Henan saat ini tengah mengikuti kelas musiknya.
Duduk mendengarkan dosen yang tengah membahas perihal sejarah soal musik.
Sungguh, soal cerita masa lalu, Henan sangat lemah dalam perihal itu. Katanya,
kepalanya terlalu menolak untuk menyimpan nama-nama hingga tanggal penting pada masa lampau. Siapa yang berpengaruh, apa dampaknya, kapan ditemukannya,
semuanya. Untuk ujian sejarah pun dia tak jarang mendapat nilai rendah, bahkan sampai mengulang. Nasib dirinya terlalu malas membahas masa lalu.
Tapi yang namanya musik, Henan tak bisa lepas dari
itu. Selain budak cinta terhadap karakter kartun Jepang, musik juga termasuk
salah satu elemen yang mengalir dalam darah dagingnya.
Bukan tanpa alasan. Ayah Henan adalah seorang
pelatih vokal serta ibunya
sangat pandai bernyanyi dan bermain piano. Tak jarang wanita itu hadir di gereja sebagai salah satu peserta paduan suara.
Henan sejak kecil selain dijajani dengan kartun Shin-chan, dirinya juga selalu
bermain musik dengan kedua orang tuanya. Jadilah sekarang Henan benar-benar
terbawa masuk ke dalam hal musik.
"Tugas dikumpul dipertemuan berikutnya. Buat
esai tentang orang-orang yang berpengaruh bagi kalian mengenai musik,"
sahut dosen di depan.
Duduk Henan menegak hanya ketika dirinya mendengar
orang yang berpengaruh akan dirinya selain musik. Mungkin dikesempatan ini dia
bisa mengenalkan orang tuanya kepada semua orang bagaimana pengaruhnya mereka
tentang musik bagi Henan.
Kelas berakhir dan tanda istirahat akhirnya tiba. Daripada
keluar, Henan memilih mendekam dirinya di dalam kelas. Hari ini terlalu tidak
membuatnya ingin bergerak banyak. Entahlah, dirinya sendiri bahkan tidak tahu
apa alasannya. Kakinya sekarang ini bahkan terasa malas untuk digerakkan.
Berakhir diri sendiri dalam ruangan kelas tak bersuara. Menyumpal kedua lubang
telinga dengan airpod. Menyalurkan alunan musik melalui benda itu masuk ke dalam telinganya
secara halus.
Mulut Henan terbuka. Bergerak bebas sembari menciptakan
nada merdu di telinga. Ruangan yang hanya diisi dirinya menjadi menggema,
membuat alunan suaranya menyeruak hingga keluar. Henan bernyanyi mengikuti lagu
yang didengarnya. Tidak peduli akan reaksi orang-orang yang akan mendengar
suaranya. Saat ini, Henan hanya ingin mengeluarkan suaranya barang sebentar.
If you don't mind baby
Crazy I may be in Lo- Love
If you don't mind baby
Think that I may be in Lo- Love
'Cause baby one and
done
Simply not enough
I need you more and more
Baby one and done
Simply not enough
I need you more and more
Dengan pandangannya yang mengarah pada kaca luar
jendela. Kelas yang berada di lantai dua, pandangan di luar hanya memberinya
sebuah objek sambungan bangunan kampus dan tingginya dahan pohon yang
menjulang. Dari jauh tak terlupakan kumpulan awan putih yang bergerak mulus di
langit cerah berwarna biru. Hari ini terlihat begitu menenangkan dengan cahaya
cerahnya yang menerangi bumi.
"Suara siapa itu?"
Gina tidak sengaja berjalan dalam koridor lantai
dua gedung Fakultas Seni dan Musik. Sedikit celingak-ceinguk
kala melewati setiap kelas hanya untuk menemukan asal suara yang menggema dalam
seluruh penjuru lorong. Dengan langkah pelan dan buku tebal dalam pelukannya,
Gina terus berjalan menyusuri lorong dengan pandangan penasaran. Suara yang
didengarnya terlalu enak dan saking sukanya, Gina merasa ingin mendengarkannya
secara terus-menerus.
Tepat ketika pandangannya mendapati Henan yang
duduk menyendiri di dalam kelas. Menatap ke arah luar dengan mulut yang terbuka
bebas menyerukan alunan lagu. Begitu merdu dan menenangkan dalam
telinga. Rasa terkejutnya tak lupa menguap dalam raga. Gina
baru tahu kalau sosok menyebalkan seorang Henan adalah anak lelaki yang
mempunyai suara semenenangkan itu. Dia bisa bayangkan bagaimana reaksi orang-orang
yang dia yakin pasti sama seperti dirinya begitu mendengar suara Henan.
"Heh, sadar! Ayo balik," tegur Gina pada
dirinya sendiri.
Sebelum ketahuan akan Henan, dia lantas bergegas
untuk pergi dari sana. Keperluannya menemui dosen pembimbing ternyata memberi
Gina nilai positif. Mendengar suara Henan yang
bernyanyi membuatnya merasa semangat kembali. Tambahan nilai postif juga kepada lelaki itu akan penilaiannya.
🎗
Selesai bertemu dengan dosen pembimbing, Gina
lantas beralih menuju perpustakaan kampus sesuai perintah. Mengumpulkan
buku-buku yang terkait untuk tugas sastranya.
Perpustakaan yang sangat jarang sepi akan
mahasiswa, keseringan tempat duduk penuh hingga tak terhingga. Untungnya Gina
hanya berniat untuk meminjam beberapa buku. Setelah menelaah buku yang
dianggapnya lebih penting lantas di masukkan dalam daftar pinjaman. Sisanya,
Gina hanya berniat untuk membacanya di tempat. Tapi karena perpustakaan sangat
penuh hari ini, dirinya terpaksa mengurungkan niat untuk menetap di dalam.
Sementara dirinya menimang memillih antara dua
buku yang hendak dipinjam, seorang lelaki mendekatinya. Bukan karena rasa
kepedean, tapi memang karena orang itu juga memiliki keperluan mencari buku di
antara rak tempat Gina tengah berdiri sekarang.
Dari pandangan melalui ujung mata, Gina sangat kenal dengan sosok ini.
Berambut hitam pekat dengan parfum manis yanng menyeruak. Bukan hal yang perlu lagi untuk dipertanyakan. Maka saat Gina mendongak,
tebakannya pasti tidak akan salah.
"Eh, Gina. Hai," sapa lelaki tersebut.
Mengulas senyum manis yang dibalas manis pula olehnya.
"Hai juga, Kak," jawabnya.
"Mencari buku juga?"
"Jelaslah, Kak. Ya, kali gue cari tukang
cilok di sini," gurau Gina tanpa memandang lelaki itu.
Tawa renyah memasuki indera pendengarannya.
Menyadarkan Gina, selain suara Henan yang baru didengarnya, tawa dari pemilik
lelaki ini juga masuk dalam daftar suara kesukaannya. Meskipun tawa asli yang
keluar lebih renyah dan lantang, tapi entah mengapa Gina sangat tagih untuk
mendengarnya.
"Iya, benar juga," sahut lelaki itu.
Tidak ada pembicaraan kembali. Keduanya larut
dalam kesibukan memilih buku. Namun aslinya, Gina tidak sepenuhnya serius.
Ujung matanya sesekali menatap lelaki itu dalam diam. Dalam hatinya yang sudah
berbicara sendiri. Jantungnya tanpa diminta berdetak secara tidak
alami. Perasaan yang selalu dirasakan kala bertemu dengan
kakak tingkatnya ini.
Sela pernah mengatakan padanya untuk segera
mencari pacar yang lebih terdengar layaknya sebuah suruhan. Bukannya tidak mau,
Gina hanya saja tidak berani untuk mengungkapkannya. Lelaki yang berstatus
sebagai kakak tingkatnya ini, perbedaan mereka yang berjarak satu semester dan
satu tahun umur sudah masuk terdaftar di dalam hatinya.
Gina menyukai seseorang? Kenapa tidak. Terbukti
dengan lelaki yang tengah bersamanya di perpustakaan saat ini. Seorang lelaki
layaknya pemeran Kevin dalam film The Chipmunks mengambil dan
mengunci seluruh pandangannya pada lelaki lain. Seakan mereka semua berubah
menjadi kabur.
Dirinya ingat saat pertemuan pertama. Terkesan
tidak elegan dan kalau diingat kembali membuat Gina merasa malu setengah mati. Berawal dari dirinya yang salah paham hingga
marah-marah yang padahal saat itu lelaki yang dia sukainya ini tidak menjabat
dan berurusan apa pun soal kepanitian ospek. Ketika tahu kebenaran berasal dari
Sela yang memberitahu, seluruh waktunya mendadak berhenti. Gina dengan
segenap jiwan lantas mencari lelaki itu untuk meminta maaf,
hingga beberapa dari temannya sudah sangat menghapal dirinya.
"Ah, sial. Kenapa malah flashback."
"Ada apa, Gina?"
Gina menoleh. Mengira lelaki itu tidak mendengar gumamnya. "Ya? Gak, Kak. Gue cuman keingat
masa lampau," jawabnya.
"Masa lalu yang lo marah-marah sama
guekah?"
Sial (2).
Gina membatu di tempatnya. Memberi pandangan
canggungnya yang malah mendapat tawa dari lelaki itu. Dia kira, hanya dirinya
yang mengingat kejadian memalukan itu.
"Santai saja, sih. Gue gak dendam orangnya."
"Gak dendam tapi terus diingat," sanggah
Gina.
Lelaki itu terkekeh sekali lagi sebelum memberikan
usapan halus pada pucuk kepalanya. "Bercanda," ucapnya.
Tidakkah lelaki itu
tahu kalau Gina sekarang ini tengah mati-matian untuk menahan rona merah yang
mungkin akan segera muncul di permukaan kulit pipinya. Apalagi suara detak
jantung yang terdengar keras. Gina berharap lelaki di depannya ini tidak
mendengar suara sialan itu.
"Yaudah, gue duluan, ya. Bukunya sudah
ketemu," pamitnya. Membuat hayalan Gina mendadak buyar seketika.
"Oh? Oke, Kak" balasnya. Berusaha untuk
menghilangkan rasa gugup yang memeluknya saat ini.
"Padahal sudah gue bilang buat santai saja
sama gue. Dipanggil kakak berasa tua banget dong. Panggil nama saja kan,
bisa," pukas lelaki itu.
"Kan, karena memang Kak Mavi lebih tua
setahun dari gue. Kata Bunda, harus sopan sama yang tua," jelas Gina.
"Iya deh, yang anak Bunda."
"Biarkan. Daripada gue anak monyet,
kan?"
Lelaki yang bernama Mavi, mahasiswa dari fakultas
yang sama dengannya itu cuman bisa geleng-geleng kepala sembari menahan tawanya
biar tidak lepas.
"Kalah mulu gue," ucapnya. "Oke,
gue duluan, ya. Bye, Gina."
"Bye, Kak."
Membalas lambaikan tangan seraya tersenyum.
Gina akhirnya bisa bernapas lega. Bersama dengan
Mavi benar-benar membuatnya menjadi sulit bernapas. Disebabkan rasa gugup yang
membelenggu lebih erat.
"Jantung tolong, ya. Kalau mau berdetak volumenya kurangi sedikit bisa, kan? Kalau kedengaran sama doi kan, gue yang malu. Bukan lo. Tolonglah kerjasamanya. Ya?"
Bahkan dalam keadaan sekarang Gina sampai bercerita sama dirinya sendiri. Berharap dirinya tidak dianggap gila kala orang lain melihatnya. Harusnya sekarang dia cepat-cepat keluar. Mavi Javiendra benar-benar berbahaya untuk kesehatan jantungnya.