Read More >>"> The Last Blooming Flower (Benang Kusut) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Last Blooming Flower
MENU
About Us  

“Aku akui mama tadi sedikit keterlaluan.”

Anggeline melontarkan kata itu sambil berjalan mendekat dari arah pintu ruang kerja Darren yang baru. Ia menatap lelaki itu canggung-canggung sambil berusaha menetralkan ketegangan yang sempat terjadi antara Darren dengan ibunya.

“Tidak keterlaluan. Sebagai ilmuwan aku tahu maksud Profesor Diana mengucapkannya.” Darren menyahut dengan pandangan yang masih terfokus pada sebendel buku disertasi yang ia bawa dari ibukota. Tampak serius membaca kajian ilmiah dalam bahasa Inggris yang merupakan hasil penelitiannya di Harvard beberapa tahun silam.

“Kalian berdua memang ilmuwan,” sahut Angeline sambil menganggukkan kepala. Mencoba memahami kalau hubungan Darren dengan ibunya memang tak sesederhana yang terlihat. Semacam ada tali kusut yang menghubungkan satu sama lain. Tali dari hubungan tak sedarah sekaligus keluarga yang melebihi ikatan darah. Juga hubungan sebagai mentor dan murid yang saling mendebatkan teori masing-masing dan saling membuktikan siapa yang paling benar. Kerumitan hubungan serupa Sigmund Freud dengan Carl Jung yang sama-sama menggeluti psikoanalisis. Hanya saja, Darren dengan Profesor Diana memiliki kelekatan khusus yang membuat Darren tidak bisa memisahkan diri dari Profesor Diana seperti yang dilakukan Jung terhadap Freud.

“Aku, yang seorang ilmuwan.” Darren melontarkan sanggahan. Kali ini matanya tak lagi fokus membaca buku disertasinya, melainkan melihat Angeline yang tiba di seberang meja kerjanya. Mereka bertukar tatap. “Profesor Diana lebih dari sekadar ilmuwan.”

 “Apa karena mama seorang psikolog klinis? Jadi ‘lebih dari sekadar ilmuwan’ bagimu?”

Gelengan kepala menjadi jawaban pertama Darren terhadap pertanyaan Angeline. Pria itu menutup bukunya dan beranjak bangkit dari duduk.

“Aku tidak mendikotomi istilah psikolog atau ilmuwan psikologi. Yang aku maksud bukan sekadar ilmuwan adalah karena Profesor Diana termasuk keluargaku, begitu pula kamu.”

Kedua alis Angeline menaik tinggi-tinggi. Saat itu pula Darren tiba di hadapannya.

“Jadi selama ini kamu menganggap kami keluarga?” tanya Angeline. Sekadar memastikan.

“Secara teknis Profesor Diana adalah adik ibuku, alis bibi. Dan kamu adalah anak Profesor Diana,” jawab Darren dengan nada bicara yang datar. Raut wajahnya tak menampakkan emosi sepercik pun.

“Anak angkat, maksudnya.”

Darren terdiam membenarkan ucapan Angeline. Benar. Wanita itu memang tidak lahir dari rahim Profesor Diana, melainkan adopsi. Ia diadopsi sejak masih bayi. Dan hingga detik ini ia sama sekali tidak tahu siapa orang tua kandungnya. Ia tidak penasaran siapa orang tua kandung yang membuangnya di depan rumah seorang psikolog. Juga tidak penasaran mengapa ia hanya memiliki ibu angkat dan tidak memiliki ayah angkat. Ia sudah merasa cukup memiliki seorang ibu yang merawatnya penuh kasih sayang, dan bahkan mendukung setiap pilihannya. Termasuk pilihan Angeline untuk menjadi supermodel dan memulai kariernya di New York sembilan tahun silam.

Kening Angeline mengerut menatap Darren lama. Ia teringat suatu kejadian.

“Aku ingat dulu waktu kecil kamu masih memanggil mama dengan sebutan ‘bibi’. Kenapa sekarang tidak? Kalian terlihat lebih canggung. Seperti ada pembatas yang sengaja kamu bangun.”

Pertanyaan Angeline itu sukses membuat Darren mengalihkan wajahnya. Ia menatap benda lain di ruang kerja barunya. Yaitu sebuah bingkai foto yang memperlihatkan dirinya dalam acara kelulusan di Harvard, bersama Profesor Diana.

“Waktu kecil aku masih membutuhkan sosok bibi.”

“Sekarang?” sela Angeline.

“Sekarang aku lebih membutuhkan sosok Profesor Diana daripada sosok bibi.”

Jawaban yang singkat dan mudah dipahami. Angeline menganggukkan kepala. Ia masih tak bisa melepaskan ingatannya dari perdebatan ibunya dengan Darren sesaat lalu. Sungguh ia sering mendengar mereka berdua berdebat soal teori, tapi baru kali ini ia melihat ibunya sedikit lepas kendali dengan menyebut Darren sebagai produk gagal karena kondisinya yang tidak biasa akibat suatu trauma yang berkepanjangan.

Kedua mata Angeline jatuh menatap lengan kanan Darren. Lengan kekar yang penuh dengan bekas luka bakar, yang kali ini diekspos oleh Darren dengan mengenakan kemeja lengan pendek.

Angeline menarik napas pelan sambil meraih lengan Darren. Meraba-raba bekas luka bakar yang ada di kedua lengan, leher, telinga, hingga kaki.

“Mama menyayangimu seperti dia menyayangiku. Aku yakin mama hanya menginginkan yang terbaik buatmu.”

“Itu masalah sebagian besar orang. Bagaimana mungkin orang tahu mana yang terbaik untuk orang lain di saat dia tidak merasakan hidup orang lain itu?” Darren menyanggah tanpa pikir panjang. “Aku tidak berpikir Profesor Diana salah dalam hal ini. Dia seseorang yang aku hormati, khususnya di bidang ini. Tapi aku tidak mau ada orang lain yang mencoba memaksakan kehendaknya atas hidupku. Bahkan Profesor Diana, atau bahkan kamu.”

“Aku nggak pernah memaksakan kehendakku. Kamu ingat aku pernah melakukannya?” sahut Angeline spontan.

“Kalau begitu apa yang sedang coba kamu lakukan saat ini?” Darren menimpali. Rupanya sejak tadi ia menelaah tiap gerakan mata dan gesture Angeline. Ingin mengetahui maksudnya. “Kamu ingin membuatku sependapat dengan Profesor Diana yang menganggap penyakitku ini mengerikan dan supaya aku mau menjalani sederet psikoterapi untuk mengembalikan emosi?”

Tanpa diduga, senyum Angeline tersimpul. Ia melepaskan lengan Darren dari cengkeraman lembutnya.

“Doktor Darren yang suka berspekulasi,” sindir Angeline.

“Ini asumsi.”

Kepala Angeline otomatis terangguk.

“Apa pun itu. Aku sebenarnya tidak ingin terlibat dengan ketegangan hubungan kalian. Aku juga tidak mau terjebak di tengah argumentasi dan teori-teori yang tidak aku mengerti,” cerita Angeline.

“Terus untuk apa kamu menemuiku di sini?”

“Aku cuman ingin ketemu seseorang yang lama aku rindukan. Apa aku nggak boleh merindukan seseorang?” Kali ini Angeline membuat Darren terbisu. “Ini kunjungan pertamaku setelah dua musim. Hm, musim di USA, maksudku. Dan mungkin akan jadi kunjungan terlamaku di Indonesia. Aku ingin menghabiskan banyak waktu sama Mama. Sama kamu, kalau mungkin. Gimana pun kita pernah tumbuh bersama, bukan? Di Cambridge kita juga pernah tinggal seapartemen. Aku pikir aku punya banyak alasan buat ngobrol dengan mantan roomate sekaligus keluargaku sendiri.”

Darren yang tampak memahami maksud Angeline itu hanya mengangguk kecil.

“Ya. Kita punya alasan yang cukup untuk itu.”

Senyum anggun bermekaran di wajah Angeline. Kaki jenjangnya maju selangkah untuk memeluk Darren yang sudah enam bulan lebih tidak dijumpainya.

“Nanti malam bisa join makan malam, kan?” tanya Angeline selepas ia memeluk Darren.

“Nanti malam aku....”

Never say naver.” Angeline menyela sebelum pria itu menolaknya.

Melihat Angeline yang tampak bersikeras itu Darren akhirnya mengangguk.

“Baiklah.”

Angeline melepaskan pelukannya. Ia kembali tegap menatap ruangan yang terasa kosong.

“Aku kaget waktu mama bilang kamu sudah nggak bekerja lagi di pusat labolatorium psikologi Universitas Indonesia. Kamu kelihatan nyaman bekerja di tempat itu.”

“Di sana menarik. Banyak hal baru yang bisa aku pelajari.” Darren menanggapi.

“Terus kenapa kamu memutuskan pindah?”

“Profesor Diana yang memintaku.”

Jawaban Darren yang spontan itu terdengar meragukan di telinga Angeline.

“Mama meminta, dan kamu langsung menurut begitu saja? Aku memang tahu kalau kamu itu orang yang penurut. Tapi aku tetap tidak mengerti sejak kapan kamu sepenurut itu,” kata Angeline yang melihat Darren seperti menyembunyikan sesuatu darinya.

“Profesor Diana bilang yayasan ini dibangun sama kakek.”

“Itu alsanmu bersedia pindah kemari sebagai pengajar?”

“Salah satunya.”

“Alasan lainnya?” tanya Angeline yang masih merasa Darren menyembunyikan sesuatu.

Darren seketika itu terdiam. Angeline yang melihat keengganannya menjawab pertanyaan itu pun mengangguk maklum.

“Aku berharap kamu kerasan di sini, sebagai pengajar. Siapa tahu kamu menemukan mahasiswa cantik untuk berkencan,” canda Angeline sambil menggoda Darren.

“Aku tidak tertarik.”

“Hati-hati. Itu bisa jadi penyakit.” Angeline mengucapkannya sambil berjalan menjauhi Darren. Sebelum keluar dari ruangan ini, Angeline menambahkan, “Aku akan mampir ke rumahmu kalau ada waktu. Buatkan aku koktail. Aku kangen rasanya.”

“Kamu sudah tahu alamat rumah baruku?”

Angeline tertawa menggelitik mendengar pertanyaan polos Darren.

“Kamu pikir siapa yang mencarikanmu agen? Vivia adalah teman SMP-ku. Aku minta tolong padanya untuk mencarikan rumah buat saudaraku, pria berumur 30 tahun yang lajang dan tinggal sendiri,” jawab Angeline sambil mencandai Darren.

“Oh, aku tidak tahu soal itu.”

“Ada banyak hal yang tidak kamu tahu,” ucap Angeline. Ia telah memutar knop pintu. Namun telunjuk kirinya tiba-tiba berdiri dan ia kembali memutar tubuhnya menatap Darren. “Oh ya! Apa jangan-jangan kamu juga membawa semua bangkai teman-temanmu ke rumah baru?” tanya Angeline sambil mengernyit jijik.

“Ya. Aku sudah memindahkan semua ke rumah baru.”

Oh my god. Kenapa kamu masih mengoleksi teman-temanmu yang sudah membusuk itu?” rutuk Angeline dengan wajah jijiknya.

“Koreksi. Benar teman-temanku sudah menjadi bangkai. Tapi mereka tidak membusuk. Aku sudah mengawetkannya dengan baik.” Darren menanggapi dengan serius. Namun tidak menghilangkan ekspresi jijik di wajah Angeline.

“Kalau begitu aku tidak jadi datang ke rumahmu! Aku tidak mau digigit lagi.”

“Mereka terkunci di tempat tertutup. Datanglah. Aku akan buatkan mojito,” bujuk Darren.

“Bagaimana kalau nanti aku digigit lagi?”

“Toh mereka sudah mati. Tidak usah khawatir.”

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Play Me Your Love Song
2792      1162     10     
Romance
Viola Zefanya tidak pernah menyangka dirinya bisa menjadi guru piano pribadi bagi Jason, keponakan kesayangan Joshua Yamaguchi Sanjaya, Owner sekaligus CEO dari Chandelier Hotel and Group yang kaya raya bak sultan itu. Awalnya, Viola melakukan tugas dan tanggung jawabnya dengan tuntutan "profesionalitas" semata. Tapi lambat laun, semakin Viola mengenal Jason dan masalah dalam keluarganya, sesu...
Campus Love Story
5291      1454     1     
Romance
Dua anak remaja, yang tiap hari bertengkar tanpa alasan hingga dipanggil sebagai pasangan drama. Awal sebab Henan yang mempermasalahkan cara Gina makan bubur ayam, beranjak menjadi lebih sering bertemu karena boneka koleksi kesukaannya yang hilang ada pada gadis itu. Berangkat ke kampus bersama sebagai bentuk terima kasih, malah merambat menjadi ingin menjalin kasih. Lantas, semulus apa perjal...
Call Kinna
3566      1491     1     
Romance
Bagi Sakalla Hanggra Tanubradja (Kalla), sahabatnya yang bernama Kinnanthi Anggun Prameswari (Kinna) tidak lebih dari cewek jadi-jadian, si tomboy yang galak nan sangar. Punya badan macem triplek yang nggak ada seksinya sama sekali walau umur sudah 26. Hobi ngiler. Bakat memasak nol besar. Jauh sekali dari kriteria istri idaman. Ibarat langit dan bumi: Kalla si cowok handsome, rich, most wante...
TO DO LIST CALON MANTU
1043      442     2     
Romance
Hubungan Seno dan Diadjeng hampir diujung tanduk. Ketika Seno mengajak Diadjeng memasuki jenjang yang lebih serius, Ibu Diadjeng berusaha meminta Seno menuruti prasyarat sebagai calon mantunya. Dengan segala usaha yang Seno miliki, ia berusaha menenuhi prasyarat dari Ibu Diadjeng. Kecuali satu prasyarat yang tidak ia penuhi, melepaskan Diadjeng bersama pria lain.
Hello, Kapten!
925      480     1     
Romance
Desa Yambe adalah desa terpencil di lereng Gunung Yambe yang merupakan zona merah di daerah perbatasan negara. Di Desa Yambe, Edel pada akhirnya bertemu dengan pria yang sejak lama ia incar, yang tidak lain adalah Komandan Pos Yambe, Kapten Adit. Perjuangan Edel dalam penugasan ini tidak hanya soal melindungi masyarakat dari kelompok separatis bersenjata, tetapi juga menarik hati Kapten Adit yan...
Reminisensi
0      0     0     
Fan Fiction
Tentang berteman dengan rasa kecewa, mengenang kisah-kisah dimasa lampau dan merayakan patah hati bersama. Mereka, dua insan manusia yang dipertemukan semesta, namun bukan untuk bersama melainkan untuk sekedar mengenalkan berbagai rasa dalam hidup.
Listen To My HeartBeat
391      232     1     
True Story
Perlahan kaki ku melangkah dilorong-lorong rumah sakit yang sunyi, hingga aku menuju ruangan ICU yang asing. Satu persatu ku lihat pasien dengan banyaknya alat yang terpasang. Semua tertidur pulas, hanya ada suara tik..tik..tik yang berasal dari mesin ventilator. Mata ku tertuju pada pasien bayi berkisar 7-10 bulan, ia tak berdaya yang dipandangi oleh sang ayah. Yap.. pasien-pasien yang baru saja...
Perhaps It Never Will
3485      1261     0     
Romance
Hayley Lexington, aktor cantik yang karirnya sedang melejit, terpaksa harus mengasingkan diri ke pedesaan Inggris yang jauh dari hiruk pikuk kota New York karena skandal yang dibuat oleh mantan pacarnya. Demi terhindar dari pertanyaan-pertanyaan menyakitkan publik dan masa depan karirnya, ia rela membuat dirinya sendiri tak terlihat. William Morrison sama sekali tidak pernah berniat untuk kem...
Let's See!!
1366      662     1     
Romance
"Kalau sepuluh tahun kedepan kita masih jomblo, kita nikah aja!" kata Oji. "Hah?" Ara menatap sahabat kentalnya itu sedikit kaget. Cowok yang baru putus cinta ini kenapa sih? "Nikah? lo sama gue?" tanya Ara kemudian. Oji mengangguk mantap. "Yap. Lo sama gue menikah."
DELUSION
3686      1336     0     
Fan Fiction
Tarian jari begitu merdu terdengar ketika suara ketikan menghatarkan sebuah mimpi dan hayalan menjadi satu. Garis mimpi dan kehidupan terhubung dengan baik sehingga seulas senyum terbit di pahatan indah tersebut. Mata yang terpejam kini terbuka dan melihat kearah jendela yang menggambarkan kota yang indah. Badan di tegakannya dan tersenyum pada pramugari yang menyapanya dan menga...