Henan yang rencananya akan pulang bersama saudara
kembar berakhir pupus. Dikarenakan Jeon yang mendapat kelas tambahan mendadak,
sedangkan Nanda yang notabenenya anak itu memang punya kelas yang super duper
sibuk tidak ketulungan. Berakhir tinggal dirinya yang mendesah berat putus asa
menunggu di parkiran.
"Kenapa juga gue doyan ajak mereka pulang
bareng? Sudah tahu mereka sibuk, haduh," monolognya. Mungkin sudah jadi
kebiasaan Henan berbicara sendiri.
Daripada terlihat seperti pria kasihan layaknya
habis putus cinta, Henan akhirnya
menyalakan mesin motornya untuk
bergegas pulang. Baru saat ingin menarik gas secara kebetulan matanya mendapat
Gina yang baru saja lewat tidak jauh di depan. Cukup penasaran dengan anak
gadis itu yang mana tengah berjalan sembari menatap ponsel. Lantas Henan
melajukan motornya untuk mendekati Gina.
"Woi!"
"Anak monyet!" kaget Gina. Masih baik
ponsel dalam genggamannya tidak terbang bebas di udara. Kepalanya lantas
mendelik dengan cepat ke arah Henan. Mana anak itu hanya tertawa cekikikan
layaknya tanpa dosa.
"Kaget, Henan!" serunya seraya mengelus
dada.
Masih dengan cengirannya.
"Baru pulang lo?" tanya Henan. Mematikan
suara mesin motornya. Hanya dengan posisi duduk santai di atas motor dengan
kedua kakinya yang dijadikan sebagai penopang agar motornya tetap tegak.
"Iya. Kenapa?"
"Lo setiap gue tanya pasti jawabnya ada
kenapa terus. Sensi banget ya, sama gue?"
Gina menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Baru sadar? Atau perlu gue kasih sadar?"
Henan hanya memberinya decakan singkat sebelum
mereka kembali dalam keterdiaman. Tidak ada yang membuka suara sebelum Henan
menyadari kalau gadis ini tidak membawa motornya ke kampus.
"Lah? Motor lo mana? Gak naik motor lo ini
hari?"
Gina mengangguk.
"Motor gue dipinjam sama teman indekos buat keluar kota."
"Dih? Gak tahu diri banget. Terus lo pulang
naik apa kalau gak ada motor?"
"Taksi diciptakan untuk apa? Bus? Ojek?"
Dan di akhir Gina hanya merotasikan matanya benar-benar
malas melihat Henan.
"Iya, tahu. Tapi kan, borosnya malah dapat di
lo. Bagaimana, sih?"
Gina memilih diam tak menjawab dan fokus pada
ponselnya. Kali saja teman lain di indekosnya bisa datang untuk menjemput.
Ingin naik taksi sebenarnya dia malas untuk mengeluarkan uang. Salahnya terlalu
rendah hati untuk meminjamkan motornya tanpa berpikir dua kali.
Tapi sepertinya hari ini takdir untuk mengeluarkan
uang berpihak padanya. Beberapa teman indekosnya tidak aktif dihubungi, sisanya
mereka benar-benar punya kesibukan masing-masing. Gina mendesah dalam hati.
Kebiasaan sekali mereka pasang berbagai alasan. Giliran saat mereka meminta
tolong bicaranya diberi bubuk pemanis sampai ingin dibuat muntah. Saat sekarang
mana ada yang ingin peduli.
Menghubungi Sela, anak itu juga hari ini tidak
bawa motor. Orang yang sudah punya pacar mana keseringan untuk bawa motor,
hampir tiap hari diantar jemput. Hari ini juga, Gina punya jadwal kelas yang
berbeda dengan teman gadisnya itu. Menyebabkan dirinya lebih
cepat pulang dibandingkan hari biasanya.
Gina kembali mendesah berat. Tidak ada pilihan
lain selain dirinya benar-benar harus pulang dengan menggunakan taksi. Terpaksa
harus mengeluarkan uang yang terbilang lumayan memberatkan.
"Jadi, bagaimana caranya lo pulang?" Tubuh Henan yang dicondongkan ke depan untuk menyamankan posisinya di atas
motor. Kedua tangan dijadikan simpuhan pada atas kepala sang roda dua.
Gina menoleh.
"Gak tahu. Taksi yang jelas."
"Sela? Teman indekos?"
Kepalaya menggeleng.
"Sela masih ada kelas. Teman indekos pada sibuk semua," jawabnya.
Menaruh ponsel dalam saku celana dan beralih membuka dompet. Setidaknya Gina menemukan uang pecahan yang pas untuk digunakan nanti.
"Itu sih, alasan teman indekos lo
doang," sahut Henan. Mesin motornya kembali dinyalakan. "Sudah naik.
Gue antar pulang," ucapnya.
Gina menoleh. Mimik wajahnya rada kurang yakin
sama tawaran Henan. Secara, mereka berdua adalah sepasang manusia yang sangat
susah untuk akur. Meskipun jarang ketemu, tapi sekalinya dapat malah suka
menimbulkan ribut.
"Gak usah lihat gue kayak begitu. Buru
naik," titah Henan.
"Lo gak ada niat lain dibalik lo antar gue
pulang, kan?" selidik gadis berambut sebahu lebih itu.
Henan memejamkan matanya mencoba untuk sabar. "Kalau gue sudah gak tahan, sudah gue pikir buat jual lo ke om-om
belang," pukasnya yang mendapat rautan kesal dari Gina. "Naik saja,
sih. Apa susahnya?"
"Kok, maksa?"
"Gak mau, nih? Yaudah. Ada baiknya gue kasih
tumpangan biar lo gak keluarkan duit," jelas Henan.
Mulut Gina menekuk mendengar titahan Henan. Dia
mau naik sebenarnya tapi masih rada belum ada rasa percaya sama anak itu. Tapi
betul yang dibilang Henan, cuman dia kayaknya yang kasih tumpangan agar bisa
pulang hari ini.
Kala ketika Henan sudah ingin menancap gas, Gina
memberhentikannya dengan merentangkan tangan kiri. Dirinya mengangguk sambil
tetap memberi peringatan sama Henan agar tidak macam-macam di jalan. Dibalas
iya dengan nada tegas dari anak itu.
"Hen, mau balik?"
Baru juga ingin tancap gas betul-betul, muncul lagi perkara yang buat mereka
berhenti. Keduanya menoleh, mendapati Mavi yang berdiri dengan kumpulan buku
dalam pelukannya.
"Sudah lihat gue di atas motor malah bertanya
lo," jawab Henan. "Ada apa, nih?" tanyanya. Dia sudah keincar
ingin pulang cepat tapi malah dapat uluran waktu terus.
Mavi malah menoleh ke arah Gina yang duduk di
belakang Henan. "Pulang bareng? Padahal gue mau minta tolong
sama Henan," katanya.
"Lo mau pulang bareng gue juga?"
Mavi menoleh dan menggeleng. "Bukan. Minta tolong lo ke toko buku di pertigaan lampu merah. Gue
ada perlu satu buku. Cuman lo kayaknya mau antar Gina pulang jadi ya, lain kali
sajalah gue yang beli," jelasnya.
Henan menutup mulutnya rapat. Menatap Gina dan
Mavi secara bergantian. "Kalian berdua saling kenal memang?" Mendapat anggukan dari kedua anak itu.
"Sejak kapan? Kok, gue baru tahu?"
"Memangnya buat apa lo tahu? Gue kenal Kak
Mavi karena memang satu fakultas, bego," jawab gadis di belakang Henan
dengan sedikit nada sensi.
"Gak usah pakai ngatain gue bego juga kali.
Gue turunin di tengah jalan baru tahu rasa lo," kesal Henan. Sedangkan
Mavi yang melihat interaksi keduanya hanya bisa menatap dalam diam.
"Yaudah, apa judul bukunya? Nanti gue singgah
lepas antar pulang cucu kuntilanak ini."
Selepasnya mengucapkan itu, Henan dengan tiba-tiba mendapat pukulan keras pada helmnya. Meskipun tidak pada kepala langsung,
tapi getaran yang timbul sukses menghantarkan rasa sakit. Bahkan dirinya sempat
kaget mendapat pukulan mendadak itu. Tahu saja wajah Gina pas dengar dirinya
dibilang cucu kuntilanak.
"Gak usah. Nanti
lain kali saja gue carinya sendiri," tolak Mavi.
"Sudah buru, kayak minta tolong sama siapa
saja."
Gina menatap Mavi.
"Yaudah, kebetulan gue juga mau cari novel, nih. Sekalian saja, Kak,"
sahutnya.
"Nah, itu."
Mavi menggaruk pangkal kepalanya. "Oke, deh." Lepas menyebut nama judul buku yang dimaksud,
keduanya lantas bergegas menuju lokasi sebelum hari menjelang gelap.
🎗
Gina tidak berbohong pasal mencari novel.
Berhubung Mavi juga menitipkan untuk dicarikan buku, jadi dirinya sekalian saja
ikut mencari. Di toko buku milik tantenya tidak dapat stok hari
ini, makanya dia mencari novel itu di sini. Kali saja dapat dalam harapnya.
Sementara Henan mencari buku punya Mavi, Gina
berada di rak lain untuk mencari novelnya. Saking bingungnya karena deretan
novel yang tertera di depan berjejer sangat banyak. Memberi pancingan untuk ikut di beli juga. Nasib
penyuka novel, apa yang di cari ada-ada saja anaknya ikut mengekori.
"Sudah dapat belum? Keburu gelap lo
pulang," sahut Henan. Entah sejak kapan anak itu sudah berdiri di
sampingnya. Buku yang dimaksud Mavi juga sepertinya sudah dia dapat. Terbukti
dengan satu tangan
Henan yang memegang buku bersampul
biru gelap.
"Gue bingung, Hen. Ini novel kayaknya bagus
semua. Gue beli sajakah?" bimbangnya. Kedua tangannya sudah memegang
berbagai macam buku novel, bahkan diganti-ganti. Hanya dengan membaca blurb pada novel sudah membuat Gina merasa penasaran.
"Serah lo. Kan, lo yang mau beli," jawab
Henan.
Gina bergumam sejenak sebelum akhirnya menentukan
novel yang akan dibeli. Melupakan novel keluaran terbaru yang diincarkan. Nanti
akan dia beli lain waktu. Sebuah kelabilan yang luar biasa.
Mereka berdua akhirnya menuju kasir untuk
melakukan pembayaran. Beranjak keluar dan segera bergegas untuk pulang. Gina
nampak sumringah dengan novel baru yang dibelinya. Bahkan ketika berjalan pun
mengeluarkan suara-suara aneh saking senangnya. Henan sampai dibuat heran
dengan kelakuan anak gadis yang lebih pendek darinya itu. Untung saja area
tempat mereka sepi akan orang-orang. Begini keduanya mendapat tatapan aneh
tanpa diminta cuman karena sikap aneh Gina.
"Lo lapar gak?" sahut Henan tiba-tiba.
Sudah duduk di atas motor dan memakai helm.
"Hmm, lumayan," jawab Gina.
"Mie ayam, mau?" tawar lelaki tan itu.
"Yang enak di mana?"
"Ada tempat gue."
Mendapat anggukan dari Gina dan segera ikut naik di
motornya. "Lain kali, lo sedia bawa helm. Biar pun lo gak bawa motor,
tetap sedia buat jaga-jaga. Untung hari ini gak ada yang bertugas buat tilang.
Begini lo gue turunin di tengah jalan," omel Henan. Sudah mirip seperti seorang Ayah yang memberi nasihat.
"Iyaaa," jawab Gina. Dan Henan tanpa
sadarannya menciptakan seulas senyum simpul. Berbanding terbalik dengan Gina
yang tersenyum tidak sabar karena menantikan cerita novel barunya.