Jam menunjukkan pukul delapan lewat lima belas menit malam hari saat aku tiba di depan pintu kedatangan bandara San Francisco. Pesawat yang ditumpangi Dayton sudah mendarat setengah jam yang lalu tapi pastinya akan memakan waktu sedikitnya satu jam untuk melewati imigrasi, pengambilan bagasi dan bea cukai. Jadi mungkin aku masih harus menunggu sekitar setengah jam lagi. Tentu saja aku gembira ketika Dayton memberitahuku bahwa sebagai bagian dari fasilitas yang disediakan sekolahnya, ia mendapatkan tiket untuk pulang ke Amerika setahun sekali pada saat liburan kenaikan kelas. Jadi dia menggunakannya untuk pulang di awal musim panas ini. Saat ia pindah ke Indonesia tahun lalu, ia sudah mengembalikan apartemennya jadi kali ini ia akan tinggal di rumahku. Itu baik karena berarti kami dapat melewatkan lebih banyak waktu bersama. Tidak, ia tidak memintaku untuk menjemputnya di bandara. Ia akan naik grab saja langsung ke rumahku. Tapi aku memaksa. Dan itu karena aku begitu ingin bertemu dengan Ava. Sebulan yang lalu saat Dayton memberitahuku bahwa aku punya seorang cucu perempuan dan bahwa cucuku ini sebenarnya sedang kuliah di sini dan tinggal lima belas menit saja dari tempat tinggalku, tentu saja aku ingin segera pergi ke tempat tinggalnya untuk melihatnya. Tapi Dayton pikir pasti akan canggung bila aku tiba-tiba muncul di pintu apartemen Ava. Ia ingin ada di sana saat aku bertemu Ava untuk pertama kalinya. Jadi waktu kutahu bahwa Ava akan datang ke bandara menjemput ibunya, aku memaksa untuk datang juga.
Jadi di sanalah diriku, berdiri di luar pintu kedatangan. Tapi alih-alih memperhatikan orang-orang yang keluar dari pintu, aku lebih sibuk memperhatikan orang-orang yang datang menjemput. Dayton sudah mengirimkan foto Ava via email dan setelah memandangi foto itu setiap hari selama sebulan terakhir ini, aku yakin aku dapat mengenali Ava. Benar saja, aku langsung melihat seorang gadis yang berdiri bersandar ke tembok di arah kiri. Ia sedang menekan-nekan ponselnya. Itu pasti dia. Dia lebih cantik dari fotonya. Dan mungkin karena dia sedang menonton sesuatu yang lucu pada ponselnya, atau sedang membaca pesan lucu dari temannya, ia lalu tersenyum. Dan aku langsung melihat lesung pipit itu. Lesung pipit Dayton. Lesung pipitku. Hatiku menghangat. Aku begitu ingin berjalan ke sana untuk memperkenalkan diriku tapi aku sudah berjanji pada Dayton untuk menunggunya keluar dari pintu terlebih dahulu. Aku mengarahkan pandanganku kembali ke pintu dan memohon supaya Dayton cepat muncul. Jadi dua puluh menit kemudian, saat Dayton benar-benar muncul dari pintu dengan Anna di sisinya dan dengan seorang lelaki muda yang mendorong trolley kopor di belakang mereka, aku tidak dapat menahan diri lagi.
“Dayton!” teriakku. Ia mendengarku dan langsung menemukanku di antara orang banyak. Ia tersenyum. Lesung pipitnya. Lesung pipitku. Kami berjalan ke arah satu sama lain dan saat itu Ava juga melihat mereka jadi ia pun mendekat ke arah kami. Tiga sudut segi tiga bergabung menjadi satu titik. Dayton memelukku. Anna ragu-ragu. Jadi aku yang memeluknya.
“Apa kabarmu, Anna?” tanyaku.
“Aku baik. Bagaimana dengan dirimu?” tanyanya.
“Baik,” kataku, “dan aku senang kau ada di sini,” tambahku sambil memandang matanya supaya dia melihat kesungguhanku. Ia tersenyum.
“Oh, ini anakku Liam dan ... Ava,” katanya. “Liam, Ava, ini Susan, mama Dayton.” Aku dapat melihat mata Ava melebar begitu ia tahu siapa diriku.
“Senang bertemu denganmu, Liam,” kataku sambil menjabat tangan Liam. Dan aku baru akan mengatakan dan melakukan hal yang sama pada Ava. Tapi aku tidak bisa. Aku memeluknya seerat yang kubisa.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page