Di kejauhan terlihat pucuk-pucuk Pohon Pinus yang menggelap di punggung bukit. Seluruh pemandangan menjelma buta warna karena ditinggalkan cahaya.
Sebentar lagi lampu-lampu di tiang bambu akan menyala serempak bersamaan dengan lari anak-anak yang berebut langkah ingin jadi yang paling pertama sampai di Surau.
Setelah setahun meninggalkan kota, aroma desa dan pegunungan kembali akrab menyapa penciumanku setiap hari.
Semua terasa amat dekat untuk mereka yang masih menganggapku asing.
Siapa sangka bahwa ternyata kenangan dan pengalaman punya bahasa tersendiri untuk menceritakan keinginannya agar diingat dan muncul di masa sekarang, seolah-seolah mereka ingin aku tahu bahwa dulu aku juga pernah merasakan hal yang sama.
Kenangan dan pengalaman itu bercerita lewat bahasa yang bukan merupakan kata-kata.
Bahkan, mungkin mereka muncul hanya sebagai ingatan dan perasaan-perasaan saja, tidak bisa dilihat, apalagi ditangkap, ia lebih halus dari sehelai benang sutra yang tertiup angin.
Kadang ia bisa didengar, beberapa kehadirannya sering dibarengi dengan detak jatung yang iramanya sangat aku kenal.
Walaupun keberadaannya sangat dekat antara ada dan tiada, tapi aku sungguh yakin kalau mereka ada dan tentu pernah terjadi.
Dan kini, sampailah aku di sini.
Lengkap sudah janji dari ucapanku beberapa tahun silam meskipun belum tunai kulaksanakan.
Takdir telah mengantarku kemari, seolah aku dilahirkan memang untuk mencari tahu dan bekerja pada masa lalu.
Mengkaji sejarah yang tak jarang aku sendiri pun membatin, ‘Bagaimana jika kitab masa lalu ini ternyata hanya iseng dan karang-karangan saja?’ pikirku.
Bisa saja orang dulu merencanakan sesuatu agar ketika benda yang ia ciptakan di masanya ia dulu akan berpengaruh besar pada kehidupan di masa mendatang, meski aku juga penasaran, jika pun ada, akan seperti apa rupa nenek moyang yang iseng itu.
Terlepas dari banyak latar belakangku yang tidak bisa dimengerti bahkan oleh diriku sendiri. Aku punya sedikit urusan dengan masa lalu.
Siapapun yang tahu pasti maklum, aku tidak mengenal ayah dan ibu kandungku sejak udara pertama masuk ke paru-paruku, aku diasuh oleh sosok ibu baik hati namun bukan dari dirinya darahku berasal, berkali-kali gagal dalam mencintai, sangat akbar dengan kehilangan, serta orang-orang terdekatku tak bisa mengerti dan mengenalku dengan cukup baik.
Itu semua yang terkadang membuatku merasa tidak berasal dari mana-mana.
Tidak lama lamunan berjalan, sebuah bunyi bedug di tempat suci membuat lamunanku kabur, segera kutinggalkan bayang pohon Pinus di kejauhan yang sudah gelap sempurna.