Waktu sekolah memberitahuku bahwa yang terdaftar sebagai kontak darurat untuk Dayton adalah Anna, si penumpang yang tak pernah datang, si pemakan mi gomak yang tidak pernah memakannya, si rumah yang tidak untuk dijual, aku langsung menyediakan diri untuk menghubunginya. Tidak, nyawa Dayton tidak dalam bahaya. Ia hanya terluka dan satu tangannya patah. Itu saja. Dia belum boleh keluar dari rumah sakit karena para dokter masih menginstruksikan beberapa test dan scan untuknya. Aku yakin ini hanya cara rumah sakit untuk mendapatkan lebih banyak uang dari asuransi yang disediakan sekolah. Ini bukan persoalan hidup dan mati. Tapi aku hanya ingin melihat reaksi wanita yang sudah dinantikan temanku seumur hidupnya itu. Aku ingin tahu apakah ia cukup peduli untuk datang.
Kira-kira sudah satu jam lebih sejak aku mengirimkan lokasi rumah sakit dan nomor kamar Dayton kepadanya jadi bila ia akan datang, harusnya tidak lama lagi. Benar saja, seorang wanita mengenakan blus satin dan rok sepan muncul di lorong dan berlari ke arah tempatku berdiri secepat yang dapat dilakukannya dengan rok dan sepatu semacam itu. Pasti itu dia. Ia berlari dan terlihat bingung dan cemas. Harusnya itu pertanda baik, bukan? Aku berdiri.
“Ibu Anna Kusumahadi?” tanyaku.
“Ya,” katanya sambil mengatur napas. “Pak Binsar?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Dia di dalam,” kataku sambil menunjuk ke arah pintu kamar Dayton. Ia memandang pintu itu, lalu memandangku. Matanya merah. Apakah dia baru saja menangis? Jika ia, itu harusnya pertanda yang lebih baik lagi, bukan? Walau aku jadi heran, bila ia benar-benar peduli pada Dayton, kenapa ia tidak memperbolehkan pria itu berada di dalam hidupnya?
“Bagaimana.. bagaimana keadaannya?” tanyanya. Mungkin ia sedang membayangkan yang terburuk. Dayton berdarah-darah, atau dibalut dari ujung kepala ke ujung kaki seperti mumi, atau Dayton yang terhubung dengan mesin yang bernapas untuknya. Aku tahu ini adalah saat di mana aku harus memberitahunya bahwa Dayton sebenarnya baik-baik saja. Tapi rasanya biarlah ia menderita sedikit lebih lama lagi jadi aku hanya diam.
Ia berlari ke arah pintu dan langsung menerobos masuk sambil memanggil nama Dayton. Ia bahkan tidak menutup pintu itu lagi. Aku dapat melihat Dayton duduk santai di tempat tidurnya sambil membaca majalah. Tentu saja ia tidak berdarah-darah. Tangan kirinya di gips dan satu-satunya perban yang menempel pada tubuhnya adalah di keningnya. Dan tentu tidak ada mesin apapun yang terhubung dengannya. Ia bahkan tidak mengenakan selang infus. Matanya melebar saat melihat siapa yang datang seolah ia memang sudah menantikan wanita itu seumur hidupnya. Tapi memang seperti itu, bukan? Wanita itu berdiri di sisi tempat tidur, memandangi Dayton seolah itu hal terpenting di dalam hidupnya. Dan tiba-tiba aku sadar, mungkin saja Dayton benar. Mungkin ia tidak sebodoh yang kukira. Mungkin wanita ini memang patut dinantikan. Aku menutup pintu kamar Dayton. Perasaanku bagus tentang hal ini. Dan Dayton berhutang terima kasih padaku dan sepiring besar mi gomak.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page