Sekerat rasa
yang begitu asing melecut tubuh Darren. Kakinya bersengkarut lari seperti kuda meninggalkan
pacuan. Sesuatu telah lepas dari ruang hampa dalam dirinya. Sesuatu yang
sekecil percikan kembang api. Yang mampu merundungnya dengan gelisah. Wajah
yang selama ini ia lihat lewat foto kecil dalam liontin kesayangannya menampakkan
diri dalam wujud paling nyata. Tepat di depan matanya. Dengan senyuman yang
identik. Yang membuat sepercik rasa itu terlepas dari bingkai yang ia
sembunyikan di alam bawah sadar sebagai pertahanan terakhir yang masa kecilnya
buat.
Meski hanya
sepercik, Darren tak sanggup menahannya. Ia tak bisa berada di sana lebih lama
lagi. Wajah itu begitu nyata untuk menepis semua kemayaan yang hidup di alam
sadarnya. Terlalu jernih tuk dapat ia kelabuhi. Bahkan suara yang memanggilnya
begitu pilu itu masih beresonansi. Suara wanita itu yang memanggilnya dengan
getaran kepedihan.
Darren tak
sanggup menahan sepercik rasa yang berduyun-duyun menempa batinnya. Ia tak
pernah mengharap wajah kecil dalam liontin yang selalu ia lihat itu menjadi
nyata. Tak pernah mengharapkan ini terjadi. Satu-satunya yang ia inginkan
adalah membuat senyum cerah itu tetap samar dalam ingatannya. Menjadikan wajah
wanita itu tetap menjadi bayang-bayang indah di antara lusinan imajinasi dalam
ruang hampanya. Ia tak ingin gedis kecil dengan senyum ceria dalam liontin itu
menjadi nyata. Karena bisa membuat pertahanannya runtuh. Seperti hari ini, saat
sepercik rasa itu lucut dan membuat Darren kelimpungan seperti kupu-kupu yang
kehilangan sayapnya.
Lelaki itu
berlari meninggalkan Kedai Bunga Peony. Menggenggam sekerat mawar putih dan
merah dalam buket yang masih segar nan wangi. Berlari menuju sebuah tempat yang
barangkali bisa meredam percikan emosi yang tak diinginkan ini. Atau setidaknya
memberinya jawaban atas pengalaman asing yang mengejutkan ini?
Ia tiba di
tempat itu. Napasnya yang terengah ini berusaha ia kendalikan. Darren mengetuk
pintu ruang dekan Fakultas Psikologi. Menjumpai Profesor Diana.
“Profesor!”
Darren masuk
setelah dua kali mengetuk pintu ruang dekan. Di ruangan itu, Profesor Diana sedang
kedatangan tamu.
“Oh, Doktor
Darren. Ada apa?” sambut Profesor Diana yang tampak terkejut melihat kedatangan
Darren. Keningnya mengerut dalam, mencoba menelaah respon bawah sadar yang saat
ini Darren tunjukkan.
“Brother?”
Saat Profesor
Diana masih sibuk membaca reaksi tubuh Darren, seorang wanita memanggil Darren.
Wanita itu tak lain adalah Angeline, putri dari Profesor Diana. Wanita dengan
tinggi 175 cm. Memakai one dress berwarna
ungu yang memperlihatkan lengkungan pinggang dan tulang selangkanya. Setangkai
daun yang terbuat dari lempengan emas menghias cuping telinga kirinya.
Sedangkan bulu merak sepanjang lima belas senti itu menggantung di telinga
kanannya. Wanita glamor dengan aura bak dewi kecantikan itu melayangkan senyum
kerinduan untuk Darren.
“... Long time no see. Kapan terakhir kita
ketemu? Musim dingin awal tahun? Pokoknya, nice
to meet you, Brother. Harusnya kau lebih sering menghubungiku. Nggak tau ya
kalau aku kangen kalian berdua?” lanjut wanita itu seraya menatap Darren dari
ambang pintu.
Perlahan,
Darren berjalan masuk sambil berusaha menyetabilkan reaksi tubuhnya setelah
melarikan diri dari Sora.
“Angeline, maaf
tidak bisa menghubungiku. Akhir-akhir ini aku....”
“Sibuk?”
Angeline memotong. Seakan ia sudah tahu alasan apa yang Darren gunakan.
“Begitulah.”
“Kamu kurang
kreatif bikin alasan,” balas Angeline. Meski nada bicaranya terdengar kesal,
wanita itu sebenarnya tak memiliki kebencian sedikit pun pada Darren. Ia sudah
melampaui batas untuk membenci Darren. Hubungan mereka tak sedangkal yang
terlihat.
“Aku tidak tahu
kamu sudah tiba.” Darren bergumam lirih sambil mendudukkan pantatnya di
seberang Angeline. Di sisi kiri Profesor Diana.
“Tadi kita
papasan, nggak tau? Di gerbang depan aku lihat kamu, terus aku klakson. Tapi
kayaknya kamu lagi fokus mirikin sesuatu. Kamu kelihatan sangat serius,” cerita
Angeline.
“Ah, begitu?
Kamu lihat aku di depan?” balas Darren bergumam sambil mencoba mengingat-ingat.
Di seberang
meja sofa, Angeline hanya bisa tersenyum simpul dan berkata, “Selamat atas
kepindahanmu. Aku nggak menyangka dua anggota keluargaku akan bekerja di kampus
yang sama.”
Keluarga. Kosa
kata yang tak pernah terbesit di kepala Darren selama dua dekade terakhir ini.
Sekaligus kata yang cukup cermat menggambarkan relasi yang terjalin antara tiga
manusia yang duduk di ruang dekan. Sampai Angeline mengeluarkan kata
‘keluarga’, Darren masih belum mengerti apa makna yang terkandung di dalamnya. Pria
itu hanya diam untuk mencerna. Lalu tanpa sengaja pandangannya tertuju pada
buket bunga mawar yang ia beli dari Kedai Bunga Peony. Saat membeli bunga itu
ia sama sekali tidak mengerti untuk apa kegunaannya. Ia bahkan tidak tahu untuk
apa ia membeli bunga ini. Semua terjadi begitu saja. Darren membeli bunga ini
karena tidak tahu bagaimana bersikap di depan wanita yang tak pernah ingin ia
lihat begitu nyata.
Namun sekarang
ia telah menemukan fungsi dari buket bunga mawar ini.
“Ini untukmu.”
Darren mengulurkan buket itu pada Angeline. Yang seketika membuat wanita itu
terbelalak.
“Serius? Kamu
beliin bunga buat aku?” Meski dirundung tanya, Angeline menerima buket mawar
itu. Ia senang bukan kepayang melihat lelaki yang tidak pernah perhatian itu
membelikannya buket mawar. “Apa-apaan ini? Kamu kesambet? Atau ... terlalu
senang dapat pekerjaan baru?” sambung Angeline yang mencoba untuk menelaah alam
pikir Darren.
“Kebetulan.” Darren
menjawab.
“Alasan apa
lagi itu?” gumam Angeline yang tampaknya tidak percaya oleh jawaban kebetulan
Darren. Ia menghirup bunga mawar pemberian Darren. Aroma segar dari mawar dua
warna ini membuat kedua matanya berbinar. “Mama percaya kalau Darren beliin aku
bunga karena kebetulan?” Ia menanyai Profesor Diana.
Paruh baya yang
ia panggil ‘mama’ itu hanya menyimpulkan senyuman hangat. Yang berarti iya, dan
juga tidak. Yang segera membuat Angeline mengembuskan napas panjang.
“... Darren
sama Mama itu sama. Sama-sama suka pakai bahasa isyarat yang tidak aku
mengerti.”
Saat Angeline
sedang sibuk dengan buket mawarnya, Profesor Diana mengerling kepada Darren.
“Ada keperluan
apa, Doktor Darren? Kamu kelihatan tidak biasa.” Profesor Diana bertanya.
Barangkali ia melihat sekelebat keanehan yang Darren tunjukkan sore ini.
Hanya butuh
beberapa detik untuk mempertimbangkan.
“Ada sesuatu
yang lepas.” Darren bercerita. Ia menatap serius Profesor Diana yang
menyerongkan tubuh menatapnya.
Cukup lama
Profesor Diana menatap Darren. Seakan sedang mengurai tiap helaian benang dari
tirai alam bawah sadar Darren. Kedua matanya mulai bergetar. Ia melihat sesuatu
telah lepas dari persembunyian.
“Kamu merasa
... takut?”
Lelaki itu
terdiam mendengarkan kata-kata Profesor Diana. Merasakan tatapan sendu yang
terasa begitu dalam dari wanita yang nyaris ia anggap sebagai ibu.
“Benarkah,
Profesor?” tanya Darren tak yakin.
“Ya. Emosi
pertamamu sudah lepas, Darren. Dunia mimpi yang kamu bangun sudah mulai rapuh.
Tidak ada alasan untuk hidup di sana lagi.”
Darren
tercenung. Sorot matanya yang semula terang menjadi gelap bisu. Serat-serat
rasa takut itu menyusut dari wajahnya. Berenang kembali menuju kotak pandora
yang ia sembunyikan di bawah kesadaran. Di tempat yang tak terjamah oleh siapa
pun. Bahkan dirinya.
Melihat Darren
yang kembali seperti manusia robot tanpa ekspresi itu, Profesor Diana menghela
napas berat. Matanya kembali bergetar pilu menatap Darren yang memilih tetap hidup
dalam persembunyian.
“Kenapa? Ini
adalah pertanda baik.”
Darren masih terdiam.
“Pertanda
baik?” tanya Darren sambil menatap dingin Profesor Diana.
“Tentu. Tidak
ada yang lebih baik dari kamu yang mulai memperlihatkan emosi, Darren. Dua
puluh tahun, aku sudah menunggu momen seperti ini.” Profesor Diana tegas
berbicara. Tak ada lagi tatapan kasih seorang ibu pada bola matanya. Yang ada
adalah ketegasan seorang mentor pada murid kesayangannya.
“Profesor Diana
lebih suka saya menderita daripada hidup tenang seperti yang selama ini saya
lakukan?” Darren
“Kamu merasa
benar-benar hidup dengan cara seperti ini?” Profesor Diana menunjukkan
simpatinya lewat nada suara yang ia perdengarkan. “Ini bukan kecacatan evolusi,
Darren. Bukan bagian dari penyakit. Depersonalisasi-Derealisasi
yang kamu idap tidak akan menunjukkan gejala sesignifikan ini.”
“Profesor lebih
tahu daripada siapa pun kalau memang penyakit itu yang membuat saya kehilangan
sensibilitas dan mati rasa. Profesor juga tahu, satu dari sekian probabilitas
tentang asal usul penyakit itu adalah warisan genetik dari ibu saya. Artinya,
teori saya tentang kecacatan evolusi itu tidak sepenuhnya salah. Saya memiliki
gen ini dari ibu dan nenek, itu yang Anda katakan, bukan?” Darren menimpali.
Profesor Diana
dibuat terdiam oleh Darren. Bukan berarti ia kalah dalam barargumentasi, tapi
karena ia memilih untuk mengalah. Andaikan membujuk Darren adalah hal yang
mudah, Profesor Diana tidak akan repot-repot membawa laki-laki itu ke kampus
ini. Profesor Diana tidak akan repot-repot membawa Darren ke tempat yang akan
menjadi titik balik kehidupan Darren.
“Itu yang
pikir?” Profesor Diana menambahi.
“Penyakit ini
ada bukan karena keinginan saya. Tapi sudah diwariskan ke tubuh saya dalam
bentuk gen.”
“Kamu tahu
manusia terus berevolusi?” lanjur Profesor Diana. Untuk sesaat Darren terdiam
karena ingin mendengarkan kata-kata Profesor Diana. “Kalau kamu percaya bahwa
keadaanmu ini adalah kecacatan dari evolusi, maka hanya kamu sendiri yang bisa
memperbaiki kecacatan itu. Dengan cara berevolusi. Mari kita tunggu beberapa
bulan atau tahun ke depan. Apakah kamu bisa berevolusi, atau tetap menjadi
produk gagal sebagai imbas dari kehidupan tragis leluhurmu.”
Kata-kata
Profesor Diana terdegar tegas dan menusuk. Frasa ‘produk gagal’ yang Profesor
Diana lontarkan memang tak memiliki efek emosional pada Darren. Tetapi cukup
membuat pria itu diam tanpa kata.
Sementara di
sudut lain, Angeline tampak terkejut mendengar kata-kata yang ibunya lontarkan.
Menyebut Darren sebagai produk gagal dari keluarga seorang kapitalis yang
pernah berjaya pada masanya adalah kata-kata terkejam yang pernah keluar dari
mulut Profesor Diana.
Selesai dengan
urusannya, Darren beranjak berdiri. Ia tetap terlihat datar. Namun, percayalah.
Pikirannya tak setenang yang terlihat. Kepalanya masih sibuk menerjemahkan
unsur dirinya sebagai produk gagal para leluhur.
“Evolusi
menuntun perubahan. Saya tidak ingin berubah. Saya tidak ingin termakan oleh
dikte yang orang lain inginkan atas hidup saya. Menjadi produk gagal atau
produk berhasil tidak memiliki arti apa-apa. Bagi saya, kondisi ini adalah
wujud paling sempurna dari evolusi manusia karena bisa membuat manusia aman
dari penderitaan dan rasa takut yang bisa memicu agresi dan kemusnahan. Dunia
tanpa emosi adalah dunia yang aman terkendali. Tidak ada agresi, tidak ada
kriminalitas, tidak ada pembunuhan apalagi bunuh diri.”
Darren menutup
argumentasinya dengan mengangguk pelan terhadap Profesor Diana. Memberikan
hormat secara formal.
“... Kalau
begitu saya permisi dulu.”
Pria itu keluar
dari ruang dekan. Meninggalkan Profesor Diana yang termenung di kursinya. Sorot
matanya sedu sedan. Menatap kosong ke arah kepergian Darren. Dan tanpa sengaja
bertemu pandang dengan putrinya, Angeline, yang masih duduk bersamanya.
“Sepertinya
‘produk gagal’ sudah berlebihan, Ma.” Wanita dua puluh sembilan tahun itu
bergumam pelan melihat sekilas sesal menyelinap di antara kesenduan mata
ibunya.
“Dia tidak
mencerna sesuatu dengan emosi seperti yang kita lakukan. Kata-kata itu tidak
akan mempengaruhinya,” jawab Profesor Diana sambil menghapus sekilas sesal dari
benaknya.
“Tetap saja.
Dia akan terluka kalau suatu saat emosinya kembali.”
“Aku menunggu
suatu saat itu datang.”
*