Waktu jam pagi yang mana seharusnya
Henan bangun untuk bersiap ke kampus malah bersembunyi dibalik selimut. Seperti kepompong, hanya wajahnya saja yang terlihat. Muka masam dari kemarin malam, tidur pun tidak
nyenyak. Kebanyakan bangun tanpa sebab dan gelisah.
Dirinya sudah niat untuk tidak masuk kampus hari
ini. Apalagi perihal boneka barunya yang tiba-tiba hilang membuatnya pusing tujuh keliling. Masa bodoh dengan tugas
kuliah.
"Masa tuyul yang ambil? Gak mungkin hantu botak itu suka sama boneka. Sialan," gerutunya.
Sementara dirinya bersedekap sambil mendumel tak
jelas, pintu kamar indekosnya lantas terbuka. Salah satu tetangga indekos yang masuk tanpa permisi, dengan sekali tarikan menyibak gorden yang
menutupi jendela kamarnya. Henan hanya mendengkus di tempat. Kesalnya bertambah
ketika melihat lelaki yang berbeda satu tahun darinya malah berlagak pinggang di
depannya.
"Lo mau terlambat lagi? Bangun,"
titahnya.
Henan tak menjawab, hanya menampilkan wajah
kesalnya. Alih-alih bangun, dia malah putar balik membelakangi lelaki itu.
"Bangun, Hen. Nanti nyokap lo datang lagi
kalau lo bermasalah di kampus, ribet."
"Bacot ya, lo! Keluar!"
Lelaki itu mendesah. Daripada menuruti perintah
Henan, dirinya malah duduk di sisi anak itu. "Kenapa, sih? Dari
semalam uring-uringan."
Wajah Henan berubah menjadi
cemberut. Memutar posisinya menatap langit-langit kamar.
"Boneka gue hilang, padahal baru beli," ucapnya.
"Kan, bisa lo beli lagi."
Henan mendelik.
"Seenak jidat lebar lo beli lagi. Bokek!" ketusnya. "Kalau puluh
ribu gue mau-mau saja. Ini ratusan! Ratusan! Dih!"
"Makanya menabung. Bagi duit lo buat keperluan kuliah sama beli boneka-boneka kesukaan lo itu," pukasnya. Dirinya kemudian berdiri. "Umur sudah tua tapi masih
demen sama kartun. Kelakuan."
Henan memelotot. Meraih bantal kepala yang
kemudian dia lempar. Namun, Sayangnya lemparan itu tidak tepat sasaran karena
lelaki yang membuatnya kesal lebih dulu berlari
keluar kamarnya.
"LIHAT SAJA! GUE
BUANG SEMANGKA LO MAVII!" teriaknya.
Antara malas dan pasrah saja, Henan akhirnya tetap berangkat ke kampus karena ucapan Mavi.
Tentu dia tidak mau mamanya datang cuman karena mendengar dirinya yang malas berkuliah. Bisa-bisa terjadi perang dunia keempat nanti.
Tapi lagi, tidak tahu kenapa sial selalu datang
padanya. Kemarin seharian penuh sudah dan sekarang di saat dirinya ngebut mandi untuk ke kampus malah berakhir sia-sia. Hari
ini Henan justru mendapat kelas kosong.
Jadi selepas Henan mengantar tugas esai yang dilupa kemarin, dirinya lantas beralih ke kantin. Mengisi perut untuk menghilangkan galau. Sambil makan, Henan kembali berpikir
soal hilangnya boneka Shin-chan yang dibeli kemarin. Mukanya mengerut,
mengulang kembali kejadian yang ada di mal.
"Habis beli, gue ke toilet.
Keluar toilet langsung keparkiran," gumamnya. "Tapi gue bawa kok,
bonekanya sampai parkiran," tegasnya.
"Memang iyakah, gue bawa? Iya, kan?" tanyanya setengah yakin. "Argh! Sudahlah! Pusing gue!" Dirinya malah mendapat tatapan aneh dari orang-orang sekitar. Bahkan untuk menyuapi dirinya pun terkesan
kasar.
"Kenapa lo?" Entah
dari mana datangnya Jeon sudah ada duduk di depan sambil menikmati es krim batang.
"Pusing gue, Je. Boneka gue baru beli semalam
tiba-tiba hilang di indekos," jawab Henan tanpa mengadah.
"Lah? Bagaimana bisa? Lo lupa taruh di mana
mungkin," pukas Jeon
dan kembali menggigit es krimnya.
"Gak, Je. Sudah gue cari disetiap sudut kamar
gue tapi gak ada. Masa iya gue lupa bawa dari mal kemarin?"
"Bisa jadi," jawab Jeon cepat. Dengan
sekali lahap, es krimnya masuk ke mulut menyisakan tangkai yang lantas dibuang ke tempat
sampah dengan cara dilempar.
Henan mendesah berat. Memasukkan suapan terakhir
dan menutupnya dengan minum air sekali teguk. Kalau yang
diucapkan Jeon memang begitu, berarti Henan benar-benar lagi melewati masa-masa
kesialannya.
"Kenapa, sih? Cuman boneka doang. Lo kan,
bisa beli lagi.”
"Gue bakal lakuin itu kalau gue ada
duit," elak Henan yang mana langsung mendapat tawa cibiran singkat
dari kembaran Nanda itu.
Memang benar. Kemarin karena terlalu senangnya dia
dapat boneka Shin-chan keluaran terbaru, tanpa pikir panjang
langsung mengeluarkan uang. Padahal harganya saat itu terbilang tidak
murah dan Henan baru dapat penyesalannya sekarang.
Meminta uang kembali pada orang tua
akan panjang urusannya. Belum harus
ditanya akan alasan dirinya meminta uang lagi. Henan terlalu malas untuk melakukan interview tiba-tiba itu.
🎗
"Gin, gak mau ikut sekalian?"
"Gak, Sel. Gue buru-buru soalnya. Duluan,
ya."
"Oke, deh. Hati-hati."
Dirinya mengangguk lantas berlalu dengan berlari
kecil. Menolak ajakan temannya hari ini untuk kumpul di kafe kecil dengan niat
mengerjakan tugas bersama.
Aryana Regina, gadis manis dengan tubuh kisaran
seratus lima puluh. Rambut sepanjang ketiak dengan warna hitam lebat, mata
bulat besar layaknya boneka beruang. Dirinya salah satu mahasiswi dari Fakultas
Sastra dan Bahasa Asing, semester 3 di Universitas Bangsa Nugraha.
Gadisㅡyang akrab dipanggil Ginaㅡitu lantas
bergegas menuju jalan besar untuk memberhentikan sebuah
taksi menuju mal. Baru saja saudara dari bundanya menelepon meminta bantuan. Lantaran sang anak yang tiba-tiba jatuh sakit tanpa sebab mengharuskan
Gina untuk mengganti peran menjaga salah satu lapak toko tantenya di mal.
Khawatir tentu saja juga dia rasakan. Perihal sepupunya yang tiba-tiba jatuh sakit Gina sempat memberi pesan juga kalau akan menjenguknya dalam waktu
luang. Kala sebuah pesan masuk muncul dilayar ponselnya, Gina hanya bisa
melihatnya sekejap sebelum menyuruh supir taksi agar berjalan lebih cepat.
Namun Sayangnya, jalan nampak dilanda macet sementara waktu.
Baru saat kepalanya ingin keluar dari jendela
kaca, untung saja dengan gerakan cepat dia menariknya kembali. Seorang
pengemudi sepeda motor yang tiba-tiba lewat tepat dijalur kepalanya keluar
membuatnya terkejut setengah mati.
"Astaga! Untung gue tarik kepala cepat.
Begini kelindas, gak punya kepala gue," ucapnya.
"Neng, gak apa!? Aduh, ikutan panik Saya," sahut sang supir.
"Iya, Pak, gak apa. Maaf, ceroboh." Dan sang supir hanya bisa menyuruh Gina untuk
menutup kaca jendelanya. Takutnya akan terjadi hal yang tidak diinginkan lagi.
Untung saja macet yang dihadapi memang berjalan
sementara. Sisanya jalan kembali mulus hingga mengantarkan Gina sampai di mal
dengan selamat. Selepas membayar, tak ada hal lain lagi selain segera masuk
untuk bertemu tantenya. Baru saat dirinya melewati barisan parkir motor,
Gina berhenti sejenak untuk menatap salah satu
pengendara yang membuatnya mendengkus.
"Itu tuh, anak muda zaman
sekarang. Kerjaannya ngebut mulu," gerutunya. "Masih baik kepala gue
masih ada," lanjut
Gina seraya memegang kepala.
Mal yang padat, hanya untuk naik eskalator saja
harus sedikit berhimpitan. Belum saja akhir pekan tapi pengunjungnya sudah
sebanyak ini. Sepertinya orang-orang lebih banyak habiskan waktu di mal banding
di tempat lainnya.
Toko buku milik tantenya lumayan sering dikunjungi pelanggan, terutama dari kalangan anak muda. Saudara ibunya ini dulu kuliah mengambil jurusan
yang sama. Gina sendiri juga bukan paksaan masuk dijurusan itu. Berawal dari dirinya yang memang sangat suka untuk menuangkan isi pikirannya
dalam karya tulisan, walaupun minatnya hanya untuk konsumsi diri
sendiri.
"Aunty!"
Wanita yang di panggilnya lantas menoleh dengan
wajah khawatir. Ikut menghampirinya dengan sedikit tergesa-gesa. "Gina
maaf, ya? Juan tiba-tiba sakit
jadi harus repotin kamu jaga toko,"
ucap wanita itu.
"Gak apa. Aku juga khawatir sih, sama Juan.
Tapi kayaknya dia lebih butuh aunty."
Tantenya mengangguk.
"Minta tolong, ya." Dan Gina hanya bisa memberi
senyum tulusnya seraya menatap tantenya keluar dari toko buku.
Dirinya menghela napas sebelum menaruh tasnya di loby
pembayaran. Rambut yang terurai dia ikat untuk memberi gerak leluasa dan menghilangkan gerah. Memakai parfum untuk kesan wangi pada
tubuhnya. Secara, dirinya belum pulang untuk sekadar mandi. Takut aroma aneh tercium oleh pelanggan yang datang nanti.
"Selamat datang!" sambutnya seraya
tersenyum lebar.
🎗
Pukul 7 lewat 15 malam, pembayaran terakhir dilayani. Setelah pelanggan
terakhir itu keluar, Gina akhirnya bisa meregangkan tubuhnya.
Seraya menjaga toko, dirinya selingi dengan kegiatan menulis esai. Akhir-akhir
ini entah mengapa dosennya lebih sering mengirimkan tugas esai dibanding
lainnya.
Setelah semua pekerjaannya selesai Gina lantas merapikan sedikit tatanan rak buku yang nampak berantakan. Sebelum
akhirnya menutup toko. Jadwal buka memang hanya berlangsung pagi hingga pukul 7 malam, disebabkan tantenya yang punya pekerjaan lain.
Gina sekali lagi memastikan bahwa pintu tokonya
benar-benar sudah terkunci. Tidak lupa mengecek barang-barangnya sekali lagi mungkin saja ada yang terlupakan. Setelah yakin, barulah
bergegas pergi meninggalkan mal menuju indekos.
Tidak tinggal dengan orang tua, meskipun keluarga masih dalam satu kota. Hanya
ingin hidup mandiri katanya.
Sekali lagi melewati area parkiran, dirinya kembali berhenti kala mendapati sebuah kotak tergelatak sendiri di sana.
Gina melebarkan pandangannya kala memastikan apa
orang-orang tidak menyadari kalau barangnya tertinggal.
"Apa itu?"
Dengan rasa penasaran dirinya sendiri memilih
untuk mendekati kotak itu. "Ketinggalankah?" Celingak-celinguk namun tetap saja tidak mendapat perhatian orang lain.
"Ya, sudah. Gue bawa pulang saja, deh," putusnya sebelum akhirnya menghentikan taksi untuk dipakai tumpang.
Dengan selamat dirinya sampai di indekos khusus putri pukul setengah 8 pas. Tidak mau menunda waktu
lagi lantas segera masuk dan mandi. Katakan, badannya mulai
lengket meskipun tidak berkeringat sama sekali.
"Lo di sini dulu, ya. Nanti gue
buka. Badan gue gatal, mau mandi," katanya pada kotak tak hidup itu.
Kegiatan mandi yang berlangsung hampir 10 menit menghasilkan dirinya keluar dengan piyama kotak-kotak dan rambut
yang sangat basah. Gina mendudukkan dirinya di sisi kasur sembari salah satu
tangannya sibuk mengusap kepala sibuk mengeringkan rambut.
Menyambung ponselnya dengan charger baru kemudian beralih untuk
membuka kotak yang didapatnya.
"Heh? Boneka?" Dengan gerakan yang
hati-hati Gina mengeluarkan sebuah boneka anak laki-laki. Dirinya terkekeh sebentar.
"Astaga, Shin-chan. Gue pikir sudah gak ada yang memproduksi lo di sini.
Masih populer rupanya, ya."
Dirinya berapa kali membolak-balik boneka itu
hanya untuk menemukan pemilik nama dari boneka. Namun sayangnya,
tanda pengenal yang dimaksud sama sekali tidak dia temukan. Bahkan ketika
mengharuskan mencari dikotak pembungkusnya
hasilnya tetap saja sama.
"Kayaknya benar-benar ketinggalan, deh. Aduh,
kasihannya," monolognya. "Yaudah, lo tidur di sini
sementara. Nanti gue bantu cari pemilik lo, ya."
Dan boneka itu kembali dia letakkan di dalam
kotak.
Bersamaan kala Gina meletakkan kotak itu di samping
kasurnya, pintu kamarnya lantas terbuka. Menampilkan seorang gadis dengan
rambut cepok atas dan sebuah masker yang menutupi wajahnya.
"Bicara sama siapa lo? Gak gila, kan?"
ucapnya.
Gina terkekeh.
"Gak, lah. Gue bicara sama boneka Shin-chan tadi," jawabnya sembari
menatap ponsel.
Gadis itu mendekat dan ikut duduk. "Boneka Shin-chan? Yang punya Adik baju kuning sama anjing putih itu?"
"Wah! Lo masih ingat?"
"Hei … itu tontonan gue juga waktu masih kecil kali," jawabnya.
"Tumben lo beli boneka. Biasanya anti sama yang begituan," sambungnya
lagi, dengan tangan yang sibuk menepuk pipinya.
"Gak gue beli, kayaknya ketinggalan. Gue
temunya di parkiran mal pas pulang tadi."
"Duh, kasihan," dramanya. Dirinya
kembali berdiri, hendak meninggal kamar Gina. "Yaudah, gue keluar,
ya."
"Loh? Cepat banget keluarnya. Duduk dulu
saja, cerita-cerita," cegah Gina.
"Nantilah, kapan-kapan. Gue ada urusan."
"Bilang saja sih, mau video call sama
doi. Gak usah pakai bilang ada urusan segala."
"Nah! Itu lo tahu," serunya.
"Makanya, jangan keseringan duduk di depan laptop mulu. Cari pacar
sana," sambungnya dengan posisi kepala yang menyembul dibalik pintu.
"Apaan, dah?" Tapi gadis itu hanya tertawa sebelum dirinya benar-benar hilang dari sana.
Gina hanya mendengkus sebelum berdiri untuk menutup pintu kamarnya rapat-rapat. "Pacar? Apa hebatnya punya pacar? Buang-buang waktu saja," ucapnya dengan decihan kecil di akhir. Kembali naik ke kasur untuk melanjutkan kegiatan main ponselnya.