Dia ada di sana. Duduk di atas tempat tidur rumah sakit sambil membaca majalah. Dan untuk beberapa saat, aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku perlu memastikan bahwa dia baik-baik saja.
“Anna,” katanya.
“Dayton,” jawabku.
“Bagai... bagaimana kau tahu?” tanyanya.
“Sekolah menelponku. Nomorku yang kau tulis sebagai kontak darurat,” kataku.
“Oh, ya. Saat itu aku tidak kenal siapa-siapa lagi di sini. Maaf.. jadi merepotkanmu. Aku akan menggantinya segera,” katanya. Aku menggeleng. Lalu aku menangis. Kukira aku sudah cukup menangis di mobil tadi. Rupanya belum. Melihatnya di sini, hidup dan baik-baik saja, aku begitu lega.
“Anna,” katanya. Ia berdiri untuk memelukku. Susah karena satu lengannya yang terbalut gips. Tapi aku membiarkannya. Aku perlu merasakan dirinya menyentuhku.
“Untung kau tidak apa-apa,” kataku di sela sela tangisanku.
“Aku tidak apa-apa,” katanya.
“Waktu temanmu bilang kau kecelakaan ...” kataku.
“Kau langsung ingat kejadian Amos,” katanya menyelesaikan kalimatku. Tangisanku mengeras. “Ini bukan kecelakaan lalu lintas. Temanku harusnya menjelaskan itu. Biar nanti kumarahi dia,” katanya.
“Saat... saat aku berjalan sepanjang lorong rumah sakit...” kataku lagi.
“Aku tahu. Kau pasti ingat Justin,” dia menyelesaikan kalimatku lagi. “Oh, Anna, aku minta maaf,” katanya sambil mempererat pelukannya. “Aku tidak apa-apa kok. Kau bisa lihat sendiri,” katanya. Aku melepaskan pelukannya hanya untuk sekali lagi memastikan bahwa dia memang baik-baik saja. “Kau tahu.. waktu aku melihatmu masuk, kukira mungkin kepalaku terbentur batu terlalu keras sampai berhalusinasi,” katanya sambil tersenyum. Aku masih menangis tapi aku lalu tertawa. “Dan kau tahu? Jika aku tahu bahwa dengan mematahkan tangan kau akan datang, aku pasti sudah mematahkannya lebih cepat,” katanyanya lagi. Aku menangis lagi. “Anna, kalimat terakhir itu untuk membuatmu tertawa, bukan menangis,” katanya sambil menarikku ke dalam pelukannya lagi. Aku tahu. Tapi tangisan itu keluar begitu saja. Karena ada kebenaran yang sedih di dalam kalimat itu. Apakah memang benar dia harus terluka lebih dulu sebelum aku berlari datang? Berapa kali lagi dia harus terluka sebelum aku dapat mengakui pada diriku sendiri bahwa aku ... peduli? Seberapa parah ia harus terluka sebelum aku mampu mengaku bahwa aku membutuhkan dirinya? Apakah aku harus kehilangan dirinya sebelum aku dapat mengaku bahwa aku masih mencintainya?
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page