Pedal gas yang ditarik secara kuat sampai ban
motornya berputar begitu cepat. Berapa kali melambung kendaraan di jalan bak orang kesetanan
dan mendapat peringatan dari
pengemudi lain dengan suara klakson. Alih-alih memelankan laju motor, dirinya
hanya menolehkan kepala ke belakang sekejap dan berteriak maaf. Sungguh kurang ajar.
Dibalik helm open face-nya, muka kecemasan terpampang jelas. Dari yang
diperkirakan, lelaki ini tengah mengejar waktu sebab terlambat. Tak peduli lagi dengan suara-suara nyaring yang
berulang, intinya hanya ingin sampai ditujuan.
Ketika kendaraan roda duanya melewati gerbang
kampus, bahkan dengan kecepatan yang bisa menimbulkan kecelakaan, sampai parkir
pun sudah tidak beraturan. Ingin segera berlari namun
tertahan lagi sebab lupa untuk melepas helm.
"Ah! Goblok!"
Rambutnya sudah tidak beraturan pula. Jutaan surai hitam lebat yang tertiup angin sebab sibuk berlari berhasil menampilkan jidat mulus yang penuh peluh. Orang-orang yang melihatnya hanya bisa
terheran-heran.
Kelas yang berlangsung lebih sialnya berada di
lantai dua membuatnya mau tak mau harus melompati dua anak tangga sekaligus. Sampai di samping pintu, dengan deru napas yang ngos-ngosan dirinya berhenti untuk sekadar rukuk istirahat.
"Permisi, Pak."
Sang dosen yang dalam masa mengajar lantas terhenti dan menoleh padanya. Kacamata yang berada di pangkal
hidung diperbaiki. Buku di
tangan ditutup dan berlagak pinggang.
Tidak terlupakan, wajah datar yang terkesan pasrah.
"Kali ini alasannya apa lagi, Henan?"
Lelaki itu, Henan, berdiri di tempat sembari
menggaruk tengkuknya. "Telat bangun, Pak."
"Telat bangun, berarti ini yang kelima
kalinya kamu telat dengan
alasan yang sama. Besoknya kalau
sampai telat lagi, alasannya ban bocor saja, ya."
Sambil tesenyum kikuk, Henan hanya bisa mengangguk
mengiakan. Beruntung dirinya dipersilahkan masuk dan mengikuti kelas.
Mendaratkan pantatnya di kursi datar dan menatap sinis teman duduk
yang tengah menaha tawa.
"Dosennya sampai hapal lo, Hen. Parah banget
sih, lo."
"Diam! Gue cabut mulut lo!"
Tak peduli, teman duduknya malah tertawa makin
jadi. Henan mendelik, mengangkat buku paket yang dia keluarkan untuk
dihantamkan pada kepala temannya itu namun tidak jadi.
"Henan."
Seketika dirinya membeku di
tempat. "Kamu Saya izinkan masuk untuk serius. Kalau tak ingin, silahkan
keluar."
"Maaf, Pak."
Dosen yang mengajar saat itu hanya bisa
menggelengkan kepala dan melanjutkan pembelajaran. Henan mendengkus dan mendelik dengan tajam ke arah temannya. Dengan kesal dia memilih untuk
tidak memperdulikan anak itu.
Henandika Tatum namanya. Hari-hari dipanggil Henan
adalah sosok anak lelaki yang berjiwa bar-bar. Mungkin lebih mudahnya, jiwanya
terlalu bebas. Model yang super simple namun terkesan fancy, kelakuan yang sangat mudah untuk
membuat orang mengumpat, terlalu banyak tingkah, membuat menjadi mahasiswa yang
terkenal dalam fakultasnya. Untuk
ciri-ciri di atas saja masih terkesan kurang. Saking banyaknya kata-kata untuk
mendeskripsikan bagaimana modelan orang seperti Henan.
Gampang berbaur dan mencari teman, pintar
mencairkan suasana, juga punya sifat yang periang. Salah satu teman dekatnya
semasa sekolah adalah Jenanda Ardinata atau dengan nama harian Nanda. Lelaki
dengan tubuh yang sedikit lebih tinggi daripada Henan dan
punya sifat yang hampir sama. Tapi untuk hal bergaul,
Nanda kurang ahli dalam itu. Di Universitas Bangsa Nugraha, Henan sebagai mahasiswa Fakultas Seni dan Musik sedangkan Nanda
dari Fakultas Kedokteran.
Jam istirahat kini datang setelah kelas panjang penuh kebosanan. Kedua anak lelaki ini lantas beranjak ke kantin untuk mengisi perut yang keroncongan.
"Lo telat memang karena lambat bangun,
Hen?" Keduanya mendudukkan diri di bangku
panjang setelah membeli makanan.
Henan mengangguk.
"Gue nge-game semalam sampai jam dua," jawabnya. Satu
suapan lolos masuk ke dalam mulutnya.
"Pantasan! Kebiasaan sih, lo. Gak baik
tahu."
Kedua mata Henan menatap Nanda meskipun posisi
kepalanya sedikit menunduk. Menunda untuk menyuapi dirinya yang kedua.
"Iya ampun deh, Bapak dokter," pukasnya. Namun, perkataannya malah mendapat tepukan ujung sendok dari Nanda. Membuatnya
mengelus kepala sembari mengunyah dengan wajah masam.
"Tapi amin untuk itu, hehe." Sang pelaku malah menunjukkan wajah tak bersalah.
Seakan yang dilakukannya tadi hanyalah sebuah
ketidaksengajaan.
Henan malah bermata malas dan mengejeknya. Kembali melanjutkan makan karena jujur, perutnya saat ini benar-benar
kosong. Pagi yang terlambat membuatnya tak sempat untuk sarapan. Tinggal tanpa
orang tua benar-benar membuat Henan kesulitan untuk bangun pagi. Bahkan
terkadang sampai lupa dengan jadwal kelasnya sendiri.
"Niat gue itu baik, Nan. Gue cuman temani
saudara kembar lo buat main. Kasihan," tuturnya.
Nanda berdecak singkat. "Itu alasan lo
berdua. Setiap hari mabar sampai tengah malam, kiranya gue gak
tahu," jelas Nanda. Sedangkan
Henan hanya bisa menunjukkan deretan
gigi putihnya.
Di saat keduanya sibuk berbincang seraya menikmati makanan, kantin mendadak heboh. Henan dan Nanda menoleh untuk melihat alasan dari anak-anak gadis histeris.
Namun, reaksi yang ditunjukkan dari keduanya hanyalah
sebuah desisan halus yang langsuung beralih pandangan dalam hitungan detik.
"Dari yang dilihat juga masih gantengan gue
perasaan," pukas Henan. Nanda hanya memilih diam sembari tetap
menghabiskan makanannya.
Dari jarak tiga meter, seorang lelaki yang menjadi
alasan anak-anak gadis berteriak berjalan mendekati meja mereka. Seakan
keduanya tahu, Henan dan Nanda memilih tak memperdulikannya. Hingga lelaki itu duduk di samping Nanda pun keduanya masih terlihat bodoh amat.
"Gue gak dikasih sambutan gitu?"
ucapnya.
"Itu para Hawa teriak pas lo datang masih kurangkah? Nanti gue panggil mamang-mamang di
depan saja biar makin ramai yang sambut lo," jawab Henan yang mendapat
kikikan kecil. "Buat apa lo kemari?"
"Lah? Gak boleh? Kembar gue saja gak masalah di
sini. Masa
gue gak?"
"Gue nanya goblok!" Henan beralih
menatap Nanda yang sudah selesai dengan makannya. "Yakin
ini kembaran lo, Nan? Gue sih, masih rada gak percaya. Bego soalnya,"
ucapnya.
"Kira cuman lo? Gue saja masih ragu,"
balas Nanda.
"Apa-apaan deh, lo berdua."
Henan hanya bisa mememelotot kala minuman
kalengnya diambil alih diteguk oleh lelaki itu. "Ini anak? Gak mau tahu,
ya. Ganti minuman gue," kesal Henan.
"Iya-iya. Berapaan, sih? Cuman sekaleng doang. Itu pun
gak gue habiskan."
"Lonya datang seenak jidat
minum punya orang, dih!"
"Cuman minuman ini, Hen."
"Ada liur lo bego! Kena rabies gue nanti,
amit-amit."
"Lo kira gue anjing? Sembarangan kalau
ngomong."
"Sudah ya, berisik!" sahutnya yang
sukses membuat mereka menutup mulut. Nanda mendelik keduanya
bergantian, khusus pada kembarannya lebih lama. "Lo ngapain di sini? Kelas
lo kan, sore nanti."
Kembarnya tersenyum.
"Gue ada perlu sama lo. Sebenarnya sih, ini suruhan Mama buat gue. Tapi
gue kan, gak tahu yang berbau keibu-ibuan. Jadi gue minta tolong sama lo,"
jelasnya.
"Terus?"
"Istirahat kedua jam dua siang
nantikan? Kita ke mal."
"Lo gak berulah lagi kan, Je?"
selidiknya. Perasaan ini bukan tanpa alasan, soalnya Nanda tahu kelakukan busuk
saudara kembarnya ini. Terlalu sering gonta-ganti cewek yang mana malah dirinya
dibuat pusing.
"Gak. Ini benaran suruhan Mama. Serius," jawabnya dengan
dua jari melayang. Nanda menghela napas singkat yang berganti mengiakan.
Kembarannya, alias Jeonanda Ardinata dari Fakultas Teknik kembali tersenyum
hingga membuat kedua matanya menjadi sipit.
"Yaudah, gue sudah selesai. Kelas gue masuk
sebentar lagi. Gue tinggal ya, Hen," pamit Nanda.
Henan hanya mengacungkan jari jempolnya untuk
menghantar kepergian anak itu, menyisakan dirinya bersama Jeon. Masih setia duduk di sana yang awalnya hanya bertukar cerita beralih
untuk bermain game, melanjutkan kegiatan
semalam.
🎗
Hari ini mungkin memang hari sialnya untuk Henan.
Sudah datang terlambat, lupa bawa tugas esai, ditambah dapat kelas sore lagi.
Salahkan sama dosennya yang harusnya masuk siang malah minta undur waktu.
Sebenarnya bukan masalah untuk dia, tapi kalau mengharuskan pulang selama jam kekosong
itu terlalu mubazir bensin. Jarak antara indekos sama kampusnya lumayan jauh.
Waktunya hanya terbuang habis menunggu di kampus kayak orang bodoh.
Di kursinya, Henan cuman bisa duduk sambil bertopang dagu. Menatap malas ke arah dosennya yang tengah aktif menjelaskan
materi. Katakan, Henan mengantuk sekarang. Pukul 4
sore biasanya adalah jam rebahan di atas kasur empuknya. Berapa kali dia
menghela napas berat sembari melihat jam tangannya. Memastikan jarum jam itu
sudah menunjukkan waktu untuk pulang.
"Baiklah, sekian untuk hari ini. Sesuai
dengan tugas yang Saya kasih, kerjakan sesuai syarat ketentuan dan
kumpulkan sesuai jadwal."
Henan tersenyum senang, bahkan menjawab salam
perpisahan dosennya dengan suara yang lantang. Akhirnya dia bisa pulang dan bergegas keluar kelas dan berlari menuju parkiran.
"Henan!"
Pemilik nama yang baru akan
mengaitkan helm lantas menoleh. Seketika kedua alisnya menyerit. "Lah, Nan? Katanya mau ke mal. Sudah balik?" tanya Henan.
Nanda mengangguk singkat. "Sekalian anak ini ada kelas sampai jam enam nanti. Minta pulang bareng katanya," jelas Nanda.
"Yaudah, ini kunci. Kalau sudah pulang kabari gue, ya?" dan Jeon berlalu pergi kala Nanda
memberinya lambaian tangan.
"Baru selesai kelas lo?" tanya Nanda.
Henan mendesah.
"Iya. Sialan banget dosennya undur waktu jam segini." Dirinya duduk di
atas motor dengan santai.
"Kenapa gak balik?"
"Boros bensin, gan. Jarak indekos
gue ke kampus
kan, lumayan jauh," jawabnya. “Yaudah, gue mau balik, nih. Sudah
lapar gue.” Henan sudah siap-siap ingin berangkat.
"Eh, iya, Hen. Tadi di mal kebetulan gue
lihat boneka Shin-chan. Tapi kayaknya itu keluaran terbaru, deh?"
Ekspresi mememelotot lantas Henan tampilkan saat
itu. Cepat-cepat mengaitkan helmnya dan mengangkat standart motor. "Yang
benar? Yaudah, gue ke sana," pukasnya. Bahkan dari rautnya sudah kelihatan
menggebu-gebu.
"Gak jadi pulang lo?" heran Nanda.
"Nanti, keburu bonekanya hilang. Duluan,
ya!" Dan tanpa permisi, anak itu melenggang keluar dari
gerbang kampus meninggalkan Nanda dalam pandangan datar.
"Bucin!" Desisnya
dan lantas berlalu pergi.
Henan adalah maniak kartun asal Jepang tahun
90-an. Tak sedikit dia punya beberapa koleksi di indekosnya. Entah dalam bentuk
boneka maupun komik. Henan bahkan punya koleksi filmnya yang
mana file-nya lebih banyak dibandingkan materi kampus.
Awal dia suka dengan kartun Jepang itu sewaktu
dirinya masih kecil tentu saja. Henan masih ingat ketika dirinya diharuskan
ditinggal sendirian di rumah karena orang tuanya yang
super duper sibuk.
Hari itu, Mama tanpa sengaja memutar tayangan dalam serial TV. Memuncul sosok anak kecil berkaus merah dengan seekor
anjing putih yang sukses mengambil perhatian Henan kecil. Mamanya tersenyum puas dan lantas
mengambil kesempatan itu untuk segera pergi, meninggalkan anaknya yang masih
setia menatap TV tanpa berkedip. Hingga saat itu, serial TV bergambar kartun Shin-chan menjadi kesukaannya hingga kini. Hapal akan jam tayang hingga intro lagu saat kartun
itu mulai.
Henan akhirnya sampai pada mal yang
dituju. Masih dengan pakaian kampus,
kaus putih dengan kameja kotak-kotak dan balutan
celana blue jeans menutupi kakinya. Selepas memarkirkan motor dengan langkah pasti dirinya memasuki mal.
Langkah kaki Henan terburu-buru melewati
setiap toko dalam mal.
Matanya menaruh tajam pada setiap toko boneka. Tak hanya satu, beberapa Henan
singgahi untuk dilihat. Pasalnya dia tidak tahu toko mana yang menjual kartun
kesukaannya itu.
"Oh! Di sana!" Tak
ingin mengulur waktu lebih panjang, lantas bergegas.
"Selamat datang. Mencari apa, Tuan?" sapa seroang pelayan.
Henan hanya mengangguk untuk membalas. Berjalan ke
dalam dan mengitari isi toko. Berbagai macam jenis boneka
terpajang namun untuk kartunnya masih belum dia temukan.
"Permisi, apa kalian menjual salah satu
boneka kartun Jepang?" tanyanya.
"Kartun Jepang? Kartun apa maksud Anda?"
"Crayon Shin-chan," jawab Henan
terdengar pelan. Sebenarnya dia rada sedikit malua karena
maklum umurnya yang terbilang sudah sangat dewasa namun masih mencari boneka
kartun.
"Apa kartun ini yang Anda
maksud?"
Mata Henan berbinar. Dirinya bahkan sudah berwah
ria kala melihat boneka anak lelaki berkaus
merah dalam sebuah kotak. Henan tak punya boneka Shin-chan versi ini.
"Berapa harganya?" tanyanya pada inti.
"Anda segera ingin membelinya?" kejut
sang pelayan.
Henan berdeham untuk menetralkan wajah dan nada
suaranya. "Ya, Adik Saya ulang tahun hari ini. Kebetulan, dirinya suka dengan kartun Shin-chan jadi
Saya berniat menjadikannya kado," pukasnya Henan berbohong.
Untung saja sang pelayan dapat dengan segera
percaya pada ucapannya. Setelah kegiatan bayar membayar dengan
kartu debitnya dengan langkah senang Henan keluar dari sana.
Uang habis urusan kuliah? Bukan. Uang Henan habis
demi koleksi Shin-chan nya.
🎗
Pukul setengah 8
malam Henan baru selesai membersihkan diri. Setelah seharian berada di luar, badannya benar-benar terasa lengket. Dirinya
baru sampai di indekos setengah jam yang lalu sebab
kesialan yang baru didapatnya lagi tadi. Kemacetan
sepulang dari mal.
Mengingat kepulangannya dari mal, Henan lantas bergegas menuju meja nakas. Tangannya bertepuk senang tidak sabar
untuk segera mengeluarkan koleksi barunya.
"Lah? Mana? Tadi perasaan ada di sini?" Bukan kotak kado yang dia dapat, hanya sebuah meja kosong dengan ponselnya
yang tergeletak sementara mengisi daya.
Henan panik. Dirinya bolak-balik mencari belanjaan
barunya. Kotak yang terbilang besar itu, bagaimana bisa hilang? Di bawah
kasur, sofa, kamar mandi, lemari pakaian, tetap saja dirinya tidak mendapat
keberadaan boneka barunya.
Henan merosot di lantai dengan pandangan nanar.
Otaknya dalam kegiatan memproses apa saja yang terjadi hari ini.
Kegiatan apa yang dilakukannya, dirinya mulai memutarnya kembali.
Bangkit dengan tergesa-gesa, Henan menuruni tangga menuju lantai
bawah. Berlari melewati dapur yang mana tetangga kamar indekosnya tengah
menatapnya heran. Henan berlari menuju garasi indekos untuk melihat motornya.
Berharap kotak kado berisi boneka kesukaannya ada di sana. Namun Sayangnya,
kendaraan roda duanya itu hanya menampilkan diri sendiri tanpa sebuah kotak.
"Aargghh!?"
Orang-orang yang berada di dapur lantas terperanjat. Salah satu dari mereka
lantas tersedak. Teriakan histeris Henan sukses membuat semuanya terkejut.
Jalan yang awalnya semangat itu berubah menjadi
lemah tidak bertenaga layaknya seorang zombie. Duduk disalah satu kursi
meja makan dan sekali hentakan mendaratkan jidatnya di atas meja.
"Eh, awas kepala lo benjol!" histeris
salah satunya. Pasalnya, Henan membanting kepalanya cukup kuat.
"Kenapa lo? Tadi larinya semangat, sekarang
loyo kayak belum makan."
Henan hanya diam tak memberi jawaban. Sekadar
menolehkan wajahnya ke samping. "Tadi lihat gue bawa
kotak kado masuk gak, Bang?" tanyanya. Bahkan dari nada suaranya saja
Henan sudah pasrah.
"Kotak kado? Gak, tuh. Kenapa?"
Henan mendesah berat. Dirinya kembali
menyembunyikan wajahnya di atas meja. Berselang dengan datangnya salah satu
penghuni indekos lain.
"Baru pulang, Vi?"
"Iya, Bang." Lelaki itu menatap Henan
sebelum naik ke lantai atas. "Henan kenapa?"
Mereka menggeleng.
"Gak tahu. Dari tadi ditanya juga gak jawab."
Lelaki yang baru datang itu hendak melangkah
mendekati Henan namun keduluan dengan anak itu yang sudah dalam posisi tegak.
Menoleh ke arahnya sejenak dengan wajah masam, kembali melangkah dengan tegas
meninggalkan mereka semua dengan banyak pertanyaan.
"Dia kenapa?"
"Dahlah! Paling perkara kartun kesukaannya itu."
"Mungkinkah?" Namun
hanya berjawab dengan delikan bahu.