sebutkan tadi, tidak memperdulikanku yang keberatan membawa tiang jemurannya dan kardus milik Bu Nada.
Setelah semua barang terpindahkan dan dua gelas teh sudah tandas dihabiskan olehku dan Sabang, kami segera kembali ke rumah Mbah Kakung. Aku jalan sambil terkantuk-kantuk memandangi langit yang sangat ramai oleh kerlap kerlip.
Sesampainya di rumah, kami masuk lewat pintu belakang, dengan samar-samar terdengar suara gemercik tetesan air dari kran yang berbunyi di malam sunyi ini. Terus terang itu menghilangkan kantukku, kusenggol lengan Sabang yang juga menyadari hal yang sama.
Kami orang baru di sini, dan tinggal di rumah orang paling sepuh di desa. Kami belum tahu betul dengan penghuni ‘lain’ yang barangkali juga tinggal bersama Mbah Kakung. Dengan takut-takut kami melongok ke tempat cuci piring, dan betapa terkejutnya kami, di sana ada sosok perempuan berambut panjang memakai baju terusan seperti daster berwarna putih tulang setinggi lutut tengah mencuci piring.
“Astaghfirullah!” Teriak Sabang sambil berlari kencang meninggalkanku.
Aku yang belum sadar betul dengan pemandangan di depanku tak kalah pucat melihat Sabang yang sudah tidak ada di sebelah. Aku berteriak dan berlari tak kalah kencang mengejar Sabang. Hampir bersamaan dengan itu terdengar suara jeritan perempuan yang rasanya sangat amat dekat dengan punggungku.
Kegaduhan ini cukup membangunkan Mbah Kakung dan El, namun tentu saja tidak dengan Guna yang tidurnya mirip orang mati. Mereka berdua sampai keluar dari kamar takut terjadi sesuatu.
Ketika sampai di ruang tengah, kami saling menatap satu sama lain, antara ketakutan, bingung dan ingin tahu. Setelah aku menengok ke belakang muncul gadis yang tak kalah panik melihat aku dan Sabang berteriak, ternyata gadis berbaju putih yang sedang cuci piring itu tadi adalah Eoni.
Mbah Kakung yang segera paham keadaan hanya tertawa dan masuk lagi ke dalam kamarnya. Aku yang masih deg-degan setengan mati berusaha jongkok dan memegangi dada.
Sabang dan aku tertawa, tapi Eoni malah kebingunan. Dari raut wajahnya seolah bertanya “Ada apa tadi?”
“Kenapa piringnya dicuci malam-malam?” Tanyaku pada gadis yang kemudian menguncir rambut tergerainya tadi.
“Kenapa dicuci? Ya, supaya bersih lah. Sisa makan-makan tadi.” Jawabnya sambil tertawa kecil mencoba mengilangkan wajah paniknya tadi.
“Kan, bisa besok.” Sabang menambahi.
“Kalo bisa sekarang kenapa nunggu besok?” Eoni yakin dengan perbuatannya.
Setelah perbincang yang tak terlalu lama, Sabang meminta diri untuk tidur duluan. Ia bilang tidurnya telah dicurangi olehku dan Pak Wicak tadi.
“Dif, bisa tolong temani aku selesaikan cucian piring di belakang? Tidak usah bantu tidak apa, cukup temani saja.”
Sejujurnya aku juga tidak tega membiarkannya cuci piring sendiri. Kelihatannya ia juga sedikit takut karena kejadian tadi, meskipun yang sebenarnya aku dan Sabang takutkan adalah dirinya ini.
Kulihat tangan gadis itu putih bersemu biru karena kedinginan, aku bermaksud membantunya namun ia menolak dan bilang tinggal sedikit. Alhasil aku menunggunya di dekat perapian sambil terkantuk-kantuk.
Setelah beres aku mengantarnya sampai ke basecamp putri, tak tega membiarkannya pulang sendiri meski sebenarnya rumah Mbah Kakung dan basecamp bersebelahan.
“Berarti tadi engga ikut berberes barang dari rumah Pak Kadus?” Tanyaku mencoba mencairkan suasanya.
“Ikut, tapi aku selesai memindahkannya sebelum kau dan Sabang datang.” Jawabnya singkat. Aku jadi harus memikirkan pertanyaan selanjutnya.
Namun belum sampai pertanyaan itu keluar, terdengar suara orang bercakap-cakap di basecamp putri, ada Pak Wicak, Bu Dhena, Bu Nada dan beberapa senior lain dari balai budaya. Pembicaraan mereka terdengar serius, sampai-sampai hampir tengah begini mereka masih berdiskusi.
“Ada apa, Pak?” Tanyaku ketika sampai di ruang tengah tempat mereka berkumpul.
Belum lama semenjak kami sampai, ada sebuah kejadian terjadi yang tidak kami kira sama sekali. Belum sempat kami meninjau lapangan, masalah besar sudah menyapa kali lebih dahulu.
Oh, they say people come, Say people go..
This particular diamond was extra special..
Lagu Coldplay yang berjudul Everglow mendengung di kepala dan telinga kami.