Read More >>"> Our Different Way (LIMA) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Our Different Way
MENU
About Us  

Ketika bel istirahat pertama berbunyi, aku bilang ke Gian dan Sita bahwa perutku sakit, jadi mungkin akan di toilet sedikit lebih lama.

Kuminta mereka untuk pergi ke kantin. Tidak perlu menunggu aku. Gian sempat cemas, takut aku sakit karena masuk angin, merasa bersalah karena dia sudah mengajakku banyak melakukan aktivitas sampai malam. Kubilang padanya tidak perlu cemas dan merasa bersalah hanya gara-gara melihatku sakit perut.

Bilik toilet perempuan di lantai tiga yang ada di dekat laboratorium sepertinya penuh karena semuanya dikunci dari dalam. Jadi, kulangkahkan kakiku menuju toilet lainnya, yaitu ke toilet bagian pojok yang agak jauh dari ruang kelas.

Benar saja, di sini sepi, karena dulu, pernah ada rumor bahwa toilet ini berhantu. Aku, sih, sama sekali tidak percaya sesuatu yang berbau takhayul dan rumor itu sama sekali tidak membuatku takut untuk masuk ke dalam toilet ini.

Setelah masuk ke dalam salah satu bilik toilet, aku mengunci pintu lalu menutup kloset dan duduk di atasnya. Tujuan utamaku ke sini sebenarnya bukan untuk buang air besar. Perutku juga sebenarnya baik-baik saja, tidak terasa sakit sama sekali, hanya saja ada yang ingin kulakukan sendirian tanpa mau diganggu siapapun.

Aku kemudian mengeluarkan ponsel dan membuka sebuah situs pencarian. Sebenarnya, aku hanya ingin mencari beberapa tips agar hubunganku dengan Gian berjalan lancar dan dia tidak merasa bosan denganku.

Bukannya aku tidak percaya pada Gian, aku tahu dia baik dan setia, dan kemarin, saat menghabiskan banyak waktu dengannya, aku merasa senang sekali sampai tidak ingin berpisah lagi dengan Gian hingga kapanpun, maka dari itu aku tidak ingin Gian bosan dengan hubungan yang kami jalani karena terkesan monoton.

Tapi, yang ada di internet hanya tips-tips dasar yang sebenarnya sudah kuketahui tanpa perlu diberitahu.

Merasa tidak mendapatkan apapun, aku memasukkan lagi ponselku ke dalam saku. Setelah itu, aku berjalan keluar dari toilet dengan sedikit tidak semangat.

*****

Ketika jam istirahat pertama selesai, bel masuk berbunyi yang menjadi pertanda kelas selanjutnya akan segera dimulai.

Semua murid yang satu kelas denganku serempak masuk ke dalam kelas setelah bel berbunyi, duduk di tempat masing-masing, termasuk Gian dan teman-temannya yang sepertinya habis bermain di lapangan, lalu Sita yang sepertinya habis dari kantin, dia langsung mendudukkan diri di sebelahku. Kami semua menunggu kehadiran guru yang akan mengajar pada mata pelajaran selanjutnya, sambil mengeluarkan buku pelajaran.

Ketua kelas pun masuk tidak lama kemudian dengan membawa informasi bahwa guru yang seharusnya mengajar sedang berhalangan hadir. Dia hanya memberi kami tugas yang harus dikumpulkan besok, serta pesan untuk tidak keluar kelas sampai bel berbunyi, membuat satu kelas seketika riuh gembira karena jam kosong. Kulihat semua anak laki-laki termasuk Gian segera berkumpul di pojok kelas, lalu salah satu dari mereka mengeluarkan laptop untuk kemudian menonton film (entah apa) bersama-sama.

Sementara itu, anak perempuan terbagi menjadi beberapa kelompok. Beberapa anak perempuan yang tergabung dalam satu gerombolan anak popular kini sedang mencoba alat make up milik satu sama lain. Beberapa anak perempuan lain memilih berfoto selfie bersama teman-teman satu gerombolannya. Beberapa lainnya lagi juga membentuk satu perkumpulan guna membicarakan guru atau murid perempuan dari kelas lain yang katanya sedang hamil, sementara sisanya termasuk Sita memilih untuk sibuk dengan ponsel masing-masing. Kupikir Sita lagi-lagi sedang mengintip akun media sosial seseorang yang sedang disukainya.

Aku sendiri mencoba fokus mengerjakan soal yang diberikan guru sambil membuka-buka buku pelajaran guna menemukan jawaban. Tapi, rasanya sulit untuk bisa fokus, karena sedari tadi pikiranku masih pada cara agar Gian tidak bosan padaku, rasanya frustasi karena kurasa tidak ada bedanya antara aku yang sekarang dan aku yang dulu saat baru pacaran pertama kali dengan Gian.

Aku pun menutup buku dan beralih menggeser kursi, berusaha mendekat ke Sita. Kutepuk pelan lengannya, membuat Sita menoleh dengan pandangan bertanya.

Setelah memulai topik obrolan yang kuanggap tidak penting, barulah kemudian aku mengarahkan pembicaraan supaya membahas pada topik yang aku mau:

“Terus, kalau suatu hari nanti nih, kamu sama crush-mu akhirnya pacaran, terus kalian mau ngapain aja?”

“Ngapain aja? Ya gitu-gitu lah, kayak orang pacaran pada umumnya. Nonton, book date, ice cream date, museum date, ya pokoknya gitu-gitu,” jawab Sita. “Emang mau ngapain aja selain itu? Pertanyaanmu ‘ngapain aja’ itu bukan mengarah ke hal-hal delapan belas coret, kan? Hayooo, ngaku!”

“Heh, ya bukan!”

“Kan, kamu sendiri udah ada pacar. Terus, sekarang ngapain nanya kegiatan orang pacaran ke aku?”

“Ya, kan, siapa tau, nanti kamu mau nyoba sesuatu yang anti mainstream,” kataku. “Biar pasangan kita nggak bosen itu-itu aja.”

“Oh? Iya, ya?” Sita bagai nanya ke dirinya sendiri. “Biar pacar kita nggak bosen, ya?”

“Iya, gimana menurutmu bikin pacar betah dan nggak bosen?”

“Bentar, bentar, kayaknya aku pernah ngebookmark itu deh,” jawab Sita sambil mengutak-atik ponselnya. “Nah, ketemu! Bentar, aku bacain.”

“Iya, cepetan.” Mataku seketika berbinar.

“Yang pertama, cobalah melakukan kegiatan yang belum pernah kalian lakukan selama pacaran. Contohnya, ajaklah pacarmu pergi bermain di Pasar Malam daripada pergi ke mall.”

“Pasar Malem? Emang di sana ada apa aja?”

“Banyak, sih, kemarin ponakanku ngelukis karakter Doraemon waktu main ke sana.”

“Itu kita nanti di kasih kanvas kosong gitu apa gimana?”

“Bukan, udah ada gambarnya.”

“Kalau gitu, apanya yang dilukis?” tanyaku tidak paham. “Kan, udah ada gambarnya?”

“Ya nanti gambarnya tinggal dikasih warna pake cat air. Bayangin coba, pasti seru.”

“Ooooh, gitu.”

“Oke, sekarang lanjut. Yang kedua, jika kamu takut pacarmu akan merasa bosan denganmu, maka sering-seringlah tunjukkan ketulusanmu padanya,” kata Sita. “Contohnya, sering-seringlah ungkapkan ketulusanmu dengan menatap matanya lalu mengatakan ‘aku sayang kamu’.”

“Menurutmu cringe, nggak, sih? Apalagi, aku tuh sama sekali bukan tipe yang sering bilang gitu ke Gian.”

Baru membayangkannya saja sudah membuatku geli.

“Nggak apa-apa, coba aja dulu.”

“Kalau nanti malah bikin awkward gimana?”

“Makanya, biasanya kalau di drakor-drakor nih, ya, orang-orang bilang aku sayang kamu itu tuh pas suasananya lagi romantis, jadi kesannya juga romantis,” kata Sita. “Coba deh, bayangin, pasti sweet banget, kan?”

“Iya, mungkin.”

“Oke, sekarang yang ketiga.”

“Apaan yang ketiga?” tanyaku.

“Sering-seringlah memberi kejutan pada pasanganmu agar dia merasa bahagia dan tidak bosan. Tidak perlu membeli sesuatu yang harganya mahal. Cukup siapkan barang yang sekiranya akan disukai oleh pasanganmu.”

“Barang yang kira-kira disukai cowok apa, ya?”

“Cowok tuh palingan action figure, jam tangan, parfum, sparepart motor, banyak, sih.”

“Ha ha ha, kenapa harus sparepart motor juga, sih?”

“Ya, kan, ada cowok yang suka bongkar pasang motornya,” jawab Sita. “Kalau si Gian demen bongkar pasang motornya, paling juga kesenengan dia itu kalau misalnya dibeliin sparepart motor.”

“Oke deh, noted,” kataku, sambil mengetik perkataan Sita tadi di catatan ponsel. Total sudah ada tiga, dan bagiku tidak ada yang sulit dari ketiga saran itu, kurasa aku bisa sedikit merubah gaya pacaran kami dengan melakukan saran-saran tersebut agar tidak monoton.

“Sekarang, yang keempat.”

“Yang keempat,” kataku mengulangi perkataan Sita. “Apaan yang keempat?”

“Nih, kayaknya yang paling penting nih, keempat yaitu hindari melampiaskan amarah atau rasa kesal terhadap pasangan untuk meminimalisir pertengkaran selama kalian berdua menjalin hubungan.”

“Oke, udah, udah cukup.”

Yes! Nah, ini yang kucari-cari. Terima kasih, ya, Sitaaaaa!!!

*****

Malam harinya, aku pamit ke Mbak Yanti mau ke rumah Gian, dengan alasan mau mengajari Gian di sana. Tidak sampai lima belas menit aku sudah sampai di rumah Gian. Gian langsung keluar begitu mendengar suara mesin mobil yang dimatikan.

“Ke Pasar Malem, yuk, Gi?” tanyaku setelah berdiri di depan Gian. Aku memang sudah bilang ke Gian kalau ingin jalan-jalan dengannya malam ini. Gian sempat heran dengan aku yang tiba-tiba mengajak jalan-jalan, padahal biasanya kami selalu belajar bersama saat malam, dan aku selalu tegas padanya agar belajar setiap hari.

“Sekarang?”

“Iya, sekarang.”

Gian mengangguk. Dia kemudian ganti baju dan baru keluar lagi setelah lebih rapi.

“Yuk?”

Kami pun berangkat naik motor Gian, dan tidak butuh waktu lama untuk sampai di tempat yang kuinginkan.

“Mau naik yang mana?”

“Aku pengen ngelukis,” jawabku. “Ya ya ya?”

“Oke.”

“Yuk, ke sana.”

Kami berjalan, bergandengan tangan sambil melihat sekeliling, melewati beberapa wahana permainan yang ramai. Kami berjalan menuju tempat melukis yang berada di sebelah penjual jajanan Rambut Nenek.

“By the way, di sana bisa ngelukis gambar apa aja? Setahuku cuma bisa ngelukis karakter animasi anak-anak, kan?” tanya Gian. “Terus, nanti kalau gambar yang aku mau nggak ada, boleh request ngelukis yang lain nggak?”

“Nggak tau, tapi emang kamu pengen ngelukis apa?”

“Pengen ngelukis masa depan,” kata Gian. “Masa depanku sama kamu. Di sana pasti nggak ada.”

“Ha ha ha.”

Kami akhirnya sampai di tempat melukis yang penuh oleh anak kecil, mereka tampak sibuk dengan lukisannya masing-masing dan tampak senang, sementara orangtua mereka menunggu di belakang anak-anaknya.

Setelah itu, kami juga pesan.

Aku memilih salah satu karakter perempuan dari film Frozen sebagai gambar yang akan kulukis. Sementara Gian, dia sempat bercanda pada si penjual tentang gambar masa depan bersamaku yang tentu saja tidak ada di sini. Aku sempat ketawa melihat perdebatan dia dengan si penjual yang menurutku lucu.

Lelah berdebat sampai membuat si penjual kehabisan kata, Gian akhirnya mengalah, kemudian dia memilih gambar Naruto sebagai gambar yang akan dia lukis, lalu penjual menyuruhnya duduk di kursi kecil yang masih kosong, membuat mereka lagi-lagi berdebat karena Gian protes sebab duduk jauh dariku, mau tak mau kemudian si penjual menggotong peralatan melukis Gian dan memindahkannya tepat di sampingku, suasana jadi ramai seketika, karena ibu-ibu pada menertawakan tingkah iseng Gian yang berhasil membuat si penjual kesal dan jengkel sampai hampir ingin melempar kursi kecil ke Gian.

Gian mencondongkan sedikit badannya setelah duduk di sampingku: “Nanti kalau aku bikin penjualnya kesel lagi terus dilempar kursi beneran, tolong obatin, ya?” katanya dengan sedikit berbisik. “Pakai cium.”

Wajahku seketika langsung merona merah, lalu kupukul lengannya sambil berusaha menyembunyikan rasa malu, barulah setelah itu kami fokus dengan gambar masing-masing. Gian juga tidak bersuara lagi dan hanya sibuk mengoleskan cat pada gambar Naruto yang ada di depannya.

Jarum jam yang terus berputar sama sekali tidak terasa lama, karena fokusku sepenuhnya tertuju pada gambar yang sedang kulukis, kemudian merasa puas setelah lukisanku akhirnya jadi. Gian juga begitu, dia berhasil menyelesaikan lukisannya setelah membuat tangannya kotor akibat terkena cat.

Ketika membandingkan gambar kami, aku jadi kesal sendiri karena lukisan hasil karya Gian jauh lebih bagus daripada milikku.

Demi menghiburku yang tiba-tiba merajuk, Gian kemudian mengajakku untuk mencoba permainan bianglala.

Kami pun naik bianglala setelah membeli tiket.

Belum ada satu putaran, bianglala yang kami naiki tiba-tiba berhenti saat posisi kami berada tepat di atas, tapi hal itu justru membuatku senang bukan main, karena merasa takjub dapat melihat semua yang ada di bawah dari atas sini. Gian kulihat juga sama antusiasnya, dia terlihat tidak takut sama sekali berada pada titik ketinggian ini, malah terus melihat ke bawah tanpa takut merasa pusing.

Mesin bianglala berhenti cukup lama. Kukira ada yang rusak atau eror. Kata Gian bukan. Dia kemudian memberitahuku bahwa hal ini sudah sering terjadi. Orang yang mengoperasikan bianglala memang terkadang sengaja mematikan mesin. Alasannya, agar para penumpang bisa menikmati keseruan naik bianglala. Kata Gian, itu adalah trik agar menarik minat orang-orang untuk mencoba naik wahana permainan ini.

Di saat seperti ini, aku jadi ingat salah satu saran yang dibaca oleh Sita saat jam kosong tadi. Kupikir ini adalah momen yang tepat. Kupikir ini bisa dikategorikan sebagai suasana romantis bersama pasangan.

Ya, Tuhan, aku rasanya gugup sekali.

Untuk berusaha menetralkan rasa gugup, aku berdehem sebentar sebelum memanggil Gian agar fokusnya beralih padaku.

Gian menoleh, dan itu justru membuatku tambah merasa gugup. Jantungku semakin berdetak kencang, seperti ketika habis disuruh lari keliling lapangan saat pelajaran olahraga.

“Hm? Kenapa?” tanya Gian.

“Gian, aku sayang kamu.”

Akhirnya, kuucapkan juga kalimat itu dengan suara pelan. Ah, rasanya tenagaku seperti ada yang menyedot setelah berhasil bilang begitu ke Gian.

“Hah? Apa?” kata Gian yang sepertinya tidak dengar karena suaraku terlampau pelan.

“Ih!” kataku kesal. Dengan jantung yang masih berdegup kencang, aku berusaha mengulangi kalimat tadi: “Aku sayang kamu. Aku sayang kamu, Gian.”

“Kamu bilang apa?”

“Aku sayang kamu.”

“Coba bilang sekali lagi, masih nggak denger.”

Aku segera memukul lagi lengan Gian karena kesal. Sementara Gian justru ketawa.

Bianglala yang kami naiki akhirnya berputar lagi, dan sampai saatnya turun, aku sengaja mendiamkan Gian karena malu. Lalu, saat kami hendak pulang karena aku sudah tidak ingin naik wahana permainan lagi, Gian tiba-tiba berujar:

“Aku juga sayang kamu,” katanya. “Sayaaaaang sekali.”

*****

Aku sampai di rumah saat jarum jam menunjukkan pukul sembilan, masih belum terlalu larut, sebenarnya juga masih ingin berlama-lama dengan Gian jika tidak ingat pesan dari Mbak Yanti agar tidak pulang larut.

Seperti biasa, rumah ini sepi saat aku masuk. Para asisten rumah tangga sudah bisa dipastikan berada di belakang, karena kamar mereka semua memang di sana. Mungkin mereka sedang sibuk nonton sinetron ramai-ramai. Mungkin juga sedang asyik menggunjing tetangga lain yang tinggal di kompleks perumahan ini.

Aku sengaja masuk rumah pelan-pelan, karena ingin mengejutkan Mbak Yanti sambil membawa permen kapas. Saat melewati kamar utama yang sedikit terbuka, aku terkejut bukan main, bahkan sampai membuat permen kapas yang kubawa jatuh begitu saja ke lantai.

Aku segera menegakkan badan. Jantungku berdegup kencang, tanganku gemetar. Aku merasa telah melihat sesuatu yang seharusnya tidak kulihat.

*****

Semalaman aku tidak bisa tidur.

Waktu untuk tidur kugunakan untuk menangis, rasanya benar-benar sakit ketika mengetahui fakta bahwa Papa telah mengkhianati Mama. Alhasil, pagi harinya kedua mataku benar-benar bengkak dan membuatku malu untuk pergi ke sekolah.

Semangatku untuk bangun tidur juga menguap pagi ini, apalagi ketika melihat Mbak Yanti masuk ke dalam kamarku, berusaha selembut mungkin dalam membujukku agar mau bangun dan pergi ke kamar mandi. Mbak Yanti, aku masih tidak habis pikir dengan apa yang dia perbuat semalam.

Aku rasanya juga muak sekali saat melihat wajah Papa. Mereka berdua biadab! Mereka berdua jahat! Bisa-bisanya mereka melakukan hal menjijikkan seperti itu semalam!

*****

Saat melihat Gian menjemput, suasana hatiku masih buruk, dan jadi bertambah buruk ketika ingat fakta bahwa Gian adalah anak Mbak Yanti.

Kami banyak diam saat di perjalanan menuju sekolah hari ini. Aku sengaja mendiamkan Gian karena tidak sedang dalam suasana hati yang baik untuk ngobrol dengannya.

Saat jam pulang sekolah pun, aku tetap mendiamkan Gian.

“Kamu kenapa?” tanya Gian. “Kenapa diem terus dari tadi pagi?”

“Nggak apa-apa,” jawabku sambil memalingkan wajah.

Hening lagi. Kedua mataku terus menghindari kontak mata dengan Gian.

“Apa aku bikin salah?”

“Nggak ada apa-apa, aku cuma capek, mungkin lagi butuh waktu sendiri.”

Saat Gian hendak mengajakku ke parkiran, aku segera menolak, kubilang aku ingin pulang sendiri, tidak perlu ikut dengannya, biar aku naik taksi saja, dan dia sepertinya makin bingung dengan perubahan sikapku yang tiba-tiba hari ini.

“Semoga cepet hilang capeknya, aku pulang duluan.”

“Iya.”

Setelah bilang begitu, kami berpisah. Aku berjalan menuju gerbang sekolah sementara Gian menuju parkiran yang sudah banyak anak-anak cowok di sana.

Sungguh, aku tidak bermaksud marah ke Gian, atau ingin menghindar dari dia. Hanya saja, aku sedang tidak ingin bertemu Gian, karena setiap kali melihat Gian, aku kembali terbayang wajah Mbak Yanti, kembali terbayang perbuatan biadab yang Mbak Yanti lakukan dengan Papa semalam, di kamar utama yang selama ini menjadi kamar milik Mama dan Papa. Ketika mengingat itu, tubuhku rasanya kembali gemetar, rasanya aku sangat marah kepada mereka berdua.

Aku sebenarnya sangat ingin memberitahu Mama perihal sesuatu yang tidak sengaja kulihat semalam, tentang perbuatan Mbak Yanti dan Papa, tapi Mama bilang akan sibuk ketika berada di luar kota. Mama sudah berpesan padaku, untuk jangan mengganggunya, jadi dengan berat hati, kuurungkan niatku untuk mengadu ke Mama, agar tidak mengganggu pekerjaan Mama di sana, agar semua urusan Mama di sana bisa lancar.

Meski Mama seperti tidak peduli padaku, tapi aku tahu bahwa Mama kerja keras seperti itu juga untukku. Aku yakin bahwa Mama tetap menyayangiku dan aku juga akan tetap menyayangi Mama.

Maka dari itu, aku juga rasanya tidak rela jika ada seseorang yang sedang berusaha merebut kebahagian Mama. Sebagai anak Mama, aku seperti ikut merasakan sakit hati yang akan dirasakan Mama ketika dia sudah tahu nantinya. Mama pasti akan sangat sedih, dan aku seperti sudah bisa merasakan kesedihan itu. Hatiku seolah ikut diremas ketika membayangkan pengkhiantan yang dilakukan oleh Papa.

Untuk saat ini, aku akan lebih mengawasi Mbak Yanti dan Papa.

Lalu bagaimana dengan Gian?

Aku sendiri juga tidak tahu, harus bersikap seperti apa pada Gian. Dia sama sekali tidak bersalah, tapi sikapku padanya seharian ini seperti sebuah hukuman bagi Gian.

Seharian ini aku sudah mendiamkan Gian. Seharian ini aku sudah bicara ketus ke Gian. Seharian ini aku sudah bersikap kasar ke Gian.

Pikiranku kini kembali pada Gian, bertanya-tanya sendiri apakah aku sudah keterlaluan, apakah Gian jadi sedih atas segala perlakuanku padanya hari ini? Kira-kira apa yang akan dia pikirkan mengenai perubahan sikapku yang tiba-tiba?

Aku jadi merasa amat bersalah ke Gian, atas semua sikapku yang seharusnya tidak berbuat begitu.

Gian tidak salah dan tidak harus ikut bertanggung jawab atas perbuatan ibunya, jadi aku juga tidak seharusnya bersikap begitu padanya. Gian adalah pacarku yang selalu berusaha membuatku bahagia, dan tidak adil bila aku marah padanya tanpa alasan.

Aku pun mengambil ponsel dan mengetik permintaan maaf ke Gian sebelum tidur.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Mengejar Cinta Amanda
932      685     0     
Romance
Amanda, gadis yang masih bersekolah di SMA Garuda yang merupakan anak dari seorang ayah yang berprofesi sebagai karyawan pabrik dan mempunyai ibu yang merupakan seorang penjual asinan buah. Semasa bersekolah memang kerap dibully oleh teman-teman yang tidak menyukai dirinya. Namun, Amanda mempunyai sahabat yang selalu membela dirinya yang bernama Lina. Selang beberapa lama, lalu kedatangan seora...
Melodi Sendu di Malam Kelabu
451      288     4     
Inspirational
Malam pernah merebutmu dariku Ketika aku tak hentinya menunggumu Dengan kekhawatiranku yang mengganggu Kamu tetap saja pergi berlalu Hujan pernah menghadirkanmu kepadaku Melindungiku dengan nada yang tak sendu Menari-nari diiringi tarian syahdu Dipenuhi sejuta rindu yang beradu
Bumi yang Dihujani Rindu
3950      1686     3     
Romance
Sinopsis . Kiara, gadis bermata biru pemilik darah Rusia Aceh tengah dilanda bahagia. Sofyan, teman sekampusnya di University of Saskatchewan, kini menjawab rasa rindu yang selama ini diimpikannya untuk menjalin sebuah ikatan cinta. Tak ada lagi yang menghalangi keduanya. Om Thimoty, ayah Kiara, yang semula tak bisa menerima kenyataan pahit bahwa putri semata wayangnya menjelma menjadi seorang ...
Le Papillon
1544      671     0     
Romance
Victoria Rawles atau biasa di panggil Tory tidak sabar untuk memulai kehidupan perkuliahannya di Franco University, London. Sejak kecil ia bermimpi untuk bisa belajar seni lukis disana. Menjalani hari-hari di kampus ternyata tidak mudah. Apalagi saat saingan Tory adalah putra-putri dari seorang seniman yang sangat terkenal dan kaya raya. Sampai akhirnya Tory bertemu dengan Juno, senior yang terli...
Halloween
599      337     3     
Short Story
Aku berikan pertunjukan terbaik di kota ini. #thwc18
Bimbang (Segera Terbit / Open PO)
3068      1306     1     
Romance
Namanya Elisa saat ini ia sedang menempuh pendidikan S1 Ekonomi di salah satu perguruan tinggi di Bandung Dia merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara dalam keluarganya Tetapi walaupun dia anak terakhir dia bukan tipe anak yang manja trust me Dia cukup mandiri dalam mengurus dirinya dan kehidupannya sendiri mungkin karena sudah terbiasa jauh dari orang tua dan keluarganya sejak kecil juga ja...
Of Girls and Glory
2247      1067     1     
Inspirational
Pada tahun keempatnya di Aqiela Ru'ya, untuk pertama kalinya, Annika harus berbeda kamar dengan Kiara, sahabatnya. Awalnya Annika masih percaya bahwa persahabatan mereka akan tetap utuh seperti biasanya. Namun, Kiara sungguh berubah! Mulai dari lebih banyak bermain dengan klub eksklusif sekolah hingga janji-janji yang tidak ditepati. Annika diam-diam menyusun sebuah rencana untuk mempertahank...
Asa Menggenggam Kata
533      277     2     
Short Story
Kalbuku tersayat, mengenang kesalahan yang tak dapat kuperbaiki. Hatiku bimbang, kemana kaki harus melangkah?
12 Jam di Kota Kenangan
390      263     0     
Short Story
Pernahkah kau mengira kalau suatu pengalaman bisa mengubah pandanganmu akan suatu hal?
Dia (Puisi)
329      205     2     
Short Story
Karya asli oleh abellani_