•Si Biang Onar•
"Eh lihat deh! Itu si Gi, lagi-lagi buat cewek nangis ya?"
"Parah banget sih, dia! Mentang-mentang anak yang punya yayasan, harus banget ya jadi biang onar di sekolah? Heran!"
"Hus! Sudah ah, jangan keras-keras ngomongnya, laki-laki tahu kalau harus menangani sama dia."
Aku berlari sekencang yang aku bisa. Suara-suara bising yang saya dengar bukanlah pertama kali terdengar di telinga. Kalimat dengan nada kebencian yang ditujukan seantero sekolah kepada si cowok biang onar, Gi Kilian Hanafi.
Aku memelankan laju kakiku saat aku merasa kadar oksigen mulai menipis dan membuat napasku menjadi tersengal-sengal. Aku berhenti tepat di taman belakang perpustakaan. Di sana terdapat pohon rindang dengan daun-daun yang membuat suasananya menjadi sejuk. Juga beberapa bunga mawar yang belum lama ini sengaja saya tanam. Tenang saja, tidak ada hal baik yang dilarang oleh sekolah.
"Kamu sudah mulai ke sekolah, Nami?"
Suara lembut seorang perempuan membuatku menengok.
“Iya, Bu,” jawabku. Sebisa mungkin aku memulas senyum pada wajahku. Sepertinya senyum terpaksa yang muncul itu berhasil membuat lawan bicaraku mengelus kepalaku.
"Kamu boleh menangis, Nami. Menangislah kalau itu bisa membuatmu sedikit lega," ucap Ibu Fitri, seorang pustakawan yang sudah aku anggap sebagai temanku di sekolah, selain Bastari.
Perlahan tanpa perintah, sekali lagi butiran bening mengalir dari kedua mataku. Detik berikutnya aku merasakan pemandangan dipeluk, sambil sesekali punggungku ditepuk-tepuk.
"Kamu anak yang kuat, Nami. Kamu harus percaya, kalau Bunda kamu sudah tenang di sisi-Nya." Bu Fitri melepaskan dekapannya.
Saya mengangguk. Aku tahu tidak ada gunanya sedih berlebihan, bahkan jika air mataku kering, Bunda tetap tidak akan kembali. Aku mengembuskan napas perlahan-lahan, berusaha membuat diriku tenang. Saya mengusap jejak air mata di pipi, saya tidak ingin Bestari sampai tahu kalau saya menangis.
"Nami...!" Suara melengking yang baru saja terdengar itu adalah milik Bastari, temanku. Ralat, sahabatku. Aku dan Bastari sudah berteman sejak kami SMP. Dan, tahun keempat ini aku berteman dengannya.
Dia menghamburkan dirinya mendekapku. Kedua tangannya secara refleks mencubit pipiku. Entah sejak kapan mencubit pipiku setiap kali bertemu jadi rutinitasnya. Jujur saja itu sakit, dan aku pasti langsung mengomelinya.
"Sakit, Bastari...!"
Dia hanya memamerkan deretan giginya yang rapih. "Pipi putih tembem kamu itu bikin aku gemes, Namina!" Kalimat pembelaan dirinya.
"Karena sudah ada Bastari, Ibu kembali ke dalam lagi ya, siapa tahu ada pengunjung yang datang," ucap Bu Fitri seraya mengelus rambut kami secara bergantian.
"Siap, Bu! Nanti kalau kami bosan di sini, kami akan ke dalam, biasa... baca novel," ujar Bastari menutup tawa setelah kalimatnya. Sementara Bu Fitri membalas dengan senyuman.
"Kamu sudah makan, Nam?"
Aku menggeleng pelan. "Belum, 'kan aku tunggu kamu keluar dari kelas."
Bastari tersenyum, dia lalu berkata, "Makan yuk, aku sudah lapar dari tadi."
"Lagian udah tau lapar kenapa baru keluar kelas sih, Bas? Bel istirahat kan udah dikabari dari tadi," keluhku.
Sekali lagi Bastari memamerkan deretan giginya, tapi pada detik berikutnya wajah ceria itu berubah menjadi merah padam. "Aku tuh kesal, Nami.... Kamu tahu kan, anaknya pemilik yayasan yang baru saja masuk sekolah lagi, setelah diskors minggu lalu?" Bastari mulai menjelaskan alasannya terlambat makan di jam istirahat.
Aku mengangguk, sambil sibuk membuka kotak bekal berisi nasi goreng spesial yang sudah aku siapkan pagi-pagi sebelum berangkat ke sekolah.
"Jadi, dia ditegur oleh Bu Lisa karena dengan menyebalkannya dia bilang tugas yang diberikan oleh Bu Lisa sengaja nggak dia kerjakan dengan alasan tugas prakarya itu nggak penting," jelas Bastari dengan menggebu-gebu.
"Kebayang nggak gimana marahnya dan marahnya, Bu Lisa?" tanya Bastari sambil menenggak air mineral dari botol minum yang dia bawa. Aku mengangguk lagi, saat terlintas wajah masam Bu Lisa di benakku.
"Aku dongkol banget lihat muka dia yang sok ganteng, ih... kesal! Gara-gara dia, satu kelas di hukum nggak boleh istirahat sampai tugas dia selesai dibuat."
"Terus, dia buat kerjanya?" tanyaku, sebelum menyumpal mulutku dengan sesendok nasi goreng.
"Hah? Ya nggak mungkin, dong, Nami...! Dunia akhir kali, kalau dia bisa begitu!"
Aku tersedak makanan yang baru saja coba kutelan. "Hah sampai segitu parahnya ya kelakuan dia, Bas?"
Bastari mengangguk mantap. "Gara-gara dia keluar kelas dengan seenaknya, kami jadi diminta untuk mengerjakan tugas dia. Makannya aku baru keluar kelas setelah sekian lama aku kelaparan," ujarnya dengan mimik wajah memelas yang seketika membuat tawaku pecah.
"Oh iya, tadi aku denger selama trip ke sini, katanya lagi-lagi dia buat cewek nangis."
Gulung! Susah payah aku menelan air liurku.
"Aku heran si biang onar itu, kok masih ada saja yang suka, ya?" Bastari mengacak-acak frustasi.
"Itu cewek yang nembak dia waras nggak, sih? Kelakuan dia' kan satu-dua sama setan, bisa-bisnya nembak, mana ditolak pula tuh! Heran!"
Sekali lagi aku menelan air liurku dengan susah payah, sebelum akhirnya aku mengaku
Bastari. "Benar-benar cewek yang orang-orang maksud itu aku, Bas."