Penampilan Nara memang sedikit berubah, namun tidak dengan suasananya. Aku memilih bangku bus paling belakang supaya bisa mengamati kursi-kursi yang diduduki penumpang lain sesuka hatiku.
Angin yang masuk ke sela-sela jendela membelai wajah, rambut dan telinga, membuatku tidak menghiraukan suasana sekitar yang berisik dan berjubel. Kiranya kepentingan manusia di jam-jam ini tengah membutuhkan mobilitas yang sama pentingnya.
Aku masih sangat hafal jalan ke rumah Pak Bah. Semenjak aktif kuliah dan menjadi Arkeolog, aku sudah sangat jarang mengunjungi beliau. Tentu saja karena banyak hal yang harus dilakukan. Tugas kuliah dan pekerjaan seolah mencekikku setiap hari dan sulit berbaik hati untuk memberikan waktu luang barang sehari saja.
Dulu, atau mungkin tepatnya empat tahun yang lalu, aku mendapat beasiswa atas kerja sama dari Merpati Nusantara jasa ekspedisi tempatku bekerja, dengan kampus-kampus terbaik di negeri ini. Beruntungnya, aku didaftarkan oleh Mr. Arief dan berhasil lolos di empat tahap seleksi yang harus dilewati.
Mungkin keberhasilanku dalam menjalani seleksi tak luput dari pengaruh Mr. Arief sebagai komisaris di Merpati Nusantara, namun aku punya sedikit pembelaan bahwa di seleksi-seleksi yang ada, aku rasa aku bisa menyelesaikannya dengan baik dan nilai yang kudapat sangat layak apabila dibandingkan dengan peserta lain.
Ada dua jurusan di satu Universitas yang aku ambil saat itu. Namun aku diterima dipilihan kedua karena dipilihan pertama mengharuskan mahasiswanya tidak memiliki kelainan mata yaitu buta warna, sementara aku agak sedikit berurusan dengan warna biru dongker dan hitam. Aku rasa keduanya benar-benar sama. Di warna-warna lain yang hampir serupa pun aku sulit membedakannya.
Alhasil, diterima lah aku menjadi mahasiswa arkeolog dan lulus empat tahun kemudian dengan predikat lulusan terbaik dengan IPK nyaris sempurna. Sebuah kejadian yang sampai sekarang masih terasa seperti mimpi. Bagaimana tidak, waktu itu aku sudah dua tahun meninggalkan bangku sekolah, sangat banyak pelajaran SMA yang sudah aku lupa.
Belum lagi semasa kuliah aku juga bekerja sebagai tangan kanan Mr. Arief yang super sibuk, sampai-sampai aku sepertinya membutukan waktu 26 jam sehari agar pekerjaanku kelar dan istirahatku cukup. Tak jarang kantuk menyapa dan baru mulai tidur di jam-jam antara 2 sampai 3 pagi, untuk kemudian bangun subuh dan kembali tidur lagi sampai jam 6 pagi.
Memang tidak sehat, tapi itulah usaha tidur terbaik yang bisa aku lakukan.
Banyak sekali waktu yang aku korbankan selama kuliah, aku tak banyak mempunyai teman sesama mahasiswa karena kegiatanku cenderung bertemu dan berhubungan dengan rekan atau kerabat kerja. Aku juga tidak mempunyai pacar, naksir tentu pernah.
Tapi usaha mendekatinya hanya berujung sia-sia karena aku tak bisa membawa cinta, kerja dan IPK agar maju bersama-sama. Perempuan itu bilang aku tak peka, minim pengertian dan semacamnya karena aku terlalu sibuk. Tapi memang kemungkinan besar hal itu benar.
~~~
Lima menit lagi aku sampai di persimpangan jalan menuju rumah Pak Bah. Aku benar-benar tidak bisa melupakan apa yang pernah terjadi di sepanjang jalan ini. Kisah-kisah yang pernah terjadi dulu seolah tercitra kembali dalam pikiranku seperti roll film yang diputar mundur. Aku tumbuh karena perjalanan-perjalanan ini.
Seperti biasa, Pak Bah menjamuku di teras rumah tempatnya mereparasi barang-barang dengan berbagai keluhan. Beliau benar-benar tidak berubah. Tatap mata dan gerak tubuhnya tetap sama, teduh dan tenang.
Sudah bisa ditebak, hal yang beliau tanyakan pertama kali adalah si matahari terbit yaitu Zahwa. Saudara kembarku. Aku jawab sebisa dan seadanya, seperti yang telah kejelaskan di awal, tak banyak yang aku tahu tentangnya.
“Sena akan menikah dua bulan lagi, dengan seorang mualaf dari negeri tetangga.” Sena adalah putri beliau satu-satunya. Entah apa yang membuat Pak Bah merasa perlu mengabariku tentang hal itu. Terus terang pernyataan tadi menimbulkan banyak pertanyaan dalam diriku seputar mengapa dan bagaimana bisa yang urung aku tanyakan.
Kadang, memutuskan untuk tetap tidak tahu adalah hal yang cukup baik, karena beberapa ‘kenyataan’ yang tidak dibutuhkan memang tidak seharusnya mendapat atensi lebih dari hati dan pikiran kita. Setiap orang punya masa lalu untuk sampai di masa sekarang.
Aku berusaha tersenyum, mencoba biasa saja dan turut bahagia. Mau bagaimana pun kita memang tidak bisa mengajak semua tokoh untuk terus ada dan hadir dalam setiap kisah yang akan kita ciptakan. Biarkan ia pergi dengan kisahnya sendiri, ikhlaskan setiap kepergian dan persilahkan peran pengganti untuk hadir pada kisah baru ini.
“Bagaimana asam uratnya, Pak Bah? Apa masih suka kumat-kumatan?” Aku mencoba menggunakan skill banting stirku untuk mengubah topik pembicaraan.
“Masih betah, aku jadi harus menjaga makananku. Ini tidak boleh, itu tidak boleh. Aku seperti tahanan terselubung kalau urusan makanan.” Kami berdua tertawa.
Aku dipersilahkan untuk memegang mesin-mesin rusak yang tengah beliau perbaiki, beberapa tv tabung yang sudah sejak jaman dulu, ternyata masih ada. Mungkin sekarang orang-orang sudah tidak butuh barang seperti itu, mereka telah berpindah ke tv layar tipis. Aku juga sempat diajak ke sawah dan melihat peliharaan beliau yang baru ia rawat dua bulan ini.
Peliharaan itu adalah si makhluk bawah air yang senang makan apa saja, ikan, “Aku malas menunggu mereka dewasa, jadi aku beli saja ikan yang sudah besar-besar.” Ucap Pak Bah sambil benebar pakan yang disambut riuh, ramai dan gembira oleh ikan-ikan dalam kolam.
“Kau sengaja mau ke sini atau ada kepentingan yang membawamu, Nadif?”
“Sengaja, Pak. Memang mau main, sudah lama sekali tidak berkunjung”
“Baguslah, aku tahu sekarang kau sudah jadi orang yang produktif. Aku tak bisa serta merta memintamu untuk mengunjungiku tiba-tiba seperti dulu.”
Aku tersenyum lagi, tentu saja Pak Bah muda berkali-kali lipat lebih sibuk dari aku.
“Menginaplah, jika waktumu luang.”
Bagiku, Pak Bah sudah seperti ayah sendiri. Banyak jalan-jalan yang ia ciptakan untuk memudahkan jalanku. Tak sukar baginya mengajariku keterampilan-keterampilan yang tidak ia ajarkan pada orang lain.
Didepan kami tungku api tengah menyala dengan nyala yang medium membuat udara terasa lebih hangat. Beberapa saat yang lalu hujan turun tiba-tiba, mengganggu seluruh kegiatan makhluk hidup di seluruh jagat Nara. Petani jagung buru-buru mengemas gabahnya. Ibu-ibu kalang kabut menarik jemuran dari halaman rumah, tak rela bajunya kembali basah.
Mungkin salah satu yang tetap tabah adalah Laba-laba, terlihat pasrah menerima setiap rintik yang turun dan mengganggu jaring-jaringnya yang saling kait-mengait menjadi rusak karena tak sanggup menampung rintiknya yang besar, rapat dan tidak kira-kira.
“Mungkin lain waktu, Pak Bah. Aku mau sekalian ke rumah Mr. Arief, sekedar silaturahmi dan mengucapkan terima kasih. Sudah hampir tiga bulan ini aku berhenti bekerja dengan beliau…”
“Arief? Kebetulan sekali ia mau kemari nanti malam dengan Leo juga. Dua bapak-bapak itu sepertinya tengah membutuhkanku untuk menangani sesuatu.”