“Kamu berapa hari di rumah, Nang?” Sepertinya aku pulang terlalu pagi, lebih pagi dari pada Matahari. Tapi Ibu sudah bangun lebih pagi lagi, kata ibu bangun pagi membuat dirinya terasa lebih muda.
“Mungkin, satu minggu. Nadif sekalian mau berkunjung ke rumah Pak Bah dan Mr. Arief, Bu.” Tanganku memainkan lidi-lidi kecil yang terbakar di tungku dapur belakang dengan api merekah merah, membuat hangat suasana.
“Aih, sebentar sekali. Belum juga kangennya sembuh, sudah berangkat lagi.” Tangan ibu lincah menyeduh air jahe untukku yang selalu aku suka.
“Nadif memang harusnya belum pulang, Bu. Tapi ini pas kebetulan belum berangkat kerja di tempat baru, jadi sekalian pulang, sekalian pamitan dari Merpati Nusantara. Tidak enak sama Mr. Arief kalo resign tapi tidak menghadap beliau langsung.”
“Sampaikan salam dan terima kasih ibu waktu berkunjung besok ya, Nang. Empat tahun ini kamu jadi banyak perubahan, kelihatan lebih dewasa dan pinter ngatur waktu.”
“Nadif juga ngerasanya begitu, Bu. Dari yang tadinya cuma jadi kurir, antar-antar barang. Sampe jadi asisten pribadinya Komisaris. Nadif sendiri awalnya ragu, waktu itu sambil kuliah juga, tapi ternyata bisa terlewati.”
Ibu mengelus dan mendekap kepalaku. Rasanya di usiaku yang sudah hampir 23 ini, ibu masih memperlakukanku seperti anak 3 tahun.
Merpati Nusantara adalah perusahaan jasa ekspedisi pengiriman barang yang telah mempekerjakanku selama kurang lebih empat tahun. Mr. Arief yang membantu karirku di sana. Beliau sangat baik padaku dan keluargaku, dia juga merupakan salah satu orang paling setia dan loyal yang pernah aku kenal. Jika ada kesempatan, mungkin kelak akan aku ceritakan kisahnya.
Aku berhenti dari pekerjaan itu karena aku telah mendapat pekerjaan baru. Pekerjaan yang membuatku tidak bisa multi amanah. Aku harus fokus di salah satu. Mungkin waktu masih jadi mahasiswa, aku bisa saja kuliah sambil mengurusi bisnis, namun untuk sekarang sepertinya tidak.
Pekerjaan ini mengharuskanku untuk berjalan ke tempat-tempat jauh dan bahkan terpencil. Sebelum kuliah aku tidak pernah ke mana-mana, hidupku hanya di sekitar Nara saja. Namun dengan pekerjaan baru ini, bisa jadi inilah kesempatanku untuk bisa melalang buana, kata orang kunjungilah negeri-negeri jauh, selagi masih muda. Dan itu benar ingin kucoba.
Aku akan menyukai pekerjaan baruku.
Tiga minggu ke depan aku sudah harus berangkat bersama tim-ku untuk melakukan eksvakasi. Untuk itulah aku menyempatkan diri untuk pulang, sekedar menengok orang-orang kesayangan. Aku juga tidak sabar bertemu dengan keponakanku, namanya Manda, putri sulungnya Laila dan Nurdin. Kata ibu, Manda sedang lucu-lucunya.
Sekarang kehidupanku sudah lebih ramai, ada lebih banyak orang yang bisa aku anggap saudara dan keluarga.
~~~
Bersamaan dengan ibu yang berangkat ke kebun, aku pamit izin ke hatle bus, mau ke rumah Pak Bah. Beliau orang yang sudah aku anggap sebagai ayah, walaupun mungkin beliau tidak mengiyakan anggapan itu. Namun selama keberjalanan ini, Pak Bah lah orang yang selalu merepotkanku dan mau untuk aku repotkan.
Seperti yang pernah kubilang dahulu, Pak Bah adalah orang dengan mata paling teduh nomor tiga setelah Ibu dan Zahwa. Aku banyak hidup dari kata-kata beliau.