Aku meraup wajahku yang basah karena Bastari tiba-tiba saja menyemburkan jus wortel yang baru sepersekian detik masuk ke mulut.
"Maaf, maaf! Maafkan aku, Nami!" Bastari berseru seraya tangannya dengan cekatan mengambil tisu yang selalu dia bawa-bawa di saku bajunya.
"Aku nggak sengaja! Serius deh!" menambahkan.
Aku tahu dia tidak sengaja, aku mengangguk pelan. "Iya nggak apa-apa, kok, Bas," ucapku.
Air wajah penuh penyesalan diperlihatkan Bastari padaku, kedua tangannya menangkup sebagai tanda penyesalan dan permintaan maaf.
"Sudah nggak apa-apa kok, lagian juga aku kok yang salah karena buat kamu kaget," tambahku.
Iya benar. Semua salahku, karena memberitahu Bastari kalau gadis yang menangis tadi pagi bersama dengan Gi adalah aku. Sekali lagi, ingatan konyol itu muncul di kepalaku. Saat di mana Gi tidak sengaja menabraknya hingga aku duduk di hadapannya.
Saat itu seharusnya yang patut dicurigai adalah aku--aku yang tidak berhati-hati saat berjalan--aku yang terus-menerus jalan sambil menunduk karena tidak ingin orang-orang melihatku dengan mata sembab--aku yang dengan ceroboh saat Gi mengarahkan tangannya kepadaku untuk membantuku berdiri dari tempatku terjatuh, tapi aku justru membuat diriku jadi terlihat terluka.
"Maaf nggak sengaja! Aku buru-buru, jadi nggak lihat kamu ada di situ. Kamu nggak apa-apa?"
Kalimat tanya yang dia lontarkan aku membuat pertahanan diriku hancur, air mata yang sudah payah aku tahan, agar tidak menangis justru semerta-merta tumpah. Parahnya, detik itu orang-orang ramai berdatangan dan menonton kejadian itu.
"Apakah kamu baik-baik saja?"
"Kamu nggak lihat cewek itu nangis sampai sesenggukan gitu?" Suara seseorang yang tiba-tiba muncul di antara kami.
"Kamu buat ulah apa lagi sampai buat anak orang nangis, Gi?" Kali ini suara orang lain lagi yang juga ikut nimbrung.
Jujur saja saat itu aku malu bukan main, aku sungguh ingin kabur kalau saja ada pintu kemana saja milik Doraemon. Aku yang terlanjur malu memilih menunduk dan menutupi wajahku yang aku yakin 1.000% wajahku sudah sangat merah kepiting rebus.
"Tu-tunggu, deh! Jadi... tadi kamu nangis? Lagi?" tanya Bastari.
Oops! Padahal aku tidak ingin Bastari tahu kalau air mataku tumpah lagi. Kali ini aku hanya bisa mencoba memamerkan deretan gigiku, sayang, lagi-lagi wajah tersenyum yang coba aku buat gagal. Yang ada, kini tangisku tumpah lagi dan semakin menjadi-jadi.
"Maaf, Bas ... maafin aku ... aku masih ingat gimana Bunda meregang nyawa sambil menggenggam tanganku, a--aku ... aku ...." Kalimatku tidak selesai karena bergantian dengan Isak tangis.
Bastari memeluk tubuhku erat. "Nami ... kamu lupa ya? Bunda 'kan pernah bilang sama kamu, kalau kamu harus jadi anak yang kuat, nggak boleh cengeng. Aku masih ingat kamu bilang janji ke Bundamu," ucap Bastari mengingatkan aku tentang hari-hari saat dia menemaniku menjaga Bunda yang sakit.
Selama Bunda sakit, Bastari, dia bantu aku jaga Bunda di rumah bersama Wenda--adikku. Sementara aku, bantu-bantu di toko kue milik Maminya. Sebagai gadis yang bahkan belum genap tujuh belas tahun aku sudah harus berjuang untuk bantu pengobatan bunda.
Setelah pulang dari toko roti milik keluarga Bastar, aku selalu mencurahkan isi hatku pada mereka, apa saja yang terjadi di toko, bagaimana hatiku di sekolah, dan hal-hal yang terkadang tidak penting tapi aku hanya ingin terus bercerita agar Bunda tetap bersamaku, memberiku nasihatnya. Sesering itu juga pipiku basah karena tidak tahan dengan keadaan yang menurutku sangat tidak adil.
Tapi, menurut Bunda, Tuhan itu maha adil. Tuhan tidak memberikan cobaan melewati batas makhluk-Nya. Aku percaya hal itu, tentu saja. Aku bersyukur karena ada mereka yang menjadi sumber kekuatanku.
"Nami, kamu harus percaya, Bunda jauh lebih baik saat ini di surga. Jadi, kamu harus ikhlas, Nami ...." Ini dia, Bastari, sahabatku. Orang yang paling aku andalkan, yang sering aku anggap sebagai kakak karena pembawaannya yang dewasa dibandingkan usianya, putri pemilik toko roti yang sangat terkenal bahkan cabangnya sudah ada di tiga kota besar lainnya.
"Kamu ingat janji kamu sama Bunda, kan?"
Aku mengangguk pelan, tentu saja aku ingat. "Maaf karena aku lemah, Bas. Terima kasih." Aku berkata seraya menghapus jejak air mata di pipiku.
"Sssttt sudah, ah! Aku bosan tahu dengar kata terima kasih dari mulutmu!" Segera Bastari menyibukkan diri dengan kembali menyeruput jus wortelnya.
"Jadi, alasan kamu nangis bukan karena kamu nembak Gi dan ditolak dia, kan?" tanya Bastari setelah benar-benar menelan jus di mulutnya.
Entah kenapa pertanyaan konyolnya itu berhasil membuat suasana hatiku menjadi lebih baik. Aku mengangguk sebagai jawaban.
"Lalu siapa cewek yang ditolak si biang onar itu sebenarnya, sih? Kamu nggak mau ngaku, padahal aku pikir kamu beneran nembak dia, loh!"
Aku mencubit perutnya pelan sambil berkata, "Ih ... apaan, sih, Bas! Jangan konyol!"
Begitulah cara sederhana namun terasa ajaib yang dilakukan Bastari untuk menghilangkan rasa sedihku. Tiba-tiba dia akan berkata hal diluar dugaan dan akhirnya kami tertawa berjamaah.
"Yuk makan lagi, ah! Aku masih lapar tahu!"
"Oh...kamu serius masih mau makan? Aku kira, setelah cerita tentang Gi, nafsu makan kamu hilang, Babas!" godaku sambil menaik-turunkan alisku.
"Ya nggak mungkin, lah! Yang namanya lapar ya makan, dan aku lapar. Pantang bagi Bastari untuk anti makan, nggak mungkin, Nami.... Catat ya, makan sama napas itu hobinya aku," ucapnya diakhiri dengan tawa renyah yang berhasil bikin ikut tertawa juga.
"Sepertinya hal yang terakhir itu bukan cuma hobi kamu deh, Babas!" Aku protes sambil memanyunkan bibirku, detik berikutnya kami tertawa lagi.
***
Bel berakhirnya jam pelajaran berbunyi nyaring. Seluruh penghuni SMA Negeri Pelangi menyambut jam pulang dengan sorak-sorai dan senyum terpatri di wajah mereka.
"Nami," panggil Bastari.
Iya, Bas, jawabku sambil membetulkan ikat sepatu yang tadi sempat lepas.
"Aku mau bilang, tapi please...kamu harus janji kamu nggak akan marah atau menghilang," ucapnya.
"Tentang apa?"
"Janji dulu...."
"Oke, aku janji. Jadi, apa itu, Bas?" Saya penasaran.
Bastari terlihat mengembuskan napas perlahan-lahan sebelum akhirnya kembali berkata, "Mami bilang, katanya... kamu dan Wenda boleh tinggal bersama kami."
Jujur saja, mendengar kalimat itu berhasil membuatku terkejut. Seperti kata Bastari, saya mungkin saja menargetkan karena menganggap dirinya telah membatasi harga diriku. Namun nyatanya, aku tidak demikian, sebab, memang aku membutuhkan tempat tinggal di samping penghasilanku yang pas-pasan.
Saya ini bisa dibilang melankolis, karena sering kali terbawa perasaan. Dan ujung-ujungnya menangis. Mataku seolah sudah basah dan terkejar merembes kalau saja Bastari tidak cepat-cepat memelototi aku dengan galak.
"Awas aja kalau kamu nangis lagi! Aku nggak segan-segan ya... detik itu juga, aku akan bilang, Lo--gue-end." Bastari berucap sambil menunjuk dirinya dan diriku secara bergantian, lalu menggerakkan tangannya seakan mengiris lehernya sendiri di akhir kalimatnya.
“Iya, iya, aku nggak nangis, kok!” Kataku pembelaan diri.
"Dasar cengeng!" celetuk Bastari. "Aku anggap mata berkaca-kaca kamu itu sebagai jawaban kamu menerima permintaan Mami," tulisnya.
🍀
•B~E~R~S~A~M~B~U~N~G•
Jangan lupa vote dan sangat boleh meramaikan kolom komentarnya ya teman-teman ❤️ Terima kasih atas support kalian
🥰