Ambar duduk di tribun tembok lapangan utama sekolah seorang diri. Menatap murid-murid ekskul marching band yang sedang latihan di tengah lapangan sana. Bergerombol dan berpanas-panasan. Namun jelas sekali mereka menikmati kegiatannya.
Perhatian Ambar lebih tertuju pada sang mayoret. Melihatnya membuat Ambar seperti melihat dirinya dulu semasa kecil saat dirinya menjadi mayoret di sekolah dasar. Ambar dulu menjadi populer di sekolahnya gara-gara itu. Menurut teman-temannya, wajah cantik Ambar dan postur tubuhnya yang bagus membuat Ambar sangat cocok menjadi seorang mayoret.
Jika Ambar tidak sakit, semua hal dulu pasti akan terulang lagi saat ini. Menjadi mayoret, dan populer di sma nya. Namun semua itu hanya harapan semu bagi Ambar. Takdir berkata lain. Dia ditakdirkan untuk menjadi gadis rapuh yang selalu menjadi beban untuk orang lain.
Seperti Ambar yang menjadi beban untuk Sultan dan Kinan di sekolahnya yang sekarang. Berbicara tentang dua orang itu, Ambar selalu merindukan mereka berdua.
Ambar selalu rindu dengan Sultan yang sudah tidak marah lagi padanya sekarang. Ambar juga rindu memanjakan diri di salon bersama Kinan. Dia kadang-kadang ingin melakukan itu lagi bersama Kinan. Mereka berdua sudah sedikit akur sekarang. Walaupun rasa iri dan cemburunya kepada Kinan yang selalu dihujani cinta oleh Sultan itu masih ada.
Ambar tidak munafik. Dia masih berharap pada Sultan. Walaupun sudah banyak sekali momen-momen antara Sultan dan Kinan yang Ambar lihat. Yang ketara sekali menunjukkan jika keduanya sangat saling mencintai.
Ketika kemarin Sultan menolak ide pertunangan dirinya dengan Ambar dengan mengatakan bahwa dia mencintai seseorang. Saat itu juga Ambar bisa menebak bahwa orang yang dicintainya itu adalah Kinan.
Namun, jika mereka saling mencintai. Kenapa mereka tidak berpacaran. Mengapa mereka saling mencintai dalam diam. Apakah mereka backstreet. Jika iya, itu artinya mereka belum mengumumkan hubungan mereka secara publik ke semua orang-orang kan.
Bukankah ada pepatah yang mengatakan selama janur kuning belum melengkung, artinya harapan masih ada. Hubungan Sultan dan Kinan belum diumumkan secara publik dan belum diakui oleh orang-orang. Jadi bukankah Ambar memiliki kesempatan untuk menikung.
Memang terkesan jahat. Namun urusan perasaan dan urusan pertemanan adalah hal yang berbeda menurut Ambar. Walaupun Ambar dan Kinan akur saat ini, tapi bukan berarti mereka tidak boleh bersaing untuk menjadi kekasih dari pria yang sama seperti Sultan.
Oleh karena itu. Mulai dari sekarang Ambar akan mencoba tidak peduli dengan perasaan Sultan dan Kinan. Selama mereka belum membuat publik hubungan berpacaran mereka, Ambar akan terus berharap pada Sultan. Dia akan mencoba bersaing secara sehat dengan Kinan. Namun jika mereka sudah mengumumkan hubungan mereka pada orang-orang, saat itu jugalah Ambar akan memilih mundur dan menyerah.
Perhatian Ambar saat ini teralihkan oleh dua orang yang baru saja memenuhi pikirannya barusan. Tertangkap oleh mata Ambar, di koridor sekolah sana Kinan sedang berjalan membopong Sultan yang terlihat kesakitan. Dibantu oleh seorang pria bernama Satria yang Ambar tahu adalah teman Sultan dari geng motornya. Mereka bertiga jadi pusat perhatian satu sekolah sekarang.
Ambar yang merasa khawatir pun langsung beranjak berjalan menghampiri mereka bertiga. Ambar berjalan setengah berlari.
"Sultan kenapa, Ki?" tanya Ambar pada Kinan.
"Maagnya Mas Sultan kambuh, Mbak."
Ambar pun semakin khawatir mendengar info itu. Diapun mencoba menawarkan diri untuk membantu.
"Biar gue saja yang membopong Sultan bersama dengan Satria, Ki. Lo pasti lelah."
"Jangan. Biar Kinan saja yang membantu gue."
Bukan Kinan yang menjawab Ambar, melainkan Sultan. Dia menolaknya dan lebih memilih Kinan.
Mata Ambar panas saat itu juga. Namun dia mencoba untuk tidak menangis. Karena saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk melakukan hal cengeng seperti itu. Sultan yang selama ini selalu memperhatikan dan menjaga Ambar sedang sakit. Ambar harusnya membantu, bukannya menjadi beban seperti biasa.
"Sultan akan dibawa ke mana, Ki? UKS ?"
"Bukan, Mbak. Kami akan membawa Mas Sultan ke rumah sakit."
"Astaga. Separah itu yah."
"Tidak parah kok, Mbak. Agar Mas Sultan diperiksa sekaligus diberi resep obat saja. Obat-obat yang kemarin sudah habis soalnya."
Saat ini, Ambar dan mereka sudah berada di halte sekolah menunggu jemputan sopir keluarga Aditama.
"Sopir kalian tiba kapan, Ki?" tanya Satria pada Kinan.
"Tadi bilangnya baru berangkat, Mas Satria." Kinan membalas.
"Berarti masih lama yah. Batalkan saja, Ki. Biar gue meminjam mobil dari anak geng motor. Hari ini ada yang berangkat memakai mobil soalnya. Sultan, gue tinggal dulu yah. Mau meminjam mobil. Kinan, titip kakak lo ini yah."
"Jangan berlama-lama yah, Sat," seru Sultan yang kesakitan pada Satria yang baru saja beranjak pergi.
Ambar yang melihat itu semua tadi hanya bisa menghela napas sedih. Dia benar-benar tidak bisa membantu apa pun. Dia sangat tidak dibutuhkan saat ini. Namun kesimpulan buruk Ambar itu berubah karena pertanyaan Kinan yang diberikan padanya kemudian.
"Mbak Ambar mempunyai makanan atau camilan tidak untuk Mas Sultan?"
"Gue punya roti sama susu beruang mini, Ki." Ambar mengeluarkan dua makanan yang ada di dalam saku seragamnya itu.
"Wah, kebetulan banget. Makanannya lucu-lucu yah. Serba mini."
Ambar tersenyum mendengarnya. Dia bahagia karena dirinya yang sejak tadi belum berkonstribusi apa pun bisa sedikit membantu Sultan saat ini. Namun rasa bahagia itu kemudian berubah menjadi rasa cemburu luar biasa ketika melihat interaksi Kinan dan Sultan setelahnya.
"Nih, Mas Sultan. Ada roti dan susu beruang dari Mbak Ambar. Buka mulutmu, Mas. Makan pelan-pelan. Ayo!"
"Aku tidak mau, Ki. Lagi tidak selera makan," balas Sultan yang meringis kesakitan sembari menenggelamkan wajahnya di perut Kinan.
"Selera selera matamu! Kamu belum makan sejak pagi loh, Mas. Ya bagaimana tidak kambuh. Kasian itu perutmu disiksa terus. Pemiliknya bandel." Omel Kinan emosi. Sultan tetap tidak menurut.
"Ayo Mas makan. Nanti perutmu bertambah perih, Mas. Kalau kamu susah terus seperti ini mending kita batalkan saja pergi ke rumah sakit. Ke UKS saja. Biar Mas terus kesakitan di sana."
Kinan mengancam. Dan itupun sukses membuat Sultan langsung membuka mulut dan menyuap roti yang disodorkan Kinan.
"Minum ini, Mas. Habiskan!"
Sultan meminum susu beruang tadi sampai tandas. Kemudian kembali menenggelamkan wajahnya di perut Kinan. Kali ini lebih manja dan lebih dalam.
"Manja banget!"
"Sakit, Ki."
"Ya makanya Mas makan tepat waktu. Sudah besar juga. Masa harus diingatkan terus."
Ambar yang sejak tadi melihat itu hanya bisa tersenyum getir. Sultan dan Kinan ternyata sudah sedekat dan seintim itu. Sultan tidak pernah melakukan hal itu padanya dulu. Ambar pun hanya bisa menahan rasa cemburu saat ini yang semakin menggerogoti hatinya. Kembali berusaha sekuat mungkin menahan air mata yang menumpuk di matanya.
"Ya Tuhan. Jika Sultan bukan ditakdirkan untuk aku. Kenapa kau tidak hilangkan saja perasaan berharap yang sangat menyiksa ini."
*****
Instagram : @sourthensweet dan @andwyansyah
itu tuh sudah jelas bgt sultan kalau kamu cinta kinan.
Comment on chapter 2. Denial